Wajah Masa Depan dalam Dunia Distopia
Yosep Anggi Noen mengakui soal filmnya, 24 Jam Bersama Gaspar bergenre roman detektif, yang menelan biaya paling besar.
Film 24 Jam Bersama Gaspar kembali memampangkan gagasan-gagasan liar Yosep Anggi Noen dalam ragam sinema Tanah Air yang dinarasikan lewat roman detektif. Tontonan itu mengetengahkan tema yang tergolong jarang diangkat, yaitu negeri karut-marut.
Gaspar (Reza Rahadian) memacu sepeda motornya. Ia gagah dengan jaket bergambar naga, celana hitam, dan sepatu bot. Dilatari lantunan “Hal-hal yang Terjadi” FSTVLST asal Yogyakarta, lirik-liriknya menggamblangkan dunia yang dilanda kegaduhan.
Saling menginjak dan tidak menghiraukan/Arah yang tidak tertera di lambang mata angin/Arah yang juga tidak tertera di warisan kebajikan dan ingatan yang sehat/Arah yang ternyata tidak ada yang tahu itu di mana/Kau terlahir di masa maha chaos.
Memang demikianlah kusutnya tatanan sosial saat itu. Kawan Gaspar, Agnes (Shenina Cinnamon), menuju tempat duduk yang kosong di kereta kumuh yang penuh corat-coret. Gadis tomboy itu cuek saja melewati gerombolan berandalan yang menggebuki korbannya.
Baca juga: Emosi yang Tak Buru-buru
Penumpang-penumpang lain melengos. Petarung-petarung jalanan menyabung nyawa dan polisi entah di mana. Tak terkecuali Gaspar yang pada akhirnya dihantam tiga begundal sampai semaput. Saat ia siuman, dokter memvonis hidupnya akan berakhir dalam 24 jam.
Gaspar, berusia 34 tahun, punya anomali jantung yang letaknya di kanan. Ia mendapati alat yang membantu kelainannya juga sudah lama tak berfungsi. Detektif ulung itu tengah menelusuri kematian informannya yang bermuara pada kekejian Wan Ali (Iswadi Pratama).
Demi relasi bisnis dan dekat dengan kekuasaan, ia tega menjual anaknya, Kirana (Shofia Shireen) yang ternyata teman semasa kecil Gaspar satu-satunya. Kebiadaan Wan Ali lantas saling silang sengkarut dengan Yadi (Sal Priadi) dan Tati (Dewi Irawan).
Ibu dan anaknya yang kerap cekcok itu menyimpan dendam keluarga terhadap Wan Ali. Ia juga menyimpan kotak hitam yang diincar Gaspar. Kik (Laura Basuki) dan kekasihnya, Njet (Kristo Immanuel), ikut-ikutan terseret lantaran terjerumus dalam kemiskinan.
Arena baru
Jadilah Gaspar menggandeng Kik, Njet, Yadi, Tati, dan Agnes untuk menggeruduk Wan Ali dan mengakhiri kebiadabannya. Modus mereka lantas beranyam-anyaman antara balas dendam dan meraih kehidupan yang lebih baik dengan harta di brankas pemilik toko emas tersebut.
Film berdurasi sekitar 1,5 jam itu diangkat dari novel berjudul sama karya Sabda Armandio. Memang, 24 Jam Bersama Gaspar bukanlah genre yang biasa digeluti Anggi. Sutradara itu dikenal dengan film kontemplatif macam The Science of Fiction yang menembus Locarno Film Festival 2019.
Maka, ketika ia menggarap film aksi dengan set kota yang apokaliptik, 24 Jam Bersama Gaspar adalah arena baru untuknya. Rumah dan mobil bergaya lawas, kalimat yang sangat baku, dan adegan gelandangan berkeliaran tak biasanya dipampangkan Anggi.
Terlebih, tema distopia tergolong sangat jarang diangkat sineas Indonesia. Tak seperti Hollywood, umpamanya dengan Blade Runner (1982), The Maze Runner (2014), dan The Hunger Games (2012). Anggi tak benar-benar lepas dari sentuhannya menggarap film-film bergaya festival.
