Band Behemoth pantas tampil kembali sebagai tamu di ajang Rock in Solo 2023. Tiga belas lagu yang dibawakan mendorong penonton untuk membebaskan diri dari otoritarian. Mereka mewartakan dunia tak pernah baik-baik saja.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Lapangan Benteng Vastenburg di pusat Kota Surakarta, Jawa Tengah, jadi saksi berkumpulnya ”pasukan” berbaju hitam pada Minggu (10/12/2023). Band Behemoth ibarat patron yang paling berkuasa dibandingkan band lainnya. Musik metal ekstrem dan lirik bernuansa eksistensialisme disanjung sedemikian rupa.
Penampilan Behemoth pada malam itu menjadi yang ketiga kalinya di Indonesia. Yang pertama terjadi di Jakarta tahun 2009 di aula berkapasitas tak lebih dari 5.000 orang. Kedua, mereka main di ajang Rock in Solo pada 2013 di arena terbuka Lapangan Kota Barat. ”Sepuluh tahun lamanya kami menunggu untuk datang lagi di kota ini,” kata vokalis/gitaris Nergal di hadapan sekitar 15.000 penonton.
Sebagian besar penonton datang untuk menyaksikan band yang terbentuk di kota Gdansk, Polandia, itu. Kaus Behemoth berlisensi resmi seharga Rp 300.000 ludes lebih cepat dibandingkan dua band tamu lainnya, Thy Art is Murder dan Cryptopsy. Tak kurang dari dua pertiga penonton pulang mengabaikan aksi beringas Cryptopsy sebagai band penutup setelah Behemoth main.
Behemoth begitu dipuja. Seruan ”Fight, fight, fight, fight” sebagai pembuka nomor ”Ora Pro Nobis Lucifer” langsung membahana. Barisan rapat penonton segera berubah jadi arena adu badan. Sepertinya tak ada yang celaka di ”kekacauan” itu. Mereka bertahan, mengikuti Nergal menyerukan ”Azazil” dan ”Apollyon”, nama para bangsa jin.
Nomor kedua ”Malaria Vulgata” menderu lebih kencang. Pemain dram Inferno melancarkan pukulan blast beat yang menyerupai bunyi senapan mesin. Debu lapangan Vastenburg beterbangan. Nergal menyerukan lirik paradoks dengan musiknya, ”Kematian, kau begitu sunyi, sangat menyakitkan,” kira-kira begitu jika diterjemahkan.
Nergal, yang bernama asli Adam Darski, adalah tokoh sentral band yang telah mengeluarkan 12 album studio ini. Dengan kostumnya di panggung, dia bisa menjadi seperti pemimpin ibadah. Di lagu lain, dia berubah jadi komandan perang dengan tudung kepala bertatahkan logam. Kadang, dia jadi setan saja.
Pada lagu ”Ov Fire and the Void”, Nergal mendaku sebagai ”putra matahari”. Tapi, di lagu ”The Deathless Sun”, dia mengaku sebagai kehampaan. Karakter dan sudut pandang yang berbeda-beda inilah yang menjadi kekuatan Behemoth.
Nergal pernah mengidap kelainan sumsum tulang pada 2010. Pada masa-masa itu pula, berdasarkan wawancaranya dengan media Loudwire, Nergal bergumul dengan tudingan sebagai penista agama oleh kalangan konservatif Polandia.
Nergal bergeming. Dia menjalani terapi untuk pemulihan fisiknya. ”Aku memulai dengan berjalan kaki tiap pagi ke hutan. Berangsur-angsur rutin berlari. Setiap berlari aku selalu memutar musik rock dan heavy metal. Ada semangat yang muncul setiap mendengar musik itu,” kata Nergal yang kini punya tiga lokasi pangkas rambut di Warsawa dan mengendarai Mercedes-AMG E53 Coupe itu.
Perihal tudingan sebagai penista agama, Nergal punya pandangan sendiri. ”Musik seharusnya membebaskan kita dari pemikiran usang yang mengekang. Mereka (kaum konservatif) selalu mencari kambing hitam, dan akulah sasaran yang tepat,” ucapnya.
