Seniman Sunaryo merayakan Seperempat Abad Selasar Sunaryo Art Space dengan pameran. Lewat pameran itu, ia ”menancapkan” tujuh tonggak kayu jati berukuran besar yang sarat simbol.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Terlahir pada masa Reformasi 1998, ruang seni rupa kontemporer Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) di Bandung, Jawa Barat, kini menginjak usia seperempat abad. Pendirinya, Sunaryo (80), lewat pameran tunggalnya ”menancapkan” tujuh tonggak kayu jati berukuran besar yang sarat simbol.
Kamis (7/12/2023), Sunaryo mengajak Kompas menyimak karya-karyanya dalam perayaan Seperempat Abad SSAS. Ia mengajak mendekat ke tonggak kayu jati yang disebut pilar pertama. Tonggak kayu pertama itu merupakan bagian paling bawah batang pohon jati yang memiliki ukuran terbesar. Jika dipeluk orang dewasa, butuh empat atau lima orang untuk saling mengulurkan kedua lengan mereka.
”Pilar pertama ini batang pohon jati dengan ukuran terbesar yang harus ditopang dengan akar yang kuat. Begitu pula, tumbuhnya seni juga harus ditopang dengan akar yang kuat,” ujar Sunaryo.
Pilar pertama itu diletakkan di halaman luar ruang A. Sejenak Sunaryo mengamat-amati batang kayu jati raksasa tersebut, lalu mengajak memasuki ruang pamer untuk menyimak pilar-pilar berikutnya.
Ketika hendak melangkah memasuki ruang pamer, Sunaryo menunjukkan sesuatu berupa rampa atau fasilitas yang memudahkan pengguna kursi roda berpindah ke area lebih tinggi guna memasuki ruang pamer. Sebelum itu, perubahan ketinggian area SSAS difasilitasi dengan anak tangga yang tak memungkinkan dilalui pengguna kursi roda secara mandiri.
Bagi Sunaryo, meski rampa terlihat sederhana, itu mewakili visi seni yang ingin dicanangkannya. Selama ini ada sekat kehidupan antara seni dan komunitas disabilitas. Banyak fasilitas umum, termasuk galeri-galeri seni, dirancang tidak ramah bagi penyandang disabilitas.
Sunaryo ingin seni memiliki kemampuan menembus sekat-sekat kehidupan masyarakat tersebut. Sudah sepatutnya seni bisa dinikmati komunitas disabilitas, bahkan hendaknya turut menyapa dan memberi ruang ekspresi bagi mereka.
Di titik awal rangkaian karya yang diberi tajuk ”Et Cetera”, Sunaryo menyampaikan pembuka tentang seni yang harus memiliki akar kuat, sekaligus tujuan akhir seni yang harus menembus sekat-sekat kehidupan.
Semiotika seni menembus sekat-sekat kehidupan diwujudkan pada pilar ketujuh. Ini satu-satunya batang pohon jati yang bercabang-cabang, seperti menembus dinding. Sunaryo ingin mengesankan seni juga harus mampu seperti itu, menembus dinding atau sekat-sekat kehidupan.
Sebelum tiba di pilar ke tujuh ini, Sunaryo menunjukkan pilar-pilar sebelumnya. ”Dibandingkan pilar pertama yang terbesar, pilar-pilar batang kayu jati ini jauh lebih berat. Itu karena pilar pertama memiliki rongga, sedangkan pilar-pilar ini lebih solid,” ujar Sunaryo.
Sunaryo juga memamerkan lukisan-lukisan abstrak. Di antaranya karya ”Pigura Meleleh” yang dibuat pada 2008 untuk mengingatkan agar seni bisa keluar dari bingkainya, membaur di tengah kehidupan masyarakat.
Rangkaian pameranSeperempat Abad SSAS dibuka pada 10 November 2023. Publik dapat menikmati pameran tunggal Sunaryo itu hingga 21 April 2024. Selain pameran itu, anak dan menantu Sunaryo, yakni Arin Dwihartanto dan Syagini Ratna Wulan, menggelar pameran di ruang terpisah. Untuk pameran tunggal, Arin dan Syagini digelar sampai 23 Februari 2024.
Mitos kontemporer
Jumat (8/12/2023), digelar lokakarya di Bale Tonggoh SSAS bertajuk ”Membangun Dunia Kembali–Sebuah Mitos Kontemporer Berbentuk Bunyi”. Ruang Bale Tonggoh dipergunakan untuk menggelar pameran tunggal Arin, Base Matters. Arin mengajak seniman Amerika Serikat, Kurt D Peterson, berkolaborasi dengan kolektif Kalamula.
Mereka menyajikan jamuan makan yang diikuti sekitar 30 orang. Jamuan dengan enam menu itu diiringi musik yang diracik secara kontemporer menyesuaikan menu yang disantap. Misalnya, untuk santapan dengan hidangan ikan diiringi suara pantai.
”Ketika menggunakan kata ’mitos’, saya tidak mengacu pada apa yang ’tidak nyata’, tetapi pada apa yang sebenarnya menjadi benih dari apa yang paling nyata,” ujar Peterson.
Peterson sudah beberapa tahun menetap di Bekasi, Jabar, kemudian berpindah ke Bandung. Ia menyerap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman itu diracik menjadi peristiwa jamuan makan bersama ini. Di situ pengalaman menyantap beberapa menu makanan diiringi musik yang menyesuaikan alam sekitar makanan terkait, bisa membangkitkan kenangan dan imajinasi.
Arin memberi makna peristiwa kolaborasi Peterson dan Kalamula sebagai upaya seni menembus sekat kehidupan, seperti yang dicanangkan ayahnya. ”Di luar itu masih banyak sekat kehidupan terjadi, seperti masalah ekologi dan jender,” ujar Arin.
Di Bale Tonggoh, Arin membuat simulasi studionya, selain karya-karya lukisan abstraknya yang dibuat dengan teknik khusus. Salah satunya, lukisan abstrak dengan pigmen tanah di sekitar SSAS yang spesifik.
Ia memiliki pengalaman masa kecil diajak ayahnya berkunjung ke rumah pelukis Sudjana Kerton (1922-1994). Sudjana bercerita ia pernah diculik makhluk angkasa luar yang mendaratkan pesawat luar angkasa di belakang rumahnya. Di situ pernah ada jejak bulatan tanah gosong.
Arin juga mengambil tanah di lokasi tak jauh dari SSAS, yang disengketakan dan mengundang keributan beberapa waktu lalu. Arin memadukan pigmen tanah dari dua lokasi itu dengan pigmen yang berasal dari abu vulkanik Gunung Galunggung dan Tangkuban Perahu. Kemudian dipadu pigmen warna merah yang dibelinya di Tokyo, Jepang.
”Kebetulan pigmen merah itu diberi nama ’Pompeiian Red’. Saya membayangkan Bandung bisa seperti Pompeii di zaman Romawi kuno menjadi sebuah kota yang dihancurkan oleh letusan gunung,” kata Arin.
Subyektivitas
Syagini menggelar pameran tunggal bertajuk ”Collected Fictions: Notes on Illuminance”. Ia menarasikan subyektivitas berperan dominan di dalam seni yang diwujudkan dalam fiksi bebauan. Ia menyajikan 19 botol kecil berisi pewangi.
Semuanya diberi nama berdasarkan narasi yang dibangun secara subyektif. Inilah seni yang dikatakan Syagini sebagai sesuatu yang subyektif pula.
Yacobus Ari Respati, kurator pameran, menyebut, jika ada seribu pelaku seni, akan ada seribu makna seni dan ribuan jalinan tatanan untuk mengidentifikasi makna itu.
Syagini juga membuat etalase beraneka ragam benda yang dikomposisikan sebagai isi atau bahan penyusun pewanginya. Akan tetapi, ragam benda itu dipilih untuk mewakili metafora yang ingin disampaikan.
Misalnya, Syagini menempatkan bahan kerupuk mentah sebagai bagian dari pewangi yang diberi nama ”Bland Ideas”. Kerupuk itu diberi label ”Exaggerating Skills” yang bermakna dari bentuknya yang kecil, tetapi memiliki kemampuan membesar.
Etalase kerupuk Syagini ingin mengatakan bahwa benda itu sebagai metafora yang menjadi unsur pewangi. Seperti halnya seni, subyektivitas seperti ini tidaklah mudah dipahami seketika. Begitulah seni, menurut Syagini.