Tirto, Refleksi bagi Media
Monolog ini memberikan refleksi penting bagi media masa kini. Tirto yang lahir di Blora, Jawa Tengah, dikisahkan menetap di Bogor pada waktu itu menggunakan ketajaman pena jurnalistiknya untuk melawan penindasan.
Derap kaki lesu pengusung keranda membuka pentas monolog Tirto: Tiga Pengasingan. Tirto, dialah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), cucu seorang bupati Bojonegoro yang memiliki kegigihan jurnalistik modern paling awal di negeri ini, kemudian dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1973 dan Pahlawan Nasional pada 2006.
Monolog ini memberikan refleksi penting bagi media massa kini. Tirto yang lahir di Blora, Jawa Tengah, dikisahkan menetap di Bogor pada waktu itu menggunakan ketajaman pena jurnalistiknya untuk melawan penindasan pada masa kolonial Hindia Belanda yang berpusat di Batavia atau Jakarta.
Jejak suratckabar yang pernah didirikan Tirto antara lain Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (didirikan pada 1907), dan Poetri Hindia (didirikan pada 1908). Tirto begitu tajam melontarkan kritik ke dalam tulisan yang dimuat di medianya.
Ki Hajar Dewantara dalam suatu buku kenang-kenangan yang ditulis pada 1952 pernah mencatat tentang diri Tirto sebagai seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena kelancaran dan ketajaman pena yang ia pegang. Tirto disebut pula sebagai bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi, yang kemudian Berita Betawi. Tirto lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Ki Hajar menyebut Tirto sebagai pelopor dalam dunia jurnalistik.
Akibat berbagai tulisannya yang tajam, Tirto mengalami tiga kali pengasingan. Pertama, pada 1910 selama dua bulan Tirto diasingkan di Telukbetung, Lampung, karena pena tajamnya mengoyak pejabat Aspirant Controleur Purworejo dan Wedana Cangkrep di kota itu. Keduanya ditulis Tirto sebagai snot aap atau monyet ingusan.
”Ya, memang, aku menulis mereka sebagai monyet ingusan. Tapi, kata-kata itu bukanlah ujaran hinaan, melainkan ujaran kemurkaan, marah besar karena bangsa kita, yang masih dalam taraf seperempat manusia ini, telah diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah yang semestinya menjaga keselamatan bangsanya yang lemah dan tak berdaya,” ujar Tirto dalam monolog yang diperankan Ari Sumitro pada pementasan Rabu (20/12/2023) di Salihara, Jakarta.
Baca juga: Balada Liris Raksasa Tua yang Terlupakan
Tulisan Tirto soal pejabat di Purworejo saat itu berawal dari pengaduan Soerodimedjo, seorang yang telah mengabdi sebagai lurah tanpa digaji. Setelah mengabdi selama 12 tahun, ia dipilih kembali oleh warga. Terjadilah campur tangan Aspirant Controleur Purworejo dan Wedana Cangkrep yang membuat lurah ini dihukum krakal selama 14 hari dan dilengserkan.
”Apa coba istilah yang paling tepat buat pegawai pemerintah busuk semacam itu, kecuali monyet ingusan?” ujar Tirto.
Monolog Tirto: Tiga Pengasingan merupakan bagian dari lima pementasan dengan narasi Di Tepi Sejarah pada musim ketiga. Pementasan ini digagas perkumpulan Titimangsa yang dipimpin Happy Salma bekerja sama dengan komunitas Kawan Kawan Media dan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Empat monolog yang juga bertema tepian sejarah nasional itu dipentaskan sebelumnya. Semuanya menggugah publik. Empat monolog lainnya dikemas dengan judul Suamiku Oto dan Bel Pintu, Ke pelukan Orang-orang Tercinta, Seroean Kemadjoean, dan Sudut Terlipat di Panggung Tan Tjen Bok.
Monolog Tirto: Tiga Pengasingan dengan naskah garapan Ibed S Yuga dan sutradara Putu Fajar Arcana. Ibed menuangkan dua pengasingan bagi Tirto berikutnya, yakni pada 2013 selama enam bulan di Maluku. Ini gara-gara tulisannya yang dinilai menghina Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat.
Ketiga, untuk terakhir kali di tahun kematiannya pada 1918 Tirto tidak lagi dibuang di luar Pulau Jawa, tetapi di Batavia. Ia benar-benar diasingkan di pusat kota yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tidak ada seorang pun yang diperkenankan menjalin interaksi dengan Tirto hingga ajal menjemput.
Bantuan hukum
Terutama dengan surat kabar yang diterbitkan mingguan Medan Prijaji, Tirto banyak mengupas persoalan yang membelit masyarakat tertindas pada masanya. Keutamaan yang dijalani Tirto tidak hanya menulis, tetapi sampai memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tertindas yang membutuhkannya.
Ibed, penulis naskah monolog, ini merinci demikian. Medan Prijaji bukan hanya memberi kabar yang patut, tetapi juga menjadi penyuluh keadilan, menyediakan bantuan hukum, menjadi tempat mengadu bagi orang yang tersia-sia, dan mencarikan pekerjaan.
”Sebagai jurnalis masa kini, saya sampai merasa malu terhadap diri sendiri. Dibandingkan Tirto, saya merasa menjadi jurnalis yang belum berbuat apa-apa,” tutur Putu Fajar Arcana, yang pensiun dari sebuah surat kabar nasional di Jakarta.
Sebagai seorang jurnalis yang priayi, aku melawan ketidakadilan dengan menyimpan amarah yang diwariskan para leluhurku: Ario Jipang dan Pangeran Sambernyowo. Mereka bersemayam dalam tubuhku.