Setelah pulih dari kelainan sumsum tulang, Nergal dan kawan-kawan mengeluarkan album The Satanists tahun 2014. Album ini disebut-sebut sebagai magnum opus Behemoth. Posisi Behemoth, khususnya Nergal, semakin kukuh sebagai orang yang mempertanyakan banyak hal, dan membebaskan dirinya dari pemikiran konservatif. Loudwire menganugerahkan album ini sebagai salah satu album metal terbaik di dekade 2010-an.
Suguhan pemikiran
Kontroversi tetap melekat di sosok yang dibesarkan dari keluarga Katolik ini. Meski begitu, albumnya laku. Tur keliling dunia mereka jalani. Behemoth dikenal sebagai band bercorak death/black metal dengan produksi suara apik. Mereka mentas dari lapisan bawah tanah. Nergal bahkan pernah menjadi juri ajang pencarian bakat Poland’s Got Talent yang disiarkan televisi nasional Polandia.
Dari artikel di majalah Der Spiegel, Nergal mengaku masih menjadi oposisi otoritas, terutama urusan kemanusiaan dan kebudayaan. Dalam wawancara pada tahun 2021, Nergal berkata, Polandia berada di tubir perpecahan kebudayaan. Dia mendengungkan, antara lain, sekulerisme, kesetaraan hak bagi kaum liyan, dan mengembalikan hak aborsi legal untuk perempuan.
Pemikiran itulah yang terekam dalam lagu-lagunya. Behemoth menampilkannya di banyak negara; bukan cuma negara utara yang dianggap lebih berbudaya, melainkan juga negara selatan, seperti Brasil dan Indonesia. Mereka menyuguhkannya seperti pentas teater. Kostumnya beraneka rupa. Riasan wajahnya sepucat mayat dengan cemong hitam. Produksi suara menggelegar. Tata lampunya megah.
Dengan pertunjukan sedemikian rupa, rasanya pantas Behemoth diterima di Indonesia. Terlebih lagi, ada ”kemiripan” isu geopolitik: Polandia dan Indonesia tidak baik-baik saja. Dari tempat semacam itulah musik metal tumbuh subur. Masuk akal kalau ajang Rock in Solo kali ini didatangi tak kurang dari 15.000 penonton. Band hardcore dari Malang, Jatim, Dazzle, yang tampil sore hari, misalnya mendengungkan pengusutan tuntas Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang. Penonton sepakat.
Jumlah penonton ini, kata Stephanus Adjie, penggagas Rock in Solo, selalu bertambah setiap penyelenggaraannya. ”Tahun lalu penontonnya 11.000-12.000 orang. Tahun depan mungkin akan memperluas arena penonton di Vastenburg,” kata vokalis Down for Life yang selalu tampil trengginas di Rock in Solo ini.
Antusiasme penggemar musik cadas terasa sejak Sabtu malam. Di depan arena terlihat muda-mudi bergerombol, umumnya datang dari luar kota. Mereka duduk-duduk di bawah ornamen lampu bintang terbalik, tepat di seberang lampion hiasan natal.
Keesokan harinya, antrean penukaran tiket mengular sejak tengah hari yang memakan waktu cukup lama. Akibatnya, beberapa penonton terpaksa melewatkan penampilan band awal seperti Weekend Warriors dan Finsmoonth. Meski begitu, dua band ini ditonton cukup banyak orang juga.
Beberapa penonton datang membawa anak kecil—mungkin hendak mewariskan selera musik orangtuanya. Penyelenggara menyediakan arena bermain anak. Namun, arena bermain yang warna-warni itu rasanya terlalu dekat dengan panggung. Di depan panggung, tak banyak tempat untuk anak berlari-larian karena penuh dengan orang dewasa, yang sebagian besar merokok.
Durasi festival yang hampir dua belas jam membutuhkan stamina dari makan dan minum. Sebotol air mineral harganya Rp 10.000. Sekaleng bir Rp 25.000. Ya, okelah. Tapi, kios makanan hanya ada dari sponsor utama, yaitu restoran ayam goreng cepat saji ternama. Menunya ya, ayam goreng. Mungkin penyelenggara lupa, pemakan non-daging juga tumbuh dari subkultur punk/metal.