Pada 1992, Sepultura adalah band metal paling pekat dari yang berkonser di Jakarta. Setelah itu, Metallica main juga di Jakarta. Dua konser ini menjadi bagian penting babakan penting skena musik cadas Indonesia.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·6 menit baca
Festival musik Jogjarockarta di Stadion Kridosono, Yogyakarta, pada Sabtu (30/9/2023) menghadirkan monster kelas berat: Sepultura asal Brasil. Ini adalah kedua kalinya mereka mengentak kembali Indonesia setelah dua panggung di Jakarta dan Surabaya pada Juli 1992 silam. Di selang waktu itu, Sepultura dan kancah metal dalam negeri banyak berubah.
”Saya ingin kembali lagi ke Indonesia, tunggu saja,” ucap Igor Cavalera sang penggebuk drum kepada majalah Hai seusai manggung di Jakarta pada 1992 lalu. Formasi band saat itu, selain Igor, adalah abangnya, Max Cavalera (vokal/gitar), Andreas Kisser (gitar), dan Paulo Jr (bas). Dalam reportase majalah Hai, Sepultura benar-benar terkesan dengan antusiasme penonton di Indonesia.
Betapa tidak. Ketika itu, mereka tergolong band dari belahan dunia selatan—sama dengan Indonesia—yang baru menapaki popularitasnya dengan album Arise (1991). Nama mereka, yang berarti ”kuburan” dalam bahasa Portugis ini, baru moncer di Eropa dan Amerika Utara. Histeria metalheads di Indonesia, yang setia menunggu di bandara dan hotel, mencengangkan mereka.
Pertunjukan di Stadion Mini Lebak Bulus, Jakarta, tergolong sukses. Sekitar 35.000 penonton ikut menyanyikan larik awal lagu ”Arise”, ”I see the world: old… I’m from nowhere”, yang kira-kira menggambarkan asal-usul mereka sebagai warga yang bertahan hidup di antara kekacauan dan kriminalitas kota Sao Paulo. Lirik lagu itu bisa jadi mewakili keresahan masyarakat di Indonesia.
Pada tahun 1992 itu, Sepultura adalah band metal paling pekat pertama dari luar negeri yang berkonser di Jakarta. Raksasa metal lainnya, Metallica, main di Jakarta setahun kemudian. Dua konser metal inilah yang menjadi bagian penting babakan skena musik cadas di sini. Karakter agresif corak musik thrash metal mulai menyebar. Para remaja Indonesia membentuk band metal.
Konser Sepultura di Jakarta dibuka oleh band Edane, yang masih bertahan sampai sekarang. Corak musik Edane ketika itu condong heavy metal, bertempo sedikit lebih lambat daripada gaya thrash metal Sepultura.
Di masa itu juga, tersebutlah band Rotor yang memang berada di genre yang sama dengan Sepultura. Rotor sempat memainkan dua lagu orisinal ditonton personel Sepultura ketika dijamu promotor Setiawan Djodi di rumahnya. Konon, Andreas Kisser kepincut dengan musikalitas Rotor, tapi karena dianggap ”kurang jam terbang”, Edane yang dipilih sebagai pembuka konsernya.
Edane masih bertahan sampai sekarang. Rotor sempat menghasilkan tak kurang dari empat album penuh, dan dianggap sebagai pionir thrash metal Indonesia. Mereka membuka Metallica tahun 1993. Band ini tutup buku tahun 2022 setelah tiga pendirinya meninggal.
Andaikata Rotor masih ada, bukan tidak mungkin promotor Rajawali Indonesia mengundangnya demi menuntaskan harapan mendiang Irvan Sembiring, dedengkot Rotor di Jojgjarockarta. Sebagai penggantinya, ditampilkan band Delusive Purity dengan repertoar lagu-lagu Rotor, seperti ”Pluit Phobia” dari album Behind the 8th Ball (1990). Selama sekitar 40 menit, para metalheads menghaturkan penghormatan bagi pionir thrash metal dalam negeri itu.
”Rotor adalah peletak fondasi band-band metal ekstrem di Indonesia,” kata Sofyan Hadi, vokalis/gitaris Delusive Purity.
Band ini seperti reinkarnasi buas dari Rotor. Circle pit terjadi melangitkan debu-debu. Penerus Rotor tak terhitung banyaknya, termasuk High Voltage yang jadi main pertama di festival kemarin.
Kancah metal dalam negeri juga makin membesar setelah pertunjukan Sepultura dan Metallica tiga dekade lalu. Band-band metal luar negeri berdatangan. Festival musik cadas digelar di sejumlah kota, tak cuma Jakarta dan Surabaya, bahkan sampai Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) yang pernah mengundang ikon thrash metal San Francisco, Testament. Band ini juga tampil lagi di Jakarta pada Minggu (1/10/2023).
Desember nanti, hajatan Rock in Solo di Jawa Tengah mengundang grup Thy Art is Murder dari Australia, pengusung kegelapan black metal Behemoth dari Polandia, dan dedengkot death metal Kanada Cryptopsy.
Formasi berubah
Dinamika juga terjadi di tubuh Sepultura. Igor Cavalera yang menyatakan ingin pentas lagi di Indonesia itu kini tak lagi bergabung dengan Sepultura. Dia undur diri tahun 2006. Saudaranya, Max, mundur lebih dulu, tahun 1998. Personel yang dulu tampil di Indonesia tinggal Andreas dan Paulo. Divisi vokal diisi Derrick Green dan drumer terkininya adalah Eloy Casagrande.
Sepultura naik panggung sekitar pukul 21.50. Mereka membuka penampilannya dengan lagu ”Isolation” dari album terkini, Quadra (2020). Tak lama, mereka memutar mesin waktu dengan memainkan ”Territory” keluaran 1993. Andreas mengibaskan rambut panjangnya, menggaruk gitar yang sesekali menutupi kaus majalah Hai yang ia pakai. Vokal Derrick Green lantang dengan artikulasi jelas, tak perlu dibandingkan dengan Max. Gebukan drum Eloy seperti tak peduli hari esok.
Kami punya album baru, tapi di sini kami bawakan lagu-lagu dari buku sejarah Sepultura.
Derrick, yang berbadan atletis layaknya pebasket NBA itu, bilang senang kembali ke Indonesia, meski dulu dia belum gabung. ”Kami punya album baru, tapi di sini kami bawakan lagu-lagu dari buku sejarah Sepultura,” ujarnya dengan suara kasar dan berat.
Lagu paling terkenal, ”Refuse/Resist”, yang riuh dimainkan menjelang akhir. Ini dirangkai dengan ”Arise” yang dulu menggema di Lebak Bulus. Respons penonton menggila lagi. Nomor perkusif ”Ratamahatta” menyusul. Lagu ”Roots Bloody Roots” menutup aksi mereka. Sepultura, yang tak cuma main thrash metal, masih mencengangkan.
Festival ini juga memanggungkan band rock besar dalam negeri, yaitu Slank. Tak seperti biasanya, Bimbim dan kawan-kawan kedatangan dua mantan personel mereka, yaitu Pay dan Bongky, gitaris dan basis yang ikut mengecap masa keemasan Slank di dekade 1990-an, atau disebut Formasi 13.
Pay dan Bongky beserta Indra Q dipecat dari Slank pada 1997. Mereka bertiga lantas membentuk band bernama BIP, himpunan abjad awal nama personelnya. Jenakanya, Anas Alimi, salah satu pendiri Rajawali Indonesia, memanggungkan pula BIP, yang tampil ketika matahari masih bersinar.
Akhirnya pecah telur juga. Ini pertama kalinya BIP manggung ’abis’ pandemi.
”Akhirnya pecah telur juga. Ini pertama kalinya BIP manggung abis pandemi,” seru Indra. Beberapa lagu yang dibawakan, yaitu ”Kuncianmu”, ”Aku Gemuk Lagi”, serta ”Pelangi dan Matahari”. Suara kibor khas Indra beradu dengan melodi Pay. Paten. Sore di Kridosono berasa rock n roll.
Slank membuka set dengan ”I Miss U but I Hate U”, disusul dengan lagu yang menyuruh orang untuk bekerja keras—padahal ini malam Minggu. Setelah dua nomor itu, Bongky gabung membawakan ”Bang-bang Tut” dari album Minoritas (1996), lalu ”Mawar Merah” yang hilang bunyi kibornya karena Indra tak ikutan. Sementara Pay gabung di lagu lawas ”Suit Suit He He” dan lagu gusar ”Maafkan”.
Seusai Slank, giliran nuansa ugal-ugalan thrash metal yang menguasai, yakni Overkill dan Sepultura. Produksi suara Overkill kencang betul. ”Saya harus cari penguat suara dari Jakarta. Itu permintaan khusus Overkill,” kata Anas. Lagu macam ”Rattle Snake”, ”Wicked Place”, dan ”Rotten” memancing penonton di saf terdepan untuk berlari-lari melingkar.
Tempo lagu menderu kencang. Debu lapangan Kridosono mengepul makin pekat. Kepekatan itu bertambah saat Sepultura beraksi. Judul acara bolehlah dipelesetkan jadi Jogja-Thrash-Karta. Thrash metal sungguh masih menyenangkan.