Otaku atau Wibu, Jangan Malu-malu!
Wibu atau Otaku, rasanya tak perlu malu-malu. Sebab, semua agaknya pernah kena demam budaya pop Jepang pada masanya.
Budaya pop Jepang selalu menemukan cara bertahan di tengah anak muda Tanah Air. Mekarnya hasrat pada segala yang bernuansa Korea tak menyurutkan ketertarikan pada budaya pop ”Negeri Sakura” yang sudah masuk sejak era 80an. Dari manga, anime, dorama, tokusatsu, musik, film, hingga modenya menjadi suatu bentuk eskapisme manjur. Kawaii!!!
”Waaaaah, gemes bangeeet!” teriak para lebih dari dua ribu penonton yang menyaksikan konser Anime Symphony: Overdrive di Jakarta International Expo Convention Centre, Sabtu malam (3/2/2024) ketika melihat puluhan anak-anak berkostum biru, kuning, dan putih berlari memasuk panggung diiringi orkestra musik ”Doraemon no Uta”, lagu pembuka anime Doraemon.
Penonton yang didominasi para milenial ini langsung terpaut dengan intro lagu dan jargon khas ”Baling-baling bambu”. Memori masa kecil tak sabar duduk di depan televisi pada Minggu pagi serasa bangkit lagi. Meski bukan anime pertama di Indonesia, cerita robot kucing dari masa depan yang muncul sejak 1988 di salah satu televisi swasta dalam negeri tiap pukul 08.00 pagi ini memantik berkembangnya anime di Tanah Air.
Tanpa dikomando, para penonton yang asyik menggerakkan light stick warna-warni serempak bernyanyi mengikuti paduan suara anak-anak itu, ”Ah ah, aku sayang sekali, Doraemoooon.” Tepuk tangan pun membahana.
Baca juga: Nyawa Dunia di Tangan Ghibli
Selanjutnya, lagu-lagu dari anime yang pernah naik daun di Indonesia bergantian dimainkan Jakarta Concert Orchestra bersama The Resonanz Children Choir, Batavia Madrigal Singers, dan para penyanyi solo. Dari ”Moonlight Densetsu” milik Sailor Moon, ”We Are” milik One Piece, ”Blue Bird” milik Naruto: Shippuden, ‘Odoru Ponpokorin milik Chibi Maruko Chan, hingga tembang-tembang teranyar dari anime Attack on Titan, Suzume, Kimi no Na Wa, dan deretan musik Studio Ghibli.
Konser ini sesungguhnya sudah pernah digelar pada 9 Desember 2023 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tiket dari dua pertunjukan sebanyak 2.000 lembar yang diselenggarakan sore dan malam ludes terjual. Para pencinta budaya pop Jepang yang tak kebagian pun berharap konser ini digelar lagi.
Akhirnya, acara ini dibuat lagi pada pekan lalu dengan tempat yang lebih luas. Sebanyak 4.900 tiket yang disediakan untuk umum habis terjual dengan pembagian dua pertunjukan pada sore dan malam.
”Antusiasme sangat tinggi berhubungan dengan anime ini. Itu yang mendorong untuk mewujudkan konser ini. Pilihan lagu disesuaikan dengan yang familiar juga. Ini juga merupakan bentuk inovasi dari orkestra walau sesungguhnya banyak lagu anime yang juga aransemennya orkestra,” ujar Direktur Musik dan Konduktor Jakarta Concert Orchestra Avip Priatna.
Sementara itu, kelompok orkestra lain, yaitu Trust Orchestra, juga memutuskan melakukan konser bertajuk ”The Legends 8” lagi pada awal Maret nanti. Pada 2023, konser yang memainkan lagu-lagu Ghibli ini juga meraup banyak penonton.
Fenomena ini tak mengherankan. Sebab, para pencinta budaya pop Jepang memang terbilang loyal. Meski tengah menggilai musik Korea atau budaya Korea, hasratnya pada budaya pop Jepang tetap ada seperti yang dirasakan Marina Firliana (34). ”Gue hobi banget nonton drakor sama K-pop, tapi bukan berarti menggantikan jejepangan yang udah gue ikuti sebelumnya. One Piece gue masih ikutin, lho,” ujar Marina.
Otaku atau Wibu
Kegemaran pada budaya pop Jepang ini kemudian memunculkan sebutan di tengah masyarakat, seperti wibu maupun otaku. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, wibu diartikan sebagai orang yang terobsesi dengan budaya dan gaya hidup orang Jepang. Sementara itu, otaku lebih spesifik, yaitu orang yang memiliki hobi tertentu, misal gemar anime atau manga, atau bisa hal lain.
Sayangnya, baik di Indonesia maupun di Jepang, julukan ini kerap kali digunakan dengan nada negatif atau mengejek. Padahal, diam-diam, bisa jadi mereka yang ikut ngenyek wibu atau otaku juga pernah ada masanya termehek-mehek dengan budaya pop Jepang. Benar atau tidak?
Apalagi, jika melihat generasi 80-an dan 90-an di Tanah Air. Tanpa sadar, label itu layak juga disematkan kepada mereka. Ini memang sukar dilepaskan dari suguhan tayangan televisi yang menjadi sumber hiburan layar pada masa itu. Minimnya produksi serial anak membuat televisi swasta yang mulai bertumbuh pada akhir 80-an memilih serial anime untuk ditampilkan bagi anak-anak dengan catatan harus disulih suara ke dalam bahasa Indonesia.
Anime, seperti Doraemon, Sailor Moon, Candy Candy, Remi, Saint Seiya, Dragon Ball, Detective Conan, dan Magic Girls atau Tokusatsu seperti Kamen Rider, Ultraman, dan Jiban, mewarnai layar kaca Indonesia dan sangat dinanti anak-anak kala itu.
Ada juga Dash! Yonkuro yang malah membawa tren, yakni mobil tamiya. Pada era itu, para pengikut setia Yonkuro akan mengoleksi juga tamiya-tamiya beserta printilannya. Ada juga yang sampai sekarang masih setia mengumpulkan action figure dari budaya pop Jepang.
Sementara itu, kostum Sailor Moon dan Dragon Ball juga mulai marak disewakan atau dijual untuk memenuhi keinginan anak-anak berdandan seperti idolanya. Mirip para cosplayer yang makin ramai di masa kini, kan? Namun, kini, para cosplayer lebih variatif lagi karakternya, seperti Spy x Family, Inuyasha, Naruto, One Piece, Samurai X, Cardcaptor Sakura, Jujutsu Kaisen, hingga Attack on Titan.
Baca juga: Geliat Industri Komik dari Netflix hingga Kios Buku Bekas
Selain tayangan, kehadiran manga yang cukup diburu tiap ke toko buku atau taman bacaan juga berpengaruh pada paparan budaya pop jepang terhadap generasi 80-an dan 90-an. Manga atau komik Jepang pertama di Indonesia merupakan Candy Candy yang dibawa Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama melalui penerbit Elex Media Komputindo.
Selanjutnya, bertaburan manga lain, seperti Doraemon, Kungfu Boy, Dragon Ball, Detective Conan, Sailor Moon, hingga One Piece yang fenomenal. Layaknya anime, manga ini juga memunculkan anggapan bacaan anak-anak, padahal ada kategori usia tertentu sesuai dengan medium terbitnya di Jepang.
Doraemon, misalnya, masuk kategori kodomomuke, yaitu untuk anak-anak. Candy candy merupakan kategori shoujo atau remaja perempuan. Walakin, penerbit di Indonesia lebih memilih langsung menetapkan batas usia dan mengikuti karakteristik Indonesia. Dengan demikian, ada manga kategori remaja laki-laki atau shounen yang terpaksa dimasukkan kategori 17 tahun ke atas di Tanah Air karena sarat kekerasan, seperti Attack on Titan.
Dari buku Introducing Japanese Popular Culture yang disunting Alisa Freedman, budaya pop Jepang ini lekas membekas dan mudah digemari karena karakteristik tampilan yang menarik dan menggemaskan. Di sisi lain, gaya penceritaan dan latar belakang juga menjadi alasan budaya pop Jepang lebih mudah masuk pada kalangan di Asia, termasuk Indonesia. Meski tak bisa dimungkiri, budaya pop Jepang juga merambah Eropa dan Amerika.
Adanya para cosplayer ini juga dianggap merupakan hal yang wajar. Bahkan, dari sisi psikologi, ini merupakan cara mereka untuk membebaskan diri berekspresi. Meski demikian, kadang para wibu ataupun otaku patut memahami batasan agar tak tenggelam dalam dunia khayalnya.
Mau itu wibu atau otaku, yakin semua pernah mengalami pada masanya. Ada yang kemudian malu-malu mengakui karena bertambahnya usia, ada yang tetap menghidupi kegemarannya dengan batasan wajar.
Apa pun itu, yang terpenting jadi diri sendiri dan bebaskan ekspresimu karena mencintai diri itu bisa dengan cara apa pun, termasuk menggemari budaya pop Jepang dan jangan khawatir kata orang.
Seperti sepenggal lirik lagu Kawaikute Gomen dari Confession Executive Committe ini, ”Watashi ga watashi no koto wo aishite (Aku mencintai diriku dengan sepenuh hatiku)”.