Teknik underexposure atau kurang cahaya, komposisi bayangan yang tak lazim, dan warna-warni tungsten enteng saja ia aplikasikan. Plot yang sangat pepat juga membuat penonton mesti awas menyimak dialog-dialog untuk memahami adegan berikut, bahkan hingga pertautannya di pengujung film.
Baca juga: Benturan Peradaban Dunia dalam Kisah ”Shogun”
Anggi juga tak lepas dari kegelisahannya lewat relasi alurnya dengan konteks-konteks kekinian. Perubahan iklim, umpamanya dinarasikan dengan kota yang berangsur tenggelam. Hunian Kik dan Njet terancam hanyut ditelan permukaan laut yang terus naik.
Demikian pula dengan relasi kuasa lewat Wan Ali lewat genggaman kekuasaan dan koneksinya yang menciptakan ruang-ruang untuk menentukan nasib korbannya. Gaspar dengan kekritisannya juga berjuang demi sahabatnya dan kegeramannya mendapati berbagai ketimpangan.
Anggi sekaligus menggedor kesadaran penontonnya soal situasi kekinian yang sudah mengarah ke distopia jika ketidakadilan terus dibiarkan. Bukan peperangan, namun ketidakpedulian penguasaatau masyarakat yang lambat laun menggerus peradaban.
Novelnya juga berhubungan dengan kesenjangan dan kekhawatiran. Bagaimana masa depan diterjemahkan dengan kelam ataukah mengandung harapan.
Inovasi yang tergolong langka kemudian diganjar Piala Citra kategori penulis skenario adaptasi terbaik untuk Irfan Ramli dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2023. Film yang menembus sembilan nominasi dalam festival tersebut juga telah diputar di sejumlah ajang film internasional.
Biaya terbesar
Anggi diberi kepercayaan untuk menggarap 24 Jam Bersama Gaspar yang diawali dengan pertanyaan produser eksekutif film tersebut, Angga Dwimas Sasongko. “Katanya, mau enggak bikin filmnya sambil dibacakan sinopsis di belakang novel. Saya langsung ke toko buku, baca tiga jam, wah menarik,” ucapnya.
Ia lantas pergi ke Semarang, Jawa Tengah, untuk mengekspolorasi hingga sudut-sudutnya dan memvisualisasikan distopia. Sejak filmnya direncanakan, Anggi dan Yulia berdiskusi untuk menampilkan film yang menyiratkan Indonesia di masa depan.
“Novelnya juga berhubungan dengan kesenjangan dan kekhawatiran. Bagaimana masa depan diterjemahkan dengan kelam ataukah mengandung harapan,” tuturnya. Anggi juga tak menampik soal film terbarunya yang menelan biaya terbesar meski tak menyebutkan dengan detail.
Sekonyong-konyong, Reza melontarkan celetukan mengenai anggaran yang jauh melampaui Rp 10 miliar. Anggi sembari tertawa menjelaskan tentang keleluasaan untuk berkreasi secara artistik, menyuguhkan ketegangan kejar-kejaran, hingga mobil yang meluncur ke laut.
“Enggak pernah saya bikin kecelakaan mobil nyemplung. Jadi, keliaran-keliarannya terfasilitasi. Saya mau memasukkan elemen yang lebih umum lewat adrenalin,” katanya. Jika dipaksakan dengan dana terbatas, kepercayaan penonton spontan hilang setelah menyaksikan adegan yang tak logis.
Produser 24 Jam Bersama Gaspar, Yulia Evina Bhara, acapkali menyampaikan ide-idenya kepada Anggi meski telah larut malam. “Misalnya, waktu mengusulkan pemain. Saya sampai kirim screenshot (tangkapan layar) Instagram,” katanya sambil tertawa.
Reza pun mengungkapkan keunikan karakter Gaspar yang belum pernah dilakoninya. Tanpa berpikir panjang, ia mengiyakan ajakan Anggi untuk membintangi filmnya. “Penting dan krusial untuk saya diberi ruang supaya mewujudkan sosok yang berbeda,” ujarnnya.
Sementara, Sal mengakui keharuan saat lagu yang ia nyanyikan, “Mesra-mesraannya Kecil-kecilan Dulu”, diselipkan dalam 24 Jam Bersama Gaspar. “Waktu nonton adegannya, kok, bisa menghadirkan rasa yang enggak pernah aku tahu. Aku sampai nangis,” ucapnya seraya tersenyum.