Teror Bom di Balik Alibi ”Aksi Massa”
Film ”13 Bom Di Jakarta” bisa dibilang sukses mencuri perhatian dan tujuannya menghibur tanpa embel-embel pesan moral atau kritik sosial itu dapat tersampaikan. Siap untuk nonton film dar der dor kan!
Kecewa pada negara karena sistem yang korup dan ketidakadilan yang merajalela lama-lama menggerus jiwa raga. Apalagi sampai kehilangan yang dicinta, maka balas dendam pun jadi jawabnya. Walakin, apakah gelora amarah mesti diejawantahkan dalam bentuk perlawanan penuh kekerasan?
Pertanyaan itu muncul ketika menyaksikan film 13 Bom di Jakarta besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko pada malam penutupan Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), Sabtu (2/12/2023). Kini, film ini telah mengudara di jejaring bioskop sejak 28 Desember 2023.
Di bawah pimpinan desersi militer bernama Arok alias Ismail (Rio Dewanto), sekelompok teroris menebar ketakutan di ibu kota lewat teror bom yang telah dipasang di 13 lokasi. Sejumlah bom sempat diledakkan, yakni di kantor Bursa Efek Indonesia dan kereta mass rapid transit (MRT).
Sebelumnya, aksi teror dibuka dengan serangan ke mobil pengangkut uang yang kemudian diledakkan oleh Arok. Pascaserangan ini, Arok meminta tebusan 100 bitcoin yang harus disalurkan melalui Indodax apabila ingin teror bom berhenti.
Badan Kontra Terorisme Indonesia (ICTA) ketar-ketir. Dari penyelidikan yang dilakukan, mereka tak menemukan hubungan Arok dengan jejaring teroris lain yang beroperasi di Indonesia. Kepala ICTA, Damaskus (Rukman Rosadi), memerintahkan anak buahnya, Karin (Putri Ayudya), Emil (Ganindra Bimo), dan Gita (Niken Anjani), mengejar Arok dan pengikutnya.
Target operasi pertama yang dicokok justru pendiri Indodax, William (Ardhito Pramono) dan Oscar (Chicco Kurniawan), karena menjadi tempat penampungan tebusan sehingga diduga bersekongkol. Dibantu tunangan William, Agnes (Lutesha), kedua pria ini melarikan diri dari aparat dan berupaya mencari sarang Arok untuk menghentikan teror.
Baku tembak silih berganti dengan ledakan bom. Kejar-kejaran mobil tak terelakkan. Tempo film berdurasi 143 menit ini sengaja dijaga terus menguarkan ketegangan. Kecurigaan adanya pengkhianat di ICTA dan perpecahan di kubu Arok karena ketidaksetujuan tangan kanannya, Waluyo (Muhammad Khan), terhadap perubahan rencana yang malah membunuh warga menjadi bumbu ketegangan lain. Sedikit melelahkan memang.
Tindakan Arok bersama para kameradnya yang membuat ICTA pontang-panting ini dilandasi dendam kehilangan anak istri akibat ketidakadilan sistem finansial. Mereka merupakan korban culasnya asuransi, robot trading, dan kredit pemilikan rumah yang timpang. Tak hanya rugi uang dan harta benda, keluarga mereka ikut tutup usia.
Akan tetapi, apakah lantas perbuatan Arok merupakan bentuk perlawanan terhadap negara? Dalam filmnya kali ini, Angga lebih menitikberatkan pada suguhan yang sepenuhnya menghibur melalui genre spionase yang diangkatnya ini. ”Jadi sebetulnya yang mereka kejar bukan negara melainkan stabilitas,” ujar Angga dalam jumpa pers, Kamis (21/12/2023).
Kedok aksi massa
Lazimnya, dalam film spionase, musuh utama digambarkan selalu meluncurkan teror meski kedoknya bisa beragam. Entah menjadi ilmuwan, pengusaha, atau agen ganda. Angga mencontohkan beberapa judul seperti Fast and Furious, Mission Impossible, atau juga film-film agen rahasia Inggris Raya, James Bond.
“Para villain ini punya sisi utopis. Kenapa bitcoin? Ini utopia versinya Arok untuk stabilitas sistem keuangan tadi. Kalau enggak ada visinya yang utopis ini, gimana bisa bikin yang lain mau bergabung kan?” tutur Angga.
Menyitir teori aksi massa milik Tan Malaka, kesamaan visi ingin mengubah sistem atas nama dendam dipakai Angga untuk menyatukan Arok dan kelompoknya menjadi satu aksi massa. Namun jika ditelaah lebih lanjut, Tan Malaka menegaskan, aksi massa justru tidak mengenal fantasi kosong segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan membuat rancangan menurut kemauan sendiri seperti yang dilakukan Arok.
Alibinya demi masyarakat, tapi langkahnya penuh amarah dan keinginan menyerang yang malah merugikan massa sesungguhnya. Sejalan dengan pilihan nama Arok yang dalam Serat Pararaton ditulis Angrok bermakna serbuan atau serangan.
Motif kesumat yang melumat hati Arok ini cenderung berbeda dengan isu terorisme selama ini. Umumnya, terorisme lebih kerap terkait urusan yang bersifat filosofis dan ideologis, baik mereka yang berpaham kanan maupun kiri.
Akan tetapi, kejadian ini pernah ada di tanah air. Mundur pada 2015, peristiwa bom di Mall Alam Sutera dilakukan karena persoalan ekonomi. Pelaku juga meminta tebusan bitcoin. Hanya saja, pelaku aksi ini merupakan lonewolf, bukan berkelompok. Ia juga tidak terafiliasi dengan jaringan teroris berpaham ideologis tertentu. ”Bom di Alam Sutera itu salah satu ini yang memantik,” ungkap Angga.
Baca juga: Siksa Neraka dari Komik ke Layar Lebar
Jalinan cerita lainnya, lanjut Angga, juga berkaca pada momen lain. Antara lain, bom di Bursa Efek Jakarta pada 2000 yang juga dimotori bekas anggota militer, bom di jaringan kereta bawah tanah di London pada 2005, sampai serangan malware di Bank Sentral Bangladesh pada 2016 yang mengakibatkan kerugian 101 juta dollar AS.
Tak ketinggalan, kasus penggelapan dana Koperasi Simpan Pinjam Indosurya yang membebaskan pemiliknya juga menjadi latar belakang cerita. Sementara itu, keterlibatan Indodax beserta dua pemiliknya sebagai tokoh disebabkan kisahnya yang pernah diambil oleh Densus 88 untuk diperiksa.
Senjata asli dan teknologi
Di sisi lain, film spionase identik dengan sosok pahlawan tokoh utama yang melawan teror. Di sini, penonton digiring dalam tiga perspektif. “Mau lihat dari sisi Karin, sisi Arok, atau sisi Will dan Oscar? Bukan satu sisi saja,” ujar Angga.
Ini pula yang memberi batas film ini dengan film aksi lain yang pernah ada di Indonesia. Salah satu film aksi fenomenal di tanah air adalah The Raid (2011) dan The Raid 2: Berandal (2014) dengan adegan pertempuran yang juga dahsyat meski tanpa ledakan. Namun, sorotan dan empati penonton jelas tertuju pada tokoh utama.
Film spionase juga khas dengan ragam kecanggihan teknologi. Dari disket yang berisi data di Mission Impossible (1996), cip yang ditanam di tubuh di Bourne Identity (2002), hingga mobil dan perangkat lunak canggih dalam semesta The Fast and The Furious.
13 Bom Di Jakarta bermain dengan bitcoin, mata uang digital dan serangan malware. Ditambah parade senjata asli dan terkini yang dipakai para penggawa ICTA dan anak buah Arok.
Beberapa yang fenomenal seperti senapan mesin kaliber besar, M2 Browning 12,77 milimeter, peluncur granat berpeluncur roket (RPG) sekali pakai 90 mm, dan Instalaza C90. Ada juga senapan laras panjang CAR-15 XM177 dan Sig Sauer MCX, yang biasa digunakan pasukan khusus, KelTec's KSG shotgun, pistol M1911, AR15, dan AK47.
Selain itu, ada tiga kilogram bahan peledak, yang dipakai meledakkan sejumlah kendaraan dalam beberapa adegan. Kemudian, seluruh pemain bersenjata juga telah menghabiskan total sekitar 3.800 butir peluru beragam jenis. Menurut sejumlah pemeran yang mengikuti kemah pelatihan penggunaan senjata, penggunaan peluru hampa ini memberi efek dan pengalaman menembak yang nyata.
Produksi film kali ini diakui Angga cukup rumit. Selain proses syuting dalam kondisi pandemi, banyak adegan pertempuran dan ledakan yang mesti tampil realistis. ”Aplikasinya practical effect dan attention to detail. Konsentrasi pemain terhadap senjatanya akan terlihat dari mata serta gerakan, entakan otot, dan semua anatomi tubuh saat menembak,” jelasnya.
Keamanan juga utama. Ada banyak tim terlibat dan harus bisa selaras, mulai dari tim efek khusus dan visual, persenjataan (armoury), koordinator pemeran pengganti, safety officer, dan beberapa lagi. Total ada sekitar 10 tim harus berkoordinasi dengan teliti dan mendahulukan unsur keamanan.
Salah satunya saat shooting adegan pertama, yaitu ledakan mobil pengangkut uang. Proses pengambilan gambarnya digelar di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Angga beserta tim hanya punya waktu 15 menit untuk menutup jalan. Timnya benar-benar melakukan proses penghitungan dan uji coba yang sangat matang.
“Sudut pandangnya harus safety first. Kejadian, shot, dan brief-nya harus hari itu juga. sementara kita enggak tahu kalau diledakkan lompatan mobilnya akan seberapa jauh sementara kamera akan berjalan mendekati mobil itu,” ujar Angga.
Begitu pula ketika adegan berkelahi antara Arok dan Emil, Angga memilih memegang kamera sendiri dan mengikuti pergerakan aktornya. Kelak, film ini direncanakan memiliki sekuel. Sebab, matinya satu jenderal melahirkan ribuan lainnya mengutip kata Arok. Seperti pilihan angka 13 yang diartikan terlahir kembali dari kombinasi angka pada jam.
Pada akhirnya, 13 Bom Di Jakarta bisa dibilang sukses mencuri perhatian dan tujuannya menghibur tanpa embel-embel pesan moral atau kritik sosial itu dapat tersampaikan. Siap untuk dar der dor kan!
Baca juga: Aquaman, Bkan Pahlawan Super Biasa