Sekitar 40.000 pengunjung bisa diibaratkan sebagai ”bangsa” dari festival musik Joyland. Mereka hidup tenteram dan akur.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Festival musik Joyland edisi Bali yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut dari Jumat sampai Minggu (1-3/3/2024) bisa diibaratkan sebagai sebuah bangsa. Betapa tidak, sekitar 40.000 pengunjungnya berbagi makanan dan minuman yang sama, menikmati dan menjalani produk kebudayaan yang sama, berbicara bahasa universal yang sama, di kawasan yang sama.
Ditilik dari ilmu antropologi, definisi bangsa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ”kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan menempati wilayah tertentu di muka bumi”. Definisi itu memenuhi ”adat” yang biasa terjadi di sebuah festival musik, termasuk Joyland.
Joyland adalah nama festival yang menitikberatkan pada penampilan musik yang digarap oleh promotor Plainsong Live. Mereka telah menggelar festival ini di Jakarta sejak 2012. Mulai 2022, Joyland juga digelar di Bali. Jadi, dalam satu tahun ada dua kali perhelatan, di Jakarta dan Bali.
Khusus edisi Bali, Joyland dua tahun terakhir ini diadakan di Peninsula Island, pulau kecil yang berada di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali. Pulau ini dikelola perusahaan negara PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
Di atas pulau seluas 7,4 hektar inilah ”bangsa” Joyland ”mengisolasi diri” selama tiga hari—setiap harinya mulai dari sore hingga lepas tengah malam. Disadari atau tidak, mereka datang ke sana dengan tujuan yang sama: menikmati hidup diiringi penampilan musisi kesukaan, menonton film, atau bersenda gurau dalam lawakan tunggal. Ibarat sebuah bangsa, musik, film, dan komedi adalah produk budaya Joyland. Bahasa yang digunakan adalah bahasa universal: musik.
Musisi psikadelik kenamaan asal Jepang, Shintaro Sakamoto, jadi penutup di hari pertama pada Jumat menjelang pergantian hari diiringi rintik hujan dan angin laut. Sakamoto membawakan sebanyak 13 lagu selama tak kurang dari 75 menit. Semua lagunya berbahasa Jepang. Sedikit sekali penonton yang ikut bernyanyi, lebih banyak yang sama-sama menggerakkan anggota badan mengikuti irama.
”Gue enggak bisa bahasa Jepang. Musiknya Shintaro tetap bisa dinikmati, kok,” kata Ferdian (28), penonton yang datang dari Jakarta.
Sehari-hari, dia banyak mendengarkan musik-musik dari Jepang, seperti Tatsuro Yamashita, Anri, atau Chisato Moritaka. Dia datang ke Joyland untuk melihat langsung penampilan Sakamoto dan James Blake.
Selama tiga hari, pengunjung menggunakan diksi yang sama yang hanya ada di area acara. Istilah-istilah lily pad, shroom garden, atau white peacock sering terdengar. Itu adalah nama-nama area tertentu di dalam arena. Pengunjungnya tidak hanya orang Indonesia, tapi banyak juga orang luar negeri. Apa pun latar suku bangsanya, mereka sepakat menggunakan istilah-istilah tersebut.
”Warga” negeri Joyland ini memakai pakaian yang serupa meski tak sama. Rata-rata pakaian santai; berkaus aneka warna, memakai topi, kacamata hitam, bersepatu karet, atau bersandal. Umumnya mereka menenteng botol air minum karena penyelenggara menyediakan pengisian air minum gratis.
Beberapa merek minuman ringan dan beralkohol dijual di area khusus. Minuman dan makanan dari luar dilarang masuk. Itulah sebabnya, selama tiga hari itu, bisa dibilang mereka mengonsumsi asupan yang sama.
Selama tiga hari pula, mereka berjumpa dengan kawan lama, pun kenalan baru. Ketika berteduh selama hujan sekitar 90 menit, misalnya, sulit menghindari sapaan orang yang dikenal. Tak jarang, perkenalan baru pun tercipta yang diwarnai berbagi minuman. Interaksi terjadi cukup intens karena mendiami area terbatas dalam waktu terbatas pula.
Seseorang yang awalnya datang sendirian, misalnya, bisa jadi ikut dalam rombongan lain karena sama-sama hendak menonton artis tertentu, seperti yang dialami Ajeng (33), penonton dari Jakarta.
”Gue baru kenal mereka tadi pas beli minum. Salah satunya pernah sekantor. Ternyata kami sama-sama nunggu James Blake,” kata Ajeng merujuk pada penampil asal Inggris yang jadi artis utama pada hari terakhir.
Musisi yang tenar membuat lagu untuk Beyonce, Frank Ocean, Kendrik Lamar, dan Travis Scott ini tampil di panggung utama. Blake diapit dua perangkat keyboard dan synthesizer. Dari instrumen itulah musik elektronika berdentum. Tata suaranya menggelegar sampai bikin bergetar.
Mudah diduga, respons penyuka musik disko pecah. Tapi tak semua hadirin menikmati sajian electronic dance music (EDM) seperti itu. Rangga (27) dari Surabaya memilih menepi dari kerumunan, selonjoran di atas rumput. ”Nikmati suasana saja. Seneng melihat orang bersenang-senang,” katanya yang mengaku sudah terpuaskan dengan penampilan The Walters, Vansire, dan Hindia pada hari itu.
Menonton James Blake adalah pengalaman baru bagi Rangga. Dia tak menyesal meski tak benar-benar menikmati musiknya. Bersinggungan dengan suguhan baru adalah salah satu karakteristik festival musik multigenre seperti Joyland. Festival ini menyajikan musik-musik liyan yang cenderung terabaikan. Panggung kecil Lily Pad di atas pasir pantai adalah suaka bagi yang bosan dengan musik begitu-begitu saja.
Penampilan memukau disuguhkan duo asal Taiwan, Mong Tong, pada hari Minggu. Dengan kacu warna hitam penutup mata, duo ini memainkan musik noise rock dengan ketukan elektronika. Ketukannya rancak dengan distorsi menderu. Musik mereka tanpa lirik. Namun, pengunjung Lily Pad itu ramai berkumpul, menggoyangkan badan, sama-sama ”berbicara” dalam bahasa universal.
Sore sebelumnya, arena itu juga ramai. Beberapa pengunjung asal Papua bergoyang teratur seperi koreografi yang direncanakan. Mereka menikmati musik racikan Asep Nayak, jagoan musik disko dari timur Indonesia itu. Joyland seperti merupa sebagai tanah yang aman untuk disinggahi siapa saja—sampai-sampai kehadiran seratusan polisi berseragam lengkap terasa intimidatif.
Demokrasi bermekaran layaknya bunga-bunga di sekitar taman dalam arena. Tapi, demokrasi di Joyland cenderung terpimpin. Ferry Dermawan, Direktur Program Joylad, bolehlah dianggap ”presiden” Joyland. Dia merancang acara sesuai seleranya. Pilihan penampil pun berdasarkan kesukaannya. Meski begitu, ”warga” bebas memilih mau menonton siapa, atau mau ngapain di sana. Semoga ketenteraman dan kebahagiaan bangsa kecil ini terpelihara.