Walau pusat perputaran roda industri film berpusat di Jakarta, Yogyakarta mesti diakui sebagai salah satu episentrum perfilman Indonesia. Di sinilah para sineas menempa diri dan diperhitungkan di kemudian hari.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Selamat datang di Yogyakarta, kota lahirnya para sineas andal dan menjanjikan. Kota ini menyediakan paket komplet untuk menyuburkan ekosistem film, mulai dari pendidikan formal, pendanaan pemerintah, ruang ekshibisi, hingga festival film. Siapa saja boleh belajar di sini. Syaratnya cuma satu: suka film!
Dalam waktu kurang dari 30 hari, Yogyakarta menjadi tuan rumah bagi tiga festival yang eksis selama lebih dari satu dekade. Ketiganya ialah Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF), Festival Film Dokumenter (FFD), dan Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ). Menariknya, tiga agenda ini berlangsung berurutan sejak akhir bulan lalu.
JAFF yang sudah berusia 18 tahun mulai lebih dulu pada 25 November-2 Desember 2023. FFD—yang diselenggarakan sejak 2002—menyusul pada 3-9 Desember 2023. Sementara itu, FFPJ yang menginjak umur 14 tahun diadakan pada 9-10 Desember dengan peserta pelajar dari sejumlah kota di Indonesia.
Festival film ibarat Lebaran bagi sineas. Ada yang datang jauh-jauh dari pulau dan negara lain, sowan dengan sineas panutan, dan menyapa wajah-wajah baru di dunia film. Tak jarang mereka saling berbagi kontak kalau-kalau suatu saat hendak berkolaborasi atau ngobrol ngalor-ngidul.
Festival yang dibarengi dengan pemutaran film, diskusi, kompetisi, dan lokakarya pun turut membidani lahirnya sineas-sineas baru. Dari JAFF, mengemuka sejumlah nama, seperti sutradara Yosep Anggi Noen, Ismail Basbeth, Wahyu Agung Prasetyo, BW Purbanegara, dan Yusron Fuadi.
Yusron bahkan meraih tiga penghargaan pada JAFF tahun ini lewat film keduanya Setan Alas (2023), yakni Best Editing, Best Storytelling, dan Best Indonesian Screen Awards. Pada 2014, Yusron juga memperoleh penghargaan pilihan juri di FFD melalui filmnya Young Man and The Sea.
Menurut Yusron, sebutan Yogya sebagai episentrum dunia film tidak salah. Banyak ide liar lahir dari anak-anak muda di sini yang tidak terbatas pada peserta pendidikan khusus film. Ia pun mencontohkan ketika menggarap film Setan Alas. Para kru yang terlibat kala itu mahasiswa Vokasi UGM, Amikom, dan pelajar SMK dengan macam-macam jurusan.
”Lingkungannya mendukung, termasuk dari dosen atau guru. Biasanya mereka akan mendorong untuk diproduksi aja dulu filmnya, mau idenya seaneh apa pun. Hal semacam ini sangat meng-encourage anak muda untuk berkembang dan bereksplorasi,” ujar Yusron yang juga dosen Sekolah Vokasi UGM, Rabu (6/12/2023).
Dukungan itu tak jarang berbuah jadi festival film skala kampus. Agenda ini pada akhirnya melahirkan komunitas anak muda yang serius membuat film, lantas turut menumbuhkan ekosistem perfilman di Yogyakarta.
”Yogya ini kan dikenal juga sebagai ’Kota Budaya’. Agenda berkesenian di Yogyakarta itu seperti tidak pernah mati, termasuk dengan film. Yogya ini memang sangat fleksibel sekali. Mudah menemukan irisan dengan seni-seni lain selain film yang sekaligus merefleksikan kota ini,” kata Direktur JAFF Ifa Isfansyah.
Pendanaan
Hasrat membuat film pun disambut dengan pendanaan dari pemerintah melalui Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta. Dana keistimewaan atau danais diberikan dengan mengajukan proposal produksi film bagi warga ber-KTP Yogyakarta. Beberapa proposal terpilih bakal menerima mentoring dari praproduksi hingga pasca-produksi.
Film pendek Tilik yang disutradarai Wahyu Agung Prasetyo adalah salah satu film sokongan danais. Film ini lantas meraih penghargaan di dalam dan luar negeri. Ada lagi Cipto Rupo garapan sutradara Catur Panggih Raharjo yang juga diganjar penghargaan, serta diputar di JAFF 2020 dan FFD 2019.
Penyelenggaraan FFD pun pernah disokong danais pada 2016. Pada 2022 dan 2023, FFD didukung oleh Dana Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Bantuan Kemendikbudristek lantas dikembangkan agar tak hanya untuk membuat festival, tapi juga lokakarya bertajuk IDOCLAB (Indonesia Documentary Lab). Direktur FFD Kurnia Yudha Fitranto mengatakan, ini lokakarya pertama selama FFD berlangsung selama dua dekade.
Penyelenggara menerima 68 proposal film pendek, lalu dikurasi menjadi 10 proposal yang antara lain berasal dari Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Lokakarya berlangsung sejak Oktober 2023 dan fokus pada pengembangan gagasan serta penulisan. Pada Desember 2023, peserta digembleng lagi dan mesti mempresentasikan proposalnya dalam forum pitching.
Lima proposal terbaik bakal menerima dana produksi film. Rencananya, film mereka akan ditayangkan dalam gelaran FFD 2024. Mereka yang tak menang tak perlu berkecil hati karena proposalnya bisa diikutkan dalam forum pitching lain.
”Kuantitas film dokumenter selalu bertambah. Maka yang jadi perhatian kami adalah bagaimana kualitas film (meningkat). Itu kenapa ada program yang berusaha mengintervensi dengan workshop,” tutur Yudha yang kerap dipanggil Gembul, Minggu (3/12/2023).
Ada tujuh mentor pada IDOCLAB tahun ini, antara lain Yudha, sutradara Shalahuddin Siregar, produser Mandy Marahimin, sineas Italia Francesco Montagna, hingga psikolog sosial Risa Permanadeli.
Saat sesi latihan pitching, Jumat (8/12/2023), para mentor tak segan melemparkan pertanyaan ke peserta lokakarya. Suasananya serius. Ada yang bisa menjawab, ada juga yang jawabannya berputar-putar dan bikin mentor gemas.
Walakin, Ulfa Evitasari (26) dan Rahmawati Addas (29) bersyukur betul bisa ikut lokakarya. Pembuat film dari Makassar ini baru pertama kali pitching sehingga rasanya gugup sekali.
Mereka menjelaskan proposal film Butterfly on a River yang berkisah tentang passau wai atau penimba air di Sungai Mandar. Saat materi film digarap mulai 2019, keduanya belum sadar ide cerita mereka melebar sampai ke isu perempuan, bahkan sampai ke meromantisasi peran tokoh utama sebagai pahlawan dan orang yang hidupnya miris.
Setelah mentoring, mereka sadar bahwa romantisasi dan sentimen pribadi malah mengaburkan esensi film dokumenter. Mereka pun malah jadi “merebut” suara si tokoh. Lokakarya yang melelahkan pun terbayar dengan pengetahuan mahal dari para ahli. “IDOCLAB ini seperti kita sekolah lagi, tapi sekolahnya lebih expert, jadi perkembangan kami banyak banget,” tutur Rahmawati.
Sineas asal Kupang, James Elister Natbais (29) dan Irwan Sebleku (31), pun satu suara. Saat mengolah proposal film Minoni Oni tentang petani madu hutan, keduanya diajarkan mengolah gagasan yang lokalitasnya kuat agar universal dan relevan dengan siapa pun. Sekali lagi, ini pengetahuan mahal.
Julukan Yogyakarta ”Kota Pelajar” agaknya memang benar. Namun bagi sineas, belajar bakal berlangsung sepanjang hayat.