Sepanjang 2023, Persentase Perempuan di Layar Lebar Turun Jadi 30 Persen
Persentase perempuan sebagai pemeran utama di layar lebar Hollywood terendah dalam satu dekade terakhir. Hanya 30 film dari 100 film top berbahasa Inggris sepanjang 2023 yang menampilkan perempuan sebagai pemeran utama.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Tahun 2023 tidak menjadi tahun yang baik bagi perempuan di industri Hollywood. Studi dari Annenberg Inclusion Initiative di University of Southern California menemukan, persentase perempuan sebagai pemeran utama di layar lebar adalah yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Mengutip Hollywood Diversity Report 2024, Part 1: Theatrical, Annenberg Inclusion Initiative (AI2) menganalisis 100 film top berbahasa Inggris sepanjang 2023. Hanya 30 dari 100 film terlaris 2023 yang menampilkan perempuan sebagai pemeran utama atau wakil pemeran utama. Angka ini sama dengan jumlah tahun 2010, atau turun signifikan dibandingkan tahun 2022 dengan 44 film menampilkan perempuan sebagai pemeran utama.
Temuan ini menunjukkan Hollywood masih berinvestasi terutama pada film-film yang berpusat pada laki-laki. Padahal, film Barbie (2023) merajai box office dunia dengan pendapatan sebesar 1,4 miliar dollar AS, tahun lalu.
”Ini adalah kemunduran besar bagi perempuan dalam dunia perfilman. Angka-angka ini lebih dari sekadar ukuran seberapa sering perempuan berperan sebagai protagonis. Mereka mewakili peluang karier yang ditawarkan kepada perempuan di industri,” kata pendiri AI2, Stacy L Smith, dikutip dari annenberg.usc.edu, Jakarta, Sabtu (9/3/2024).
Selain itu, AI2 menemukan, persentase pemeran utama atau wakil pemeran utama dari kelompok ras/etnis yang kurang terwakili meningkat. Sebanyak 37 film pada 2023 menampilkan pemeran dari kategori tersebut, naik sedikit dibandingkan 31 film pada 2022. Namun, kenaikan tersebut tidak terjadi pada perempuan dari kelompok ras/etnis yang kurang terwakili.
Total, 14 film pada 2023 menampilkan perempuan kulit multiwarna. Angka ini turun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 18 film.
”Industri film terus tidak memberikan perhatian pada perempuan, dan kemunduran terhadap kemajuan perempuan kulit multiwarna dalam peran utama sungguh mengecewakan. Hal ini berlaku tidak hanya bagi perempuan muda kulit multiwarna, tetapi juga perempuan usia paruh baya yang kisah-kisahnya sering kali terhapus sama sekali,” tutur Katherine Neff, penulis utama studi tersebut.
Dalam studi tersebut, AI2 mendapati, hanya tiga film yang menampilkan pemeran utama perempuan di atas 45 tahun—tanpa menghitung film ansambel, yakni Cocaine Bear (Keri Russell), My Big Fat Greek Wedding 3 (Nia Vardalos), dan Magic Mike’s Last Dance (Salma Hayek). Sebaliknya, 32 film menampilkan pemeran laki-laki dalam kategori umur tersebut.
Keterkaitan sutradara
AI2 turut meneliti seberapa sering sutradara dalam film yang menampilkan perempuan dan kelompok yang kurang terwakili berasal dari kelompok identitas yang sama. Dari 30 film yang menampilkan perempuan sebagai pemeran atau wakil pemeran utama, 36,7 persen disutradarai oleh perempuan dan 63,3 persen disutradarai oleh laki-laki.
Adapun sekitar setengah atau 51,3 persen dari 37 film dengan pemeran utama atau wakil pemeran utama dari kelompok yang kurang terwakili memiliki sutradara dengan identitas yang sama. Sementara itu, 48,7 persen film tidak memiliki sutradara dari kelompok yang kurang terwakili.
Sebaliknya, 4,3 persen film tanpa pemeran utama perempuan mempunyai sutradara perempuan. Sebanyak 9,5 persen film tanpa pemeran utama dari kelompok kurang terwakili mempunyai sutradara dari kelompok identitas yang kurang terwakili.
”Ada hubungan yang jelas antara siapa yang bekerja di belakang kamera dan siapa yang kita lihat di layar. Namun, peluang masih terbatas bagi perempuan dan orang kulit multiwarna. Bahkan, ketika identitas sutradara mungkin sesuai dengan identitas karakter utama, kami masih menemukan perempuan dan orang kulit multiwarna menghadapi tantangan yang tidak dimiliki oleh rekan laki-laki kulit putih mereka,” ujar Smith.
Smith melanjutkan, mengingat banyak upaya di level legislatif negara bagian dengan tujuan membatasi inisiatif Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (Diversity, Equity and Inclusion/DEI), penyampaian cerita menjadi semakin penting. ”Industri hiburan dapat berperan penting dalam demokrasi kita untuk memperjuangkan suara yang beragam dan inklusif, baik di layar maupun di belakang kamera,” katanya.
Industri hiburan dapat berperan penting dalam demokrasi kita untuk memperjuangkan suara yang beragam dan inklusif, baik di layar maupun di belakang kamera.
Studi Hollywood Diversity Report 2024, Part 1: Theatrical tersebut semakin memperburuk pandangan terhadap Hollywood soal perempuan. Mengutip Variety, pada Januari 2024, AI2 merilis laporan Inclusion in the Director’s Chair yang menemukan persentase sutradara perempuan di film-film top tidak berubah sejak 2018, dengan hanya 4,5 persen sutradara merupakan perempuan.