Lewat tulisannya, Tirto bahkan giat menggerakkan bangsa untuk berorganisasi, membangun, dan memajukan bangsa. Tirto juga berusaha memperkuat bangsa melalui usaha perdagangan. Tirto pernah mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah (SDI-ah), organisasi tandingan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan Samanhoedi.
Baca juga: Pertarungan “Terakhir” Sanggar Bumi Tarung
Baginya, usaha-usaha itu menjadi medan perjuangan sebagai bangsa yang terperintah, bangsa yang belum sepenuhnya menjadi manusia bebas. Tirto bahkan sampai menyebut bangsanya sebagai manusia seperempat saja, karena hidupnya hanya diperintah dan ditindas. Tirto menyadari, mereka ditindas bukan hanya oleh bangsa Hindia Belanda, tetapi juga kalangan priayi seperti dirinya.
Tirto menerbirkan surat kabar mingguan Medan Prijaji dengan menggunakan bahasa Melayu. Ini menjadi surat kabar nasional yang berbahasa Melayu untuk pertama kalinya. Tirto pun mempekerjakan kaum pribumi untuk seluruh karyawannya.
”Sebagai seorang jurnalis yang priayi, aku melawan ketidakadilan dengan menyimpan amarah yang diwariskan para leluhurku: Ario Jipang dan Pangeran Sambernyowo. Mereka bersemayam dalam tubuhku,” ujar Tirto dalam monolog.
Dalam pengasingannya di Lampung, Tirto tetap menuliskan kegetiran hatinya. Tirto menuliskan keadaan masyarakat di Lampung yang masih sama dengan keadaan 50 tahun sebelumnya, tatkala Multatuli dalam Max Havelaar menceritakan Lampung sebagai tempat pembuangan para pemadat dari masa Sultan Banten.
”Kini, aku seakan tak ada bedanya dengan para pemadat itu, diasingkan di sini sebagai pesakitan,” desah Tirto.
Bagi Tirto, Lampung tak ubahnya wilayah lain di bawah penindasan kolonialis Hindia Belanda. Sebagai bangsa terperintah, tetap saja menderita dalam kehinaan dan kemiskinan karena ditindas oleh bangsa yang memerintah.
”Dan aku tak bisa diam,” tandas Tirto.
Kenakalan
Ari Sumitro mengagumi sosok pahlawan Tirto Adhi Soerjo dari sudut kenakalan di masanya menginjak dewasa, masih di usia belasan tahun. Ia menceritakannya dalam suatu wawancara sebelum pementasan.
Seperti dikisahkan di dalam monolognya, ketika Tirto masih menjadi murid STOVIA, dirinya menjadi bujangan yang bangor, nakal. Bagi Tirto, kenakalan itu kenikmatan hidup yang tak boleh dilewatkan. Ia harus dijalani sebagai bagian dari sejarah yang membentuk diri saat dewasa hingga tua.
Mungkin aku murid yang nakal. Ya, aku suka kebebasan. Aku tak suka kungkungan. Aku gemar menulis. Dengan menjadi jurnalis, aku bebas. Kutemukan dunia tulis-menulis yang menjamin kebebasan itu.
Tirto mengisahkan, memilih sekolah dokter STOVIA bukan untuk menjadi calon pegawai pemerintah. Pegawai pemerintah sama saja memiliki pekerjaan memerintah, yang justru sering memeras masyarakat.
Menurut Putu Fajar Arcana, tidak cukup data sejarah untuk menyatakan sebab-musabab Tirto dikeluarkan dari STOVIA. Apakah terkait dengan kenakalannya terhadap perempuan? Entahlah.
Ibed hanya menuliskan, ”Mungkin aku murid yang nakal. Ya, aku suka kebebasan. Aku tak suka kungkungan. Aku gemar menulis. Dengan menjadi jurnalis, aku bebas. Kutemukan dunia tulis-menulis yang menjamin kebebasan itu.”
Lanjut Ibed, ”Walaupun gagal mengabdikan diri sebagai dokter, sebagai jurnalis aku bisa mengobati penderitaan demi penderitaan masyarakat sebagai kaum yang terperintah.”
Menyinggung ketertarikan terhadap perempuan, Ibed menuliskan tentang surat kabar Poetri Hindia yang pernah diterbitkan Tirto. Ini menjadi surat kabar perjuangan perempuan yang memperoleh penghargaan dari Ibu Suri Emma, Ibunda Sri Ratu Wilhelmina di Belanda.
Inspirasi menerbitkan Poetri Hindia datang dari kenakalan masa remaja Tirto terhadap perempuan. Ia menyebut dirinya sebagai penjelajah yang bergaul bukan hanya dengan para gadis, melainkan juga dengan nona-nona Eropa, para nyai, bahkan dengan janda seorang jaksa.
Masa kecil Tirto juga dikisahkan. Melalui peran seorang bocah bernama Antasena, masa kecil Tirto dalam pengasuhan nenek Raden Ayu Tirtonoto dikenangkan kembali. Dari neneknya itulah Tirto mewarisi keberanian dan kegigihan. Akan tetapi, tidak hanya menghujat kaum kolonialis, Tirto bahkan mengagumi Gubernur Jenderal van Heutsz, sosok bertangan besi yang mengurangi kekuasaan para priayi dan memasukkan hukum positif yang bisa dipegang semua golongan.
Dalam perjuangannya melalui kebenaran pers di masanya, Tirto Adhi Soerjo menjadi refleksi bagi beragam media pada masa kini. Pers bagi Tirto bukan hanya sekadar mengabarkan.