Film pendek Indonesia berada dalam posisi yang dilematis. Dianggap penting, tetapi kadang terlupakan. Padahal, film pendek merupakan produk budaya bernilai tinggi yang penting bagi industri film Indonesia.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·7 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Penonton menyaksikan deretan film pendek pemenang yang diputar dalam Minikino Film Week 8 (MFW8) di MASH Denpasar, Denpasar, Bali, Sabtu (10/9/2022). Minikino Film Week 8 (MFW8) yang digelar Yayasan Kino Media berlangsung selama 2-10 September 2022. Perhelatan festival film pendek internasional pada tahun ini menerima 925 film pendek dari 85 negara. Sebanyak 169 film lolos seleksi nominasi penghargaan.
Kecil-kecil cabe rawit. Ini adalah ungkapan yang pas jika ingin memulai perbincangan panjang tentang film pendek. Dalam perjalanan panjang penuh suka duka, film pendek Indonesia terus mencari tempat sebagai produk budaya bernilai tinggi dalam industri perfilman Tanah Air.
“Film The Partian itu singkatan dari Parung dan The Martian. Film ini adalah surat cinta untuk tempat tinggal saya,” kata Hadafi Raihan Karim (24), sutradara film pendek The Partian (2021), di sela-sela Minikino Film Week 8 (MFW8), Denpasar, Bali, Kamis (8/9/2022). Minikino merupakan festival film pendek internasional di Bali.
Judul jenaka itu terinspirasi dari nama Kecamatan Parung, Bogor, dan film The Martian yang dibintangi Matt Damon. Sebagai film sains fiksi berformat dokumenter, The Partian mengisahkan astronot bertemu dengan warga Parung yang berjuang hidup di sekitar area pertambangan. Film ini mendapat gelar kehormatan dalam RWI (Raoul Wallenberg Institute) Asia Pacific Award di MFW8.
The Partian ialah karya hasil patungan Dafi dan teman-teman di Hue Colours Creative Lab dari gaji mereka yang kebanyakan bekerja sebagai karyawan swasta. Bujet yang terkumpul sekitar Rp 2,5 juta. Uang patungan ini kebanyakan habis untuk biaya konsumsi dan kostum pemeran.
Dafi terjun ke dunia film pendek sejak 2017. Setahu pemuda ini, film pendek merupakan portofolio penting sebagai batu loncatan terjun ke industri film panjang (feature). Apalagi elemen-elemen film pendek memudahkan dia untuk berkarya, yaitu bujet yang murah, waktu singkat, dan kebebasan berekspresi.
“Tanpa mengecilkan film pendek, sedengar aku, punya portofolio film pendek yang mentereng lebih mudah untuk pitching ke produser untuk mendanai film kita. Karena kekurangan film pendek itu pasarnya segmented, jadi balik modal itu faktor kesekian,” tutur pemuda ini.
Pemikiran serupa juga sempat terlintas di kepala sutradara muda Khozy Rizal (27). “Awal membuat film pendek, aku pikir film pendek itu portofolio untuk batu loncatan ke industri,” ujar pemuda asal Makassar ini.
Sutradara Ride to Nowhere (2022) ini menjelaskan, dari segi bisnis, film panjang di Indonesia lebih memiliki nilai ekonomi. Namun, belakangan pemikiran itu berubah sebab dia melihat film pendek memiliki pasar dan punya potensi besar di masa depan.
Salah satu film Khozy, Lika Liku Laki/Makassar is a City for Football Fans (2021) yang baru meraih Jury Prize Award di Sundance Film Festival: Asia 2021, tayang platform Argo di Amerika Serikat. “Setelah filmku bisa kemana-mana dan ada beberapa platform OTT tertarik beli lisensi, aku sadar ternyata film pendek itu ada sisi ekonomi dan bisa jadi aset di masa depan,” katanya.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana diskusi bertajuk “Asosiasi Film Pendek Indonesia, Perlukah?” yang merupakan rangkaian dalam acara Minikino Film Week 8 (MFW8) di Irama Indah Mini Hall, Denpasar, Bali, Kamis (8/9/2022). Minikino Film Week 8 (MFW8) yang digelar Yayasan Kino Media berlangsung selama 2-10 September 2022. Perhelatan festival film pendek internasional pada tahun ini menerima 925 film pendek dari 85 negara. Sebanyak 169 film lolos seleksi nominasi penghargaan.
Kekuatan tersendiri
Betul, karena formatnya, film pendek di mata awam berperan sebagai ajang latihan yang realistis bagi pembuat film pemula. Hanya saja, ada kalanya pandangan ini menegasikan film pendek sebagai karya budaya yang sama pentingnya dengan film panjang.
Travelling Festival Director MFW8, I Made Suarbawa alias Birus, melihat film pendek seperti pembagian karya dalam sastra. Di dunia sastra, film panjang ibaratnya adalah novel, sedangkan film pendek adalah puisi. Setiap karya memiliki karakter, kekuatan, dan pasar masing-masing.
“Kekuatan film pendek ada di cara bertuturnya yang tajam, fokus pada satu isu, dan kuat. Tetapi tidak menutup kemungkinan film pendek memiliki banyak lapisan sehingga ketika audiensnya berbeda latar belakang menonton film yang sama, mereka akan menangkap lapisan yang berbeda,” tutur Birus.
Birus melanjutkan, tidak masalah jika para sineas muda menggunakan film pendek sebagai pijakan ke industri yang komersial. Yang terpenting, pembuat film menyadari bahwa film pendek dan panjang adalah dua format yang berbeda. Penggunaan format yang mana, semua tergantung dari kebutuhan cerita.
Dalam diskusi Asosiasi Film Pendek Indonesia, Perlukah? yang digelar Minikino, Ketua Bidang Festival dan Penyelenggara Kegiatan Badan perfilman Indonesia, Vivian Idris, berpendapat, film pendek bisa diartikan sebagai sebuah produk budaya dengan nilai ekonomi yang melahirkan sebuah gerakan sosial berkekuatan politis.
Ia melanjutkan, satu kekuatan penting film pendek yang perlu disadari adalah film pendek merupakan cerminan masyarakat Indonesia karena bisa dibuat oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Film pendek bisa menjadi alat untuk melihat keberagaman Indonesia yang lebih riil.
“Pemerintah harus jeli membaca ini dan punya kepentingan untuk memastikan film pendek ada terus produksinya, edukasinya, dan distribusinya supaya bisa menjadi ekosistem mandiri,” tutur Vivian.
Menurut dia, penyebab anggapan film pendek sebagai batu pijakan muncul karena tidak semua sineas Indonesia belajar membuat film melalui institusi formal, melainkan secara otodidak. Karena itu, edukasi dan kampanye tentang nilai film pendek perlu didorong. “Ini agar kita punya dasar pengetahuan dan pemikiran yang sama soal film pendek,” kata Vivian.
Bicara soal posisi film pendek di industri film, pegiat film Lulu Ratna, mengatakan, keberadaan film pendek dapat membangun kredibilitas rekam jejak pembuat film baru, seperti yang terjadi di Hollywood. Namun, terdapat pengakuan yang bersifat standar ganda atas film pendek di industri kita.
“Film pendek selalu dibilang sebagai sesuatu yang penting untuk regenerasi perfilman. Tapi buktinya tidak cukup menguntungkan untuk diputar di bioskop komersial,” tutur pendiri organisasi Boemboe ini.
Saat ini, pasar film pendek terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kebebasan berkreasi dalam film pendek dan sedikit ruang ekshibisi sehingga film bertumpu pada pemutaran festival film untuk meraih penonton. Belum lagi film pendek sulit mendapat pendanaan untuk menghasilkan karya yang berkualitas.
Masalahnya, lanjut Lulu, Indonesia tidak memiliki panduan resmi mengenai definisi dan etika film pendek. Etika yang dimaksud adalah etika kerja produksi maupun etika pemutaran film pendek.
Selain festival film, format omnibus sebenarnya turut menjadi opsi ekshibisi film pendek di bioskop. Meskipun begitu, Lulu menjelaskan, pendekatan produksinya menerapkan pendekatan film panjang karena film tersebut harus memiliki kesatuan tema dan memerlukan biaya untuk produksi dalam format standar DCP (Digital Cinema Package (DCP).
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Penonton menyaksikan deretan film pendek yang diputar dalam Minikino Film Week 8 (MFW8) di di MASH Denpasar, Denpasar, Bali, Rabu (7/9/2022). Minikino Film Week 8 (MFW8) yang digelar Yayasan Kino Media berlangsung selama 2-10 September 2022. Perhelatan festival film pendek internasional pada tahun ini menerima 925 film pendek dari 85 negara. Sebanyak 169 film lolos seleksi nominasi penghargaan.
Platform OTT
Apabila ingin menjajaki jalur lain, pembuat film pendek sudah bisa mendistribusikan karyanya melalui platform OTT, seperti yang dilakukan Khozy Rizal. Platform OTT film pendek bukan hal baru. Sudah ada Viddsee dan Mubi dan platform lainnya. Bahkan platform besar Netflix dan Disney+ telah memasok konten film pendek. Di Indonesia, platform film pendek yang tersedia contohnya Bioskop Online dan Filmin.id.
“Platform-platform online mulai terbuka dengan film pendek jadi ini peluang di masa depan. Ada nilai bisnisnya. Pasarnya juga ada kayak aku, misalnya, mulai malas nonton film panjang atau serial karena keterbatasan waktu. Jadi pas olahraga ya aku nonton film pendek,” ujar Khozy.
Animo generasi muda untuk mengonsumsi konten dengan durasi lebih pendek sejalan dengan meningkatnya kebutuhan platform-platform OTT akan konten baru nan menghibur. Ditambah lagi, film pendek memiliki waktu produksi yang lebih sedikit ketimbang film panjang.
Lulu mengingatkan, tantangan jalur ekshibisi daring adalah sulitnya mendapatkan pendapatan bagi film pendek. Akar masalah yang dihadapi sebenarnya sama dengan ekshibisi jalur bioskop, yaitu apakah calon penonton mau menonton film yang dibuat pembuat film dan diperankan oleh pemain yang mereka tidak kenal.
“Artinya, festival film tetap berperan penting dalam membangun kredibilitas film pendek agar dikenal sehingga dicari oleh calon penonton. Penguatan festival film yang memutar atau mengadakan kompetisi film pendek akan menarik jika bekerja sama dengan platform daring,” kata Lulu.
Hanya saja, Lulu menekankan, perlu ada kejelasan mengenai perjanjian kerja sama antar semua pihak yang terlibat, yakni pembuat film, penyelenggara festival, dan pemilik OTT. Perjanjian untuk sebuah film mengikuti festival film harus berbeda dengan perjanjian dengan pemilik OTT.
Seperti yang dikatakan Jaime E Manrique, pendiri Bogoshorts dari Kolombia, budaya film pendek yang kuat akan membangun industri film nasional yang kuat. Di Kolombia, kelahiran para pembuat film pendek melalui jalur festival menunjukkan korelasi dengan pertumbuhan industri film Kolombia secara keseluruhan.
“Film pendek Indonesia sedang berada dalam momen yang sangat bagus. Jadi, sangat penting agar pemerintah yang memiliki anggaran terus mendukung para pembuat film pendek. Ini adalah kesempatan untuk membangun industri yang lebih baik,” tutur Manrique.
Fenomena serupa telah terlihat di industri film Indonesia. Kebanyakan karier sineas berbakat kita bermula dari film pendek. Melihat polanya, perpindahan sineas dari film pendek dan panjang juga sebenarnya cair.
Ada beberapa contoh di mana sineas yang memulai karier dengan film pendek lalu sukses membuat film panjang bolak-balik membuat film pendek. Sebutlah Garin Nugroho, Riri Riza, Hanung Bramantyo, Edwin, Lucky Kuswandi, dan Paul Agusta.
Film pendek di Indonesia sekarang masih berada dalam posisi dilematis. Film pendek bisa menjadi medium untuk belajar sekaligus karya budaya berkualitas tinggi. Akan tetapi, kebebasannya dari segi format dan kreativitas membuatnya sulit masuk dalam pakem umum bisnis industri film.
Sejak pertama muncul sampai sekarang, film pendek terus mencari tempat berlabuh yang tepat dalam ekosistem perfilman Tanah Air. Perjalanan film pendek Indonesia masih panjang.