Geliat seni di dalam pameran ini menawarkan beragam pengetahuan yang begitu dalam.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Tiga batang fosil kayu menyangga ukiran ”batu” yang terbuat dari peleburan limbah plastik. Fosil kayu dimaksudkan sebagai fosil masa lalu, sedangkan batu hasil peleburan limbah plastik sebagai fosil masa depan. Seniman penciptanya memaklumkan inilah monumen kegagalan manusia, kegagalan menjaga lingkungan terbebas dari plastik yang membahayakan kehidupan anak cucu kita nanti.
Karya seniman asal Jerman, Franziska Fennert (39), itu diberi judul ”Leluhur Sedang Memandang” (2023). Fennert sudah 10 tahun berkarya dan menetap di Yogyakarta. Ia bagian dari anggota komunitas seniman di kota itu yang kini tengah membangun Monumen Antroposen terbuat dari batu bata hasil peleburan limbah plastik lembaran tipis. Limbah jenis ini tergolong susah didaur ulang lagi.
Patung ”Leluhur Sedang Memandang” menjadi salah satu karya yang ditampilkan Fennert dalam pameran Seni Rupa Indonesia Kini: Pascamasa di Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Ada 12 seniman mengikuti pameran yang berlangsung sejak 20 Desember 2023 hingga 20 Januari 2024 ini. Selain Fennert, mereka meliputi Arafura, Arkiv Vilmansa, Azizi Al Majid, Condro Priyoaji, Irfan Hendrian, Iwan Yusuf, Meliantha Muliawan, Nesar Eesar, Nona Yoanisahra, Tomy Herseta, dan Sikukeluang.
Karya Fennert berikutnya, ”Extended Social System” (2018, dikerjakan ulang 2023), berupa seni instalasi yang tersusun dari obyek temuan, seperti kawat, spons, pakaian bekas, kain, gulungan kertas, dan sebagainya. Ini dilengkapi video seni, lampu neon, beserta elemen alam berupa bebatuan. Seni instalasi ini ingin membicarakan eksistensi atau keberadaan manusia itu meliputi eksistensi hidup dan nonhidup. Keduanya harus dijaga dan dihormati.
Karya ketiga berupa relief berbasis tekstil. Ini adalah patung lunak yang menggambarkan seorang pemulung di tempat pembuangan sampah. Fennert menempatkan sosok pemulung ini sebagai orang sakral di saat struktur sosial kita masih mengabaikan keberadaan pemulung.
”Sebagai orang Eropa, saya tidak tahu akar spiritual saya. Di sana orang hidup seperti robot, seperti mesin biologis dengan kapitalisme yang akhirnya mendestruksi akar spiritual masyarakat. Tidak ada ruang untuk introspeksi,” ujar Fennert, Kamis (3/1/2024), di Yogyakarta.
Melalui karya-karya seninya yang dibuat selama menetap di Yogyakarta itu, Fennert bertujuan melakukan introspeksi ekologi secara global. Ia menjadi seniman yang tak hanya membenturkan persoalan bersama dan meraciknya menjadi karya. Ia menawarkan solusi.
Ekonomi sirkular ditawarkan. Ini kemampuan mengolah kembali segala material yang dipakai manusia untuk mencegahnya berakhir menjadi sampah belaka.
Kemudian berbagi aset. Fennert mengambil contoh, ketika kita membeli radio, yang dibeli adalah hak pakai. Setelah hak pakai radio itu selesai, materialnya harus dikembalikan kepada pembuatnya untuk diolah kembali dan tidak jadi sampah.
Ada simpulan menarik dari para kurator pameran ini bahwa para seniman menjalani praktik seni dari tindakan yang dipilih dan digelutinya. Ini menjadi manifestasi atas persepsi seniman tentang seni, sekaligus membantu dalam menghadapi tantangan hidup. Karya Fennert begitu lugas menampakkan simpulan ini.
