Pulang Membawa Perubahan
Para pelaku film dokumenter mempunyai strategi yang beragam tergantung kebutuhan dan kondisi sosio-kultural. Ada yang mementingkan isu daripada kemampuan teknis. Ada juga yang memilih cara lembut dalam mengangkat isu.
Ruang rooftop sebuah hotel di Yogyakarta penuh sesak malam itu, Jumat (18/11/2022). Para pegiat film dokumenter berkumpul bertemu dengan sutradara dari dalam dan luar negeri, produser, hingga pemberi dana. Aroma daging panggang meruap memenuhi ruangan setengah terbuka itu, mewarnai perbincangan.
Di salah satu sudut, Ketua Papuan Voices Harun Rumbarar berbincang ringan dengan pegiat film Rumah Alternatif Ebhoma dari Bojonegoro, Jawa Timur, Dadang Setiabudi. Sesekali tawa mereka meledak. Mereka terkesan akrab. ”Ini teman curhat. Kami saling curhat,” kata Harun.
Dadang dan Harun adalah dua dari sebelas orang yang diundang ke Festival Film Dokumenter (FFD) 2022. Mereka dipilih karena paling menunjukkan perkembangan dan konsisten memproduksi film dokumenter.
”Kami mencoba asesmen cepat. Ini jaringan yang selama ini menjadi bagian dari komunitas dokumenter yang bertahan dan progresif. Jumlahnya makin sedikit. Yang penting mereka masih punya ruang,” kata Kurnia Yudha Fitranto, Direktur FFD 2022.
Papuan Voices, misalnya, tahun ini memproduksi 21 film dokumenter. Pelibatan mereka di Festival Film Dokumenter 2022 menambah banyak hal bagi Papuan Voices. Papuan Voices telah membangun jejaring di delapan titik, yakni Merauke, Timika, Jayapura, Wamena, Keroom, Biak, Manokwari, dan Sorong. Mereka berencana melebarkan sayap ke Fakfak dan Paniai.
Baca juga: Jalan Panjang Film Pendek
Beberapa sesi dalam FFD menguatkan keyakinan Harun bahwa berjejaring menjadi salah satu elemen penting untuk mengembangkan film dokumenter. Lewat FFD, misalnya, jika bukan karena jejaring yang baik, tidak mungkin Papuan Voices dilibatkan. Dengan pelibatan itu, dia mendapat banyak ilmu baru dari banyak orang, termasuk pembicara dari luar negeri.
Salah satu sesi diskusi yang diikuti Harun diisi pembicara dari Thailand, Chalida Uabumrungjit (Thai Film Archive), dan Jewel Maranan dari Filipina. Dia pembuat film dokumenter, produser, dan sinematografer. Juga ada sutradara Shalahuddin Siregar. Dari mereka, Harun memperoleh pemahaman lebih tentang pengembangan jejaring dan siklus film dokumenter.
Selama ini, siklus film dokumenter biasanya hanya diputar melalui festival dan screening keliling sebelum akhirnya dimasukkan ke Youtube atau situs resmi komunitas. Harun ingin menciptakan ruang seni untuk penonton dengan membangun ruang alternatif.
Dadang mendapat banyak bekal untuk mengembangkan daerahnya. Yang jelas, dia mendapat akses baru lewat jejaring sesama teman pegiat film dokumenter di daerah lain. ”Nanti kalau mau memutar film keliling, tinggal telepon-telepon teman, ha-ha-ha,” katanya setelah kenal banyak teman dari berbagai daerah, mulai dari Aceh, Jambi, Purbalingga, Pontianak, hingga Papua.
Selain aktif di film, Dadang juga mengajar di sekolah rintisan Wasilatul Huda di Desa Dukohkidul, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Sepulang dari FFD 2022 di Yogyakarta, dia berencana menerapkan pembelajaran dengan menggunakan film dokumenter pendek karena lebih mudah menjelaskan dengan menonton. Menonton akan lebih menghibur dan tak butuh waktu panjang.
Strategi film dokumenter sebenarnya juga memudahkan banyak orang, termasuk pemerintah desa, dalam menjelaskan programnya. Tidak perlu kertas puluhan lembar, cukup film beberapa menit.
Strategi dan isu
Papuan Voices termasuk kelompok yang sukses dari sisi screening. Setiap menggelar nonton bareng, warga selalu berjubel. Jumlahnya bisa sampai ratusan orang. Sementara di beberapa daerah lain, seperti di Padang Panjang, Sumatera Barat, sulit mengumpulkan penonton karena mereka lebih suka film fiksi daripada dokumenter.
Papuan Voices selalu menayangkan film-film yang temanya dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, warga yang menonton film tersebut merasa suaranya terwakili dan didengar. ”Dengan maksud supaya masyarakat bisa melihat gambar mereka. Bukan soal estetika dan lain-lain, tetapi masyarakat melihat dirinya sendiri. Kita menciptakan hiburan malam juga bagi mereka,” kata Harun.
