Karya Seni Cetak dari Limbah Kain
Salah satu solusi yang juga ramah lingkungan, digunakanlah kertas seni cetak yang diproduksi dari limbah kain katun.
Karya seni cetak dengan medium berbasis kertas selalu memunculkan tantangan soal keawetan dan ketahanan materialnya. Salah satu solusi yang juga ramah lingkungan, digunakanlah kertas seni cetak yang diproduksi dari limbah kain katun. Sayang sekali, jenis kertas seperti ini masih harus diimpor.
Galeri Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan, sedang memamerkan itu. Pameran karya seni cetak dari tujuh seniman yang menetap di Bali bertajuk Earth, Nature & Human diselenggarakan mulai 7 November hingga 7 Desember 2023. Digunakanlah material kertas dari limbah kain katun hasil produksi Circular Cotton Factory (CFC), Jepang. Pendiri CFC, Chieko Watanabe, punya kisah tersendiri yang disampaikannya dalam pembukaan pameran tersebut, Selasa (7/11/2023).
Baca juga : Membayangkan Indonesia yang Lebih Baik
”Sejak tahun 1990 saya memulai usaha mengolah limbah kain katun yang memang melimpah di Jepang. Di tahun 1995 kemudian saya memutuskan untuk menjadikan limbah kain katun itu sebagai kertas agar lebih maksimal penggunaannya,” ujar Chieko di hadapan hadirin.
Sampai sekarang Chieko sudah 30 tahun lebih berkecimpung di dunia pengolahan limbah kain katun tersebut. Tanpa merinci kuantitas produksinya, ia menyebutkan, produksi CFC Jepang sudah mengambil porsi 1 persen limbah kain katun di dunia.
”Sekarang masih terasa belum bisa memaksimalkan penggunaan kertas dari kain limbah kain katun ini,” ujar Chieko.
Pada 1995, Chieko memanfaatkan sekitar 20 persen limbah kain katun untuk kertasnya. Bahan lain yang biasa digunakan berasal dari serat kayu. Kemudian secara bertahap Chieko meningkatkan menjadi 50 persen, bahkan sekarang sudah bisa mencapai 100 persen kertas berbahan limbah kain katun.
Chieko menggunakan teknologi Jepang hingga menghasilkan kertas yang berkualitas. Selain dari bahan alami, produksi kertas itu juga menggunakan aliran air yang berkualitas dari Gunung Fuji.
Chieko tidak menginginkan sampah dibuang begitu saja. Sebisa mungkin, sampah diolah dan dipergunakan kembali hingga menciptakan manfaat-manfaat baru.
Selain untuk karya seni cetak, kertas CFC juga banyak digunakan untuk pembuatan boneka pada festival-festival besar di Jepang. Chieko menyebutkan, salah satunya Festival Nebuta Aomori. Ini salah satu festival terbesar di Jepang saat musim panas di bulan Agustus. Boneka-boneka besar dari kertas banyak diciptakan untuk festival tersebut. Kertas produksi CFC di situ banyak digunakan.
”Setelah festival selesai, limbah kertas digunakan kembali. Misalnya, untuk label minuman atau digunakan untuk membuat pohon natal,” ucapnya.
Di situlah kunci dari perjuangannya. Chieko tidak menginginkan sampah dibuang begitu saja. Sebisa mungkin, sampah diolah dan dipergunakan kembali hingga menciptakan manfaat-manfaat baru.
Paling berkualitas
Atas prakarsa Galeri Dia.Lo.Gue, kertas dari pengolahan limbah kain katun oleh CFC Jepang ini dipertemukan dengan Devfto Printmaking Institute di Bali. Ini sebuah lembaga seni di bidang seni cetak yang didirikan Devy Ferdianto di Ubud, Bali.
”Kami dipertemukan dengan gagasan pameran ini sejak dua bulan yang lalu. Ini waktu yang tidak terlalu lama sehingga saya beserta enam seniman yang menetap di Bali merespons dan akhirnya berpameran di sini,” ujar Devy.
Selain Devy, keenam seniman lainnya meliputi Dewa Made Johana, Ida Bagus Putu Purwa, Ni Nyoman Sani, Satria Nugraha, I Made Wiradana, dan Valasara. Masing-masing menghadirkan tiga karya dengan beragam teknik seni cetak.
”Pada dasarnya, kertas berbahan kain katun atau kapas itu yang paling berkualitas selama ini. Apalagi dengan teknik pembuatannya secara manual dan bahan baku limbah kain katun akan menimbulkan gramasi yang berbeda-beda dan sulit dicapai dengan mesin,” kata Devy.
Kertas katun juga memiliki daya serap air yang cukup tinggi. Dalam karya seni cetak yang umumnya menggunakan tinta warna berbasis air, akan diperoleh cetakan dengan warna yang lebih tajam. Hal ini jika dibandingkan dengan produk kertas lain yang lebih banyak menggunakan bahan baku serat kayu.
Kertas dari bahan katun di Indonesia mulai banyak digunakan, terutama untuk karya seni cetak. Akan tetapi, harga produk kertas dari katun tergolong masih tinggi. Di Indonesia belum ada yang membuat kertas dari bahan katun atau kapas ini. Apalagi dengan mengolah dari limbah kain katun.
Kertas seni cetak yang dibuat secara manual juga memiliki kualitas tersendiri. Devy mencontohkan, saat ini anaknya mencoba produksi kertas dari deluwang(Broussonetia papyrifera).Kertas deluwang ini memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan.
Pada dasarnya, kertas deluwang seperti kertas katun yang menggunakan serat natural. Serat-serat natural deluwang banyak digunakan di masa lalu, tetapi sekarang mulai terlupakan.
Apalagi ketika teknologi produksi kertas terus meningkat. Saat ini terdapat teknologi alfa selulosa yang mampu memisahkan serat kayu dengan lignin atau daging kayu dengan lebih mudah tanpa menggunakan asam. Produknya menjadi kertas bebas asam.
Kