Nyawa Dunia di Tangan Ghibli
”The Boy and The Heron” yang fenomenal menjadi kejutan dari animator Hayao Miyazaki dan bersiap dengan kejutan lainnya.
Kontemplasi kehidupan melalui simbol-simbol yang subtil dihadirkan Studio Ghibli lewat produksi anyarnya. The Boy and The Heron menjadi karya animasi panjang kedua belas pendiri Ghibli, Hayao Miyazaki yang batal pensiun.
Tebakan yang akurat. Golden Globes ke-81 di The Beverly Hilton, Beverly Hills, Amerika Serikat, pada Minggu (7/1/2024) malam waktu setempat menjadi apresiasi sekaligus selebrasi untuk kembalinya goresan tangan Miyazaki yang ajaib.
Setelah satu dekade berlalu sejak rilis The Wind Rises (2013), Miyazaki yang telah mengumumkan pensiun justru berbalik arah dan membesut The Boy and The Heron atau dalam versi jepangnya berjudul Kimitachi wa Dō Ikiru ka yang berarti How Do You Live?. Tajuk ini sama dengan novel milik Genzaburo Yoshino pada 1937 yang menjadi referensi film.
Film yang didedikasikan untuk cucunya itu pun terpilih sebagai film animasi terbaik di Golden Globe Awards 2023 mengungguli produksi Pixar, Elemental (2023), Disney dengan Wish (2023), Universal Pictures dengan The Super Mario Bros (2023), Sony Pictures dengan Spider-Man: Across The Spider Verse (2023), dan sesama produksi Jepang, Suzume (2022).
Dalam konteks Golden Globe, The Boy and The Heron menjadi karya Asia yang pertama memperoleh piala untuk kategori animasi yang baru dibuka pada 2007. Ini juga menjadi karya buatan tangan pertama yang menang.
Prediksinya karya Miyazaki ini akan mengulang sukses di Academy Awards yang berlangsung Maret nanti. Dua dekade lalu, Spirited Away (2001) membawa pulang piala Oscar kategori animasi terbaik pada Academy Awards 2002.
Hubungan personal
Seperti 11 film sebelumnya, The Boy and The Heron mempunyai hubungan personal erat dengan Miyazaki. “Ini agar cucuku mengingat tentangku. Lewat animasilah, aku bisa bercerita dan terus diingatnya,” ungkap Miyazaki dalam wawancara dengan The New York Times sebelum rilis di AS pada akhir tahun ini.
Lebih tepatnya, kisah anak laki-laki jelang remaja Mahito (Soma Santoki) merupakan pengalaman hidupnya. Mahito pindah bersama ayahnya ke sebuah desa kelahiran ibunya sejak pengeboman di Tokyo saat Perang Pasifik pada 1941-1945. Ayahnya, Shoichi (Takuya Kimura) yang menjalankan bisnis manufaktur pesawat milik keluarga, seperti pekerjaan ayah kandung Miyazaki, turut memindahkan pabriknya ke desa.
Pengeboman saat itu menewaskan ibu Mahito yang tengah berada di rumah sakit. Sepeninggal ibu Mahito, ayahnya kemudian menikah dengan adik ibu Mahito, Natsuko (Yoshino Kimura) yang telah menanti di desa bersama calon adik Mahito.
Kematian ibunya merupakan awal perjalanan Mahito menuju penerimaan akan kehilangan dengan cara yang indah dan sukar ditebak. Memang begitukan caranya ikhlas? Tak ada yang tahu kapan titiknya.
Baca juga: Teror bom di balik alibi aksi massa
Petualangan menuju penerimaan ini baru terjadi ketika Mahito menjejak desa tanah leluhur dari ibunya dan membuka novel How Do You Live? yang di dalamnya terdapat secarik pesan dari ibunya untuk Mahito. Keberadaan burung cangak abu-abu (Masaki Suda) yang bisa bicara membangkitkan penasaran Mahito.
Ia pun diarahkan ke sebuah kastil tua milik kakek buyutnya untuk mencari Natsuko yang menghilang. Alih-alih bisa langsung berjumpa ibu tirinya itu, ia justru menemui sosok remaja ibunya di sana yang menemaninya bertualang hingga menerima pesan dari kakek buyutnya untuk tak kehilangan jati diri yang baik dan terperangkap dalam ketamakan dunia yang berpotensi meninggalkan trauma pada banyak orang.
Sebab, trauma yang dialami kadang justru mendorong seseorang kehilangan jati dirinya dan lepas dari nilai-nilai baik yang dimilikinya. Setelah kematian ibunya, Mahito jelas berubah. Mimpi buruk dipenuhi api yang memisahkannya dengan ibunya terus menghantui tidurnya. Ia berubah pendiam dan merasa tersakiti melihat sang ayah bersama ibu tirinya.
Akan tetapi, sebuah ekspedisi lintas dimensi khas Ghibli dan persinggungannya dengan sosok astral yang digambarkan menggemaskan, seperti Wara-wara (Karen Takizawa), membangkitkan jati dirinya yang penuh welas asih.
Perpindahan lintas dimensi memang suatu keistimewaan dari tiap karya Miyazaki. Selalu ada terowongan atau yang menyerupai yang mengantarkan tokoh utamanya menapaki dunia lain. Miyazaki mengamini hal ini dan menyebutnya sebagai kerinduan terhadap dunia yang hilang.
Selain karakter Mahito dan Shoichi yang mirip dengan Miyazaki dan ayahnya, tokoh ibu Mahito juga memiliki kemiripan dengan ibu kandung Miyazaki, Yoshiko. Saat perang berkecamuk di Tokyo, Yoshiko sedang dirawat di rumah sakit karena sakit tuberkulosis. Keberadaan ibu yang dirawat di rumah sakit ini juga pernah dimunculkan di film My Neighbor Totoro (1988).
Baca juga: Romantisme dan idealisme penuh cinta
Miyazaki tak memungkiri sosok ibunya memengaruhi banyak karyanya. Selain itu, kepeduliannya pada alam dan trauma kehancuran akibat perang merupakan bentuk personal lain dari Miyazaki yang sering tertangkap dalam animasi-animasinya. Ini tergambar gamblang dalam film ini ketika dunia hancur karena manusia gagal menjaga keseimbangan yang digambarkan lewat permainan menyusun balok.
Sementara itu, perwujudan kebaikan direpresentasikan lewat bentuk roh baik yang senantiasa memberi petunjuk, seperti Wara-wara, Kodama dalam Princess Mononoke (1997), atau Susuwatari dalam Spirited Away dan My Neighbor Totoro.
Sukses besar
Di Jepang, film yang rilis Juli 2023 ini meraup 1,8 miliar yen di akhir pekan pembukaannya. Angka ini menjadi capaian terbesar dalam sejarah Studio Ghibli dan melampaui debut pemutaran Howl's Moving Castle (2004) yang juga buatan Miyazaki. Saat itu, cerita tentang penyihir dan gadis penjual topi yang lagi-lagi berlatar perang memperoleh 1,5 miliar yen.
Pada 11 Januari 2024, The Boy and The Heron yang telah tayang di beberapa negara pada Desember 2023, termasuk Indonesia, telah meraup 149,7 juta dollar AS. Ini menjadi film anime pertama sekaligus film pertama Miyazaki yang memuncaki box office di Kanada dan Amerika Serikat selama akhir pekan pertamanya.
Masih berkolaborasi dengan musisi Joe Hisaishi untuk musik latarnya, kesuksesan ini sebanding dengan segala hal yang diupayakan. Produser dari Ghibli, Toshio Suzuki, menjelaskan, biaya yang dikeluarkan untuk produksi film ini terbesar dan melebihi biaya produksi The Tale of the Princess Kaguya (2013) yang disutradarai Isao Takahata.
Film ini memiliki versi berbahasa Inggris yang sulih suaranya diisi oleh aktor dan aktris kenamaan, seperti Christian Bale, Gemma Chan, Florence Pugh, Willem Dafoe, dan Robert Pattinson.
Dari Miyazaki yang kini menginjak usia 82 tahun, membuktikan berkarya tak ada batas waktunya. Penerimaan dan kelembutan hati yang jauh dari serakah juga membantu alam semesta ini tetap seimbang sehingga menihilkan trauma.