Membongkar Sejarah Kelam Negara
Penghapusan ingatan terhadap sejarah kelam harus dilawan. Film ”The Mother of All Lies” melakukannya.
Tiap orang merupakan bagian dari sejarah. Bukan hanya sebagai personal diri, melainkan juga sebagai seorang warga negara. Luka dan trauma mendalam sebuah keluarga nyatanya adalah kepingan puzzle yang saat disatukan dengan yang lain menjadi wajah utuh sebuah riwayat kelam negara. Masihkah mau tebal telinga dan buta mata?
Film dokumenter dari Maroko berjudul Kadib Abyad yang diterjemahkan menjadi The Mother of All Lies karya sutradara Asmae El Moudir kurang lebih mewakili premis di atas. Film ini diputar sebagai penutup Qumra 2024 di Museum of Islamic Arts, Doha, Qatar, Rabu (6/3/2024). Asmae berangkat dari latar belakang keluarganya dan bagaimana neneknya, Zahra Jeddaoui, disebutnya sebagai induk dari segala kepalsuan yang justru mengantarkannya pada babak lain.
Asmae membuka adegan dengan memasang alat bantu dengar kepada neneknya dan lontaran pertanyaan yang menjadi bingkai cerita berdurasi 96 menit ini. ”Mengapa kamu tidak suka foto?” tanya Asmae yang sempat diajukan berulang kepada sang nenek.
Selanjutnya, ia beranjak pada narasi tentang dirinya yang tak memiliki foto kenangan masa kecil sama sekali. Baru ketika usianya menginjak 12 tahun, ia memiliki kesempatan berfoto di sebuah studio murah dengan latar belakang foto pantai di Hawaii. Momen mengambil foto pertamanya di studio di malam Ramadhan itu menjadi sesuatu yang membahagiakan dirinya.
”Foto berlatar belakang pantai Hawaii ini semacam penanda zaman. Mereka yang memiliki memori berfoto dengan latar belakang ini termasuk orang yang bahagia pada masa itu,” ujar Asmae dalam narasinya.
Ketiadaan dokumentasi keluarga ini pula yang membuat Asmae mengambil pendekatan unik dalam penggarapan dokumenternya menggunakan miniatur. Ayahnya, Mohamed El Moudir, diminta membuat patung kecil dirinya, ayah, ibu, nenek, paman, dan tetangga-tetangga di lingkungan masa kecilnya di kawasan Sbata, Maroko, lengkap dengan bangunan dan jalanan sekitarnya.
Selama delapan bulan, mereka membangun miniatur ini. Sebagian proses pembuatan ini turut masuk ke dalam film. Semua miniatur dan segala cerita yang dituturkan ini mengalir di satu ruangan besar dari sebuah bangunan yang disulap menjadi semacam studio yang disebut Asmae sebagai laboratory.
Ibunya, Ourdia Zourkani, juga disibukkan mendandani patung-patung masa kecil untuk film sembari bertutur tentang masa kecil Asmae dan lingkungan sekitarnya. Ia mengungkapkan kehilangan semua foto kenangan bersama ayah Asmae, termasuk momen pernikahan, karena semuanya turut dihancurkan sang nenek. Tidak boleh ada foto sama sekali di rumah yang ditinggali Asmae kecil bersama kedua orangtua, nenek, dan pamannya saat itu.
Baca juga: Belajar Perdamaian dari Film ”Oppenheimer”
Kemudian muncul dua tetangga lama Asmae, yakni Said Masrour dan Abdallah Ez-Zouid. Dari sini, bola cerita menggelinding tak sekadar mengenai keluarga Asmae. Apabila di awal Asmae bertanya tentang hilangnya dokumentasi keluarga dan dokumentasi dirinya kepada sang nenek, tahap berikutnya ia malah masuk lewat foto hitam putih seorang gadis berusia 12 tahun yang diketahui bernama Fatima.
Berbeda dengan dirinya yang riang ketika akhirnya bisa mengabadikan diri untuk pertama kali di usia 12 tahun, Fatima justru harus meregang nyawa di usia yang sama dan lebih dari dua puluh tahun jasadnya tak ditemukan. Bahkan foto hitam putih itu adalah foto terakhirnya. Dari penuturan Said dan Abdallah, Fatima yang merupakan tetangga mereka tewas diterjang peluru tentara saat kerusuhan meletus pada 1981. Jauh sebelum Asmae lahir.
Asmae mencoba mengonfirmasi kepada sang nenek, tetapi neneknya justru menunjukkan gestur menutup mulutnya seperti menarik retsleting. Sementara itu, ayah dan ibunya membenarkan kejadian itu dengan berbisik agar tak terdengar sang nenek. Sepanjang film, sang nenek memang sangat diktator dan mengatur semua orang hingga membuat kesal.
Pertanyaan kemudian masuk ke peristiwa kerusuhan 1981 yang kerap disebut sebagai Bread Riots 1981 atau Black Saturday. Lebih dari 600 orang menjadi korban saat itu.
Kawasan Asmae di Sbata adalah salah satu lokasi yang terdampak cukup parah. Tak hanya menembak, para tentara itu juga menjemput paksa orang-orang dari rumahnya untuk disekap di penjara pengap beramai-ramai hingga akhirnya mati kehabisan udara. Abdallah merupakan saksi hidup kondisi penjara saat itu.
”Aku sudah mati pada hari itu. Aku diambil paksa bersama adik, ibu, dan istriku yang sedang hamil. Kami tak tahu salah kami apa. Kami dimasukkan dalam ruangan pengap berdesak-desakan. Aku bisa selamat, tapi…,” katanya tercekat ketika menceritakan ulang dan merekonstruksi momen tersebut.
Abdallah mengakui ikut dalam aksi unjuk rasa yang berujung ricuh itu. Menurut dia dan Said, bersuara adalah hak sebagai masyarakat. Terlebih saat itu harga pangan di Maroko meroket dan banyak warga mengalami krisis ekonomi. Masyarakat miskin memutuskan turun ke jalan untuk menuntut haknya.
Di tengah kerusuhan itu, keluarga Asmae tetap berada di rumah dan hanya mendengar kekacauan di luar dan melewatkan banyak detail kejadian. Nenek Asmae sengaja mengunci para anggota keluarganya. ”Itu semua demi kebaikan kalian,” ujarnya.
Latar sejarah
Mengutip pemberitaan dari The Washington Post dan Al Jazeera, peristiwa itu berkaitan dengan pemerintahan represif Raja Hassan II yang berkuasa pada 1961-1999. Perang Sahara Barat yang berlarut-larut berkaitan dengan perebutan wilayah dituding masyarakat sebagai salah satu pemicu inflasi hingga mencapai 12,5 persen yang berdampak pada krisis dan kenaikan harga pangan di Maroko saat itu.
Emosi bercampur rasa tertindas yang tak terbendung membuat masyarakat mengambil langkah aksi massa. Seusai kejadian, Pemerintah Maroko mengklaim hanya ada 66 korban. Namun, faktanya, ratusan warga kehilangan keluarganya. Bahkan korban tewas seperti Fatima diambil secara paksa oleh tentara dari rumahnya ketika hendak disemayamkan. Belakangan, ditemukan pemakaman massal yang kemudian menggulirkan investigasi.
Berkisar tahun 2005-2007, ratusan orang hilang pada tahun 1981 teridentifikasi melalui kuburan massal tersebut. Satu per satu korban dari kawasan Asmae tinggal dimakamkan di satu areal besar. Sayangnya, tak satu pun orang, termasuk keluarga, boleh mendekati areal itu. Asmae juga kesulitan ketika akan mengambil gambar di situ. Pilihan miniatur itu menjadi solusi.
Baca juga: Setara lewat Sinema
Selain penghilangan para korban, sukar mencari jejak mengenai peristiwa 1981 kecuali dari penuturan orang-orang yang selamat dan masih hidup, seperti Abdallah dan Said. Menariknya, foto terkait kejadian ini juga hanya ada satu di media massa, yaitu berupa foto orang naik sepeda di tengah asap. Sisanya nihil.
Hilangnya dokumentasi yang diduga dilakukan oleh rezim saat itu mirip dengan apa yang dilakukan nenek Asmae terhadap keluarganya. Penghapusan ingatan secara paksa dilakukan dengan tangan besi.
”Masa lalu, kelam atau tidak, adalah masa lalu yang harus diakui. Untuk mereka yang tak punya ingatan masa lalu, bagaimana bisa menatap masa depan? Ini tugas kita bersama untuk mengembalikan ingatan yang dipaksa dihapuskan,” ujar Asmae ketika sesi tanya jawab seusai pemutaran film.
Semula, tidak ada niat dari Asmae untuk menjadikan film panjang pertamanya ini penuh muatan sejarah. ”Tadinya, saya hanya ingin mengangkat tentang keluarga saya. Tapi, saat 2016, saya lihat di televisi tentang peristiwa 1981 itu. Saya lahir 1990, saya tak mengalaminya. Saya cari dokumentasinya minim. Mirip dengan diri saya,” ungkap lulusan Le Femis, Perancis, itu.
Dari sini, ia mulai menjahit dan mencari benang merah yang rupanya berkaitan. Proses pembuatan film yang meraih Un Certain Regard dari Festival Film Cannes 2023 ini, lanjut Asmae, berlangsung sejak 2012. ”Ini termasuk tiga tahun membujuk nenek saya untuk ikut. Dia benci kamera. Tapi, setelah film ini, situasi keluarga ikut berubah menjadi lebih cair. Orang-orang yang terlibat seperti Abdallah, misalnya, juga jadi punya semangat lagi,” ujarnya.
Relevan
Apa yang dituturkan Asmae melalui film ini terasa familiar dengan kondisi di Indonesia. Tentu, masih segar ingatan mengenai aksi kamisan yang dituduh hanya sebagai aksi lima tahunan menjelang pemilihan presiden. Tudingan itu tidak hanya berasal dari anak-anak muda yang tak mengalami peristiwa itu, tetapi juga dari orang yang sesungguhnya menjadi saksi kekacauan Indonesia pada 1998 dan bisa jadi turut mendokumentasikan.
Namun, agaknya, orang-orang seperti nenek Asmae, yang lebih memilih menghapus ingatan kolektif itu, tersebar di seantero jagat. Beruntung, Asmae adalah generasi muda yang bersedia menggali dan melakukan riset kemudian menuangkannya dalam bentuk film. Asmae mengaku tak banyak tahu karena peristiwa itu juga sangat jarang diceritakan.
Mirip dengan kerusuhan 1998 atau malah peristiwa 1965 yang hanya dituturkan melalui versi tunggal. Sejarah di sekolah yang tak membangun sisi kritis juga jauh dari kata membantu. Penyampaian sejarah secara getok tular dari orang-orang yang mengalaminya, meski dari pengalaman pribadi, justru bisa menjadi bukti bahwa peristiwa itu nyata.
Seperti aksi kamisan, luka Sumarsih dan orangtua lain nyata adanya. Cerita-cerita mereka harus terus disampaikan secara berkala tanpa putus lewat banyak medium. Hal ini agar tak ada lagi penghapusan ingatan yang berujung pada masa depan bangsa yang mengulang trauma.