Joyland, Festival Santai di Tepi Pantai
Ujaran ”santai seperti di pantai” mewujud di hari pertama Joyland Festival. Kings of Convenience akan melanjutkannya.
Festival musik Joyland rasanya benar-benar identik dengan guyuran hujan. Tak di Jakarta atau Bali, hujan jadi bagian dari keriaan festival ini. Ini juga terjadi pada hari pertama Joyland edisi Bali, Jumat (1/3/2024). Meski pembukaan acara jadi mundur, Shintaro Sakamoto dari Jepang menutupnya dengan hangat.
Penyelenggara Plainsong Live membuka pintu bagi pemegang tiket memasuki arena sejak sekitar pukul 16.00 waktu setempat. Tak lama, hujan deras turun tiba-tiba di kawasan Nusa Dua, termasuk di Peninsula Island, tempat acara ini dilangsungkan. Kelompok hip-hop Envy* yang dijadwalkan main pukul 16.45 dimundurkan setelah hujan reda, sekitar pukul 17.20.
Daftar lagu yang disiapkan unit hip-hop dari Jakarta ini dipangkas. Tapi penonton tak terlalu memedulikannya. Mereka tetap berkerumun di depan panggung yang letaknya tak jauh dari pantai itu. Beberapa orang memakai payung melindungi kepala dari gerimis yang masih tersisa. Beberapa lainnya berdiri di atas genangan air. Penonton umumnya berdiri karena rumput masih basah.
Kerumunan lantas bergeser ke panggung utama. Band pop kenamaan asal Jakarta, White Shoes and the Couples Company, naik panggung sekitar pukul 18.00, mundur setengah jam dari jadwal semestinya. Sextet ini memainkan lagu-lagu lama mereka yang baru saja dikumpulkan dalam album kompilasi Topstar Collection: Koleksi 2005-2013 keluaran 2023.
Genjrengan gitar yang renyah dari Rio Farabi membuka penampilan mereka dengan tembang ”Senandung Maaf”. Pilihan lagu ini sesuai dengan urutan di album kompilasi tersebut. Suasana menghangat ketika lagu lawas ”Windu & Defrina” dibawakan. Penonton yang hafal komat-kamit mengikuti lirik yang dilantunkan Aprilia Apsari. Badan bergoyang-goyang sedikit. Jas hujan tak perlu dipakai lagi karena langit sudah terbuka luas.
Album kompilasi dalam format piringan hitam itu baru diluncurkan akhir 2023. Tak heran, mereka masih mempromosikannya. Latar layar digital menampilkan gambar cakram yang berputar ketika mereka memainkan lagu ”Masa Remadja”. Latar berganti dengan potongan foto-foto artis top masa lalu, seperti Meriam Bellina pada lagu ”Topstar”.
Penampilan band ini selalu rapi dan apik. Musiknya tepat mengiringi berdansa, seperti pada lagu ”Super Reuni”. Durasi penampilan mereka juga dipangkas. Makanya, Sari, nama panggilan vokalisnya, tak banyak mengumbar obrolan dengan penonton. Di antara sapaan kepada penggemar Joyland itu, Sari mengajak mereka untuk mendaraskan doa bagi warga Palestina. Set itu ditutup dengan nomor sendu ”Kisah dari Selatan Jakarta”.
Matahari telah tergelincir ke barat ketika solois Nadin Amizah tampil. Meski suasana mulai gelap, gaun putih Nadin berkilauan memantulkan cahaya lampu sorot. Penyanyi berusia 23 tahun ini membawakan lagu-lagu yang, katanya, sudah lama tak ia bawakan di panggung. Lagu itu, misalnya, adalah ”Paman Tua” dan ”Di Akhir Perang”.
Nadin membuka penampilannya dengan nomor ”Sebuah Tarian yang Tak Kunjung Selesai”. Di sepertiga akhir jatah pentasnya, Nadin memilih membawakan lagu-lagu yang cukup populer di kalangan penggemarnya, sebut saja ”Semua Aku Dirayakan” dan ”Rayuan Perempuan Gila”. Gerimis kembali turun mengiringi nomor ”Sorai”.
Baca juga: Festival Joyland dan Musik Sepoi-sepoi Pantai
Penonton beringsut mencari tempat berteduh. Beberapa tempat bernaung tersedia di arena, tapi tak sepenuhnya tertutup. Jas hujan kembali dipakai. Band The Sigit menyiapkan set mereka ketika rintik air tak sederas sebelumnya, tapi anginnya mengencang. Penonton berduyun-duyun mendatangi panggung utama itu.
Rekti Yuwono dan kawan-kawan membuka set dengan nomor lawas ”Black Amplifier”, lagu yang mereka keluarkan hampir 20 tahun lalu. Rambut panjang Rekti dan gitaris Fachri yang telah beruban itu tetap gondrong, berkibar-kibar ditiup angin pantai. Amplifier di belakang mereka memanas. Band yang terbentuk di Bandung ini terasa semakin bising.
Kebisingan itu berlanjut dengan nomor ”Son of Sam” dari album jempolan Detourn keluaran 2013. Selain intensitas volume yang keras, rasanya belum ada hal baru yang ditawarkan The Sigit lewat dua lagu ini. Tak jadi soal, dua lagu itu merupakan bentuk murni rock n roll, corak yang langka di festival macam Joyland ini.
Inovasi permainan panggung dan bunyi baru terasa pada lagu ketiga, ketika mereka membawakan lagu ”Another Day” yang dilepas pada masa awal pandemi tahun 2020. Bagian intronya menyuguhkan bunyi efek bergulung-gulung, seperti hendak bersaing dengan ombak lautan di belakang mereka.
Selepas lagu ini, The Sigit sepertinya makin bebas bereksperimen dengan bunyi. Rekti, yang pada awal band terbentuk bermain gitar, mengeksplorasi bebunyian sintetis, misalnya di lagu ”Let It Go” atau ”Let the Right One In”.
Kepada penonton, Rekti menyatakan senang bisa main kembali di Joyland, berada di acara yang mendatangkan idolanya. ”Saya menantikan idola saya, Bapak Shintaro Sakamoto,” ujar pengguna gitar Gibson SG ini.
Bukan Rekti saja yang menanti penampilan musisi legendaris asal Jepang itu. Banyak penonton yang hendak menyaksikan langsung sang idola di kancah musik psikedelik itu.
Clarissa (27), penonton dari Jakarta, berujar di hari pertama itu dia cuma mau lihat penampilan Sakamoto. ”Hampir tiap hari aku dengar albumnya. Musiknya santai, tapi kompleks. Bisa bikin konsentrasi, atau bikin santai juga,” kata Clarissa yang datang berombongan dengan empat teman lainnya.
Sebelum berhadapan dengan sang idola itu, Clarissa dan teman-temannya menonton Pearl and The Oysters. Duo dari AS itu memainkan musik jazz ringan yang pas banget disimak sambil duduk-duduk. Musik suguhan mereka berkelindan dengan aroma amis air laut. ”Main di pinggir pantai adalah impian kami sejak lama. Festival ini keren banget mewujudkan keinginan kami,” kata Juliette, yang sesekali meniup suling.
Shintaro Sakamoto yang ditunggu-tunggu itu akhirnya naik panggung sekitar pukul 23.00. Ia menyandang gitar Gibson SG, serupa yang dipakai Rekti. Bebunyian efek dan ritme berulang-ulang membuka pentas mereka. Kerumunan penonton di baris belakang menguarkan aroma alkohol. Penonton siap memasuki dimensi bunyi suguhan Sakamoto yang didampingi tiga musisi ini.
Sakamoto membuka dengan lagu lama, ”My Memories Fade” dari album debut solonya How to Live with a Phantom. Semua lagu Sakamoto berbahasa Jepang, jadi jarang yang ikut menyanyi. Kompensasinya, penonton merespons dengan menggoyangkan badan. Ketukan drum dan permainan bas yang menghasilkan tempo sedang cenderung lambat. Bunyi gitar sesekali meletup, tapi kebanyakan dimainkan lembut saja.
Efek visual di panggung melengkapi dimensi psikedelia itu. Telinga berfokus pada gulungan bunyi, sementara mata dimanjakan dengan gambar-gambar berpola yang diputar berulang-ulang. Ini melenakan. Tiupan saksofon bernada tinggi terkadang menyentak, membuyarkan lamunan, tapi bunyi bas yang tebal menormalkannya lagi.
Baca juga: Keriaan Joyland Dimulai Malam Ini
Di baris depan, lebih banyak penonton yang tak berhenti menggoyangkan badan. Ringan rasanya. Badan serasa santai seperti di pantai. Sakamoto memainkan sebanyak 13 lagu dengan bunyi aneka rupa dan irama yang kadang mendayu seperti jazz, atau mengayun layaknya waltz.
Sakamoto tak perlu berinteraksi dengan kata-kata. Musiknya sudah mewakili. Ia menutup set sekaligus seluruh rangkaian di hari pertama itu tepat tengah malam. Wajah-wajah semringah mengiringi langkah pulang.
Hari kedua pada Sabtu (2/3/2024), Joyland kembali dimulai sekitar pukul 17.00. Jagoan dalam negeri ada kelompok Ali yang musiknya sama melenakannya dengan Sakamoto. Ali main setelah duo pop akustik Kings of Convenience asal Norwegia, yang lagu-lagunya sendu. Ah, festival ini benar-benar pas untuk bersantai.