Isu yang diangkat, antara lain, soal lingkungan, hak asasi manusia, dan budaya. Misalnya dalam film berdurasi 7 menit bertajuk Penjaga Dusun Sagu, Papuan Voices mengangkat kisah Marga Klagilit di Kabupaten Sorong yang menolak hutannya dialihfungsikan dalam program kawasan ekonomi khusus (KEK) yang beroperasi di atas lahan seluas 523,7 hektar. Alasannya sangat jelas karena di dalam hutan tersebut terdapat hutan sagu yang menjadi sumber kehidupan. Meskipun beberapa dusun lain sudah menyerahkan lahan adatnya untuk dikajikan KEK, marga Klagilit bergeming.
Dari sisi sinematografi ataupun editing, film tersebut memang perlu banyak perbaikan. Secara sadar, Papuan Voices menginsyafi itu, tetapi kemampuan teknis bukan yang utama. ”Soal estetika tinggal dulu, bukan berarti tidak boleh. Memahami lima sampai enam jenis shot dan angle beberapa dulu. Sebelum membuat film harus paham soal isu dulu. Papua kuat karena isu. Gambar mungkin goyang, tapi isu harus kuat,” kata Harun.
Baca juga: Selamat Merayakan Film Pendek
Oleh karena itu, sebelum membuat sebuah film, pegiat di Papuan Voices dilibatkan secara intensif dalam kelas khusus dengan melibatkan beberapa organisasi nonpemerintah yang selama ini mendalami isu lingkungan atau hak asasi manusia. Kadang juga mengajak jurnalis untuk memahami strategi cara bertahan di lapangan dan mengelola isu. Papuan Voices tidak terpaku pada satu isu. Apa saja yang ada di depan mata, mereka coba angkat.
Wajar jika film-film pendek Papuan Voices menjadi semacam rangkaian suara-suara yang selama ini tak terdengar. Film-film itu menjadi pelantang bagi orang-orang Papua.
Strategi agak berbeda ditempuh komunitas Rumah Alternatif Ebhoma di Bojonegoro, Jawa Timur. Mereka menyadari banyak juga isu yang bisa dimainkan mengingat Bojonegoro dekat, bahkan menjadi tempat, dengan perusahaan tambang minyak, mulai dari legal sampai yang ilegal. Isu lingkungan mudah sekali ditemukan di samping isu sosial dan politik.
Rumah Alternatif Ebhoma bisa saja menempuh jalan seperti yang dilakukan Papuan Voices, misalnya. Akan tetapi, mereka memilih jalan lain. ”Selama ini film dokumenter dianggap kekiri-kirian, harus melawan, malah tidak diterima nantinya,” kata Dadang, pegiat Rumah Alternatif Ebhoma.
Dadang dan rekan-rekannya bukan takut melawan, tetapi ada cara yang lebih baik untuk menjelaskan kenyataan. Maka, mereka membuat video dengan narasi yang lebih ”bersahabat”. Misalnya pada tahun 2020, mereka membuat film pendek tentang potensi desa. Cara ini dapat memengaruhi desa lain berbenah.
Salah satu filmnya bertajuk Love In Wotanngare (2021). Film ini sebenarnya membentangkan keindahan alam dan potensi wisata Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu, lewat narasi asmara yang dilakoni sepasang anak muda. Tak heran jika film ini memunculkan bentangan sungai yang terkesan sejuk, hamparan sawah, upacara adat, hingga usaha-usaha kecil warga. Dari sisi skenario, film ini mempunyai suspense yang lumayan karena diselipi konflik antara pengusaha kecil dan preman kampung. Film-film seperti itu yang dia putar keliling kampung dengan konsep misbar.
Pada gilirannya, banyak desa yang meminta untuk dibuatkan film serupa. Saat ini, Dadang dan kawan-kawan sedang berencana membuat film dengan tema serius yang berangkat dari kasus maraknya kehamilan anak-anak usia sekolah. Dadang dan teman-temannya sudah menemukan sudut pandang yang lebih lembut untuk mengangkat isu serius tersebut. ”Prinsipnya, mengkritik tanpa menyinggung perasaan orang lain,” kata Dadang.
Jika Dadang dan Harun tidak kesulitan mencari isu, sebaliknya dengan Choiru Pradhono yang kini diamanahi sebagai panitia pengarah Minang Film Festival. Choiru yang juga pengajar di ISI Padang Panjang ini menjelaskan, selama ini film-film yang diproduksi teman-teman di Padang Panjang cenderung seremonial kegiatan pejabat. Akhirnya yang muncul adalah film-film tentang kota yang tanpa masalah. ”Padahal, setiap kota pasti punya masalah,” kata Choiru.
Sepulang dari FFD 2022, Choiru sudah membayangkan beberapa langkah untuk menstimulasi teman-temannya di Padang Panjang dalam membuat film dokumenter yang berdampak dan membuat perubahan. Dia akan memutar film-film dokumenter dari Aceh, Papua, dan Jambi. Lalu mengundang teman-teman pegiat film dokumenter dari daerah lain dalam Minang Film Festival pertengahan bulan Desember 2022. Harapannya, mereka akan menularkan semangat dan pengalaman dalam mengelola isu. Dia ingin pulang sambil membawa perubahan.