”Seorang seniman tak harus merumuskan pengetahuan atau teori tentang seni secara pasti terlebih dulu, sebelum mengerjakan karya-karyanya. Seni itu hal yang tidak sama dengan berbagai bentuk pengetahuan atau teorisasi tentangnya,” demikian rumusan kuratorial para kurator yang meliputi Rizki Zaelani, Rikrik Kusmara, Sudjud Dartanto, dan Bayu Genia Krisbie.
Seni juga tak memiliki batasan karena praktik seni terus dilakukan sebagai wujud pembaruan. Pemikiran tentang seni akan selalu mengalami perubahan karena fitrah pikiran manusia itu sendiri selalu berubah. ”Intinya, tak ada definisi, ketentuan, atau batasan tentang seni yang bisa dipastikan, sejauh kreativitas penciptaan seni dianggap penting dan utama. Seni akan selalu gagal untuk didefinisikan secara tetap dan pasti,” ujar Rizki.
Mengenai bagian tema dengan pilihan kata ”pascamasa”, menurut Bayu Genia, ini merujuk pada konteks latar waktu tertentu. Pascamasa ditujukan untuk menyikapi masa-masa tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu. Karya seni yang ditampilkan menjadi karya seni kontemporer.
”Coba, lihat karya Nesar Eesar ini. Ia bagian dari pengungsi asal Afghanistan yang membuat instalasi karya kapal terbuat dari karpet Afghanistan,” ujar Bayu.
Nesar menjadi pengungsi asal Afghanistan yang ditampung di Yogyakarta dan menempuh studi seni di kota itu. Sekarang ia melanjutkan studi seni di Bandung.
Karya Nesar diberi judul ”The Ambiguous Journey” (Series/2023). Ia menggunakan karpet asli buatan Afghanistan yang dibentuk menjadi seperti perahu atau sampan. Perahu itu sedikit mendongak ke atas dan melawan arus batu-batu. Nesar menciptakan instalasi batu-batu di depan perahu tersebut.
Karya ini berbicara tentang pelarian para pengungsi perang di mana pun. Pelarian dengan kapal bukanlah pilihan mudah. Setiap perjalanannya akan selalu diterpa bahaya.
Pengalaman domestik
Keunikan karya dari pengalaman domestik ditampilkan seniman Meliantha Muliawan ke dalam karya yang diberi judul ”Minibeast #6: Inside 2 x 3 Meter Room” (2023). Meliantha melukiskan kembali minibeast, serangga-serangga kecil, seperti pernah dilakukan di masa-masa kecil dulu.
Meliantha menyusun gambar serangga-serangga kecil itu ke dalam banyak kotak akrilik yang transparan. Lewat karya itu, ia menyampaikan, hidup di tengah pesatnya teknologi informasi saat ini membuat dirinya kesulitan menempatkan diri pada posisi tertentu.
Banyaknya informasi yang diterima tak selalu memberikan kejelasan. Ini memaksanya untuk selalu berpikir abu-abu, tak bisa hitam atau putih. Meliantha ingin meraih sebuah keyakinan. Ia pun mengunjungi kembali ruang kecil berukuran 2 meter x 3 meter di rumahnya yang dulu selalu digunakan sebagai ruang bermain dan menggambar.
Ternyata keterbatasan ruang menjadi ruang penjelajahan yang bisa ditempuh dengan penuh keyakinan dengan menghargai kejujuran dan dorongan dalam berkarya.
Seniman lain yang juga menampilkan karya unik adalah Nona Yoanisahra (31). Ia menempuh studi filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2012-2019. Dalam pameran ini, Nona menampilkan karya yang diberi judul ”Brain Dead: A Circuit of Mind” (2023).
Nona membangun instalasi pemindai gelombang listrik di kepala. Kemudian hasilnya divisualisasikan ke dalam diagram gerak. ”Karya saya membicarakan tentang otak dan memori bekerja. Ini tentang spekulasi berpikir,” ujar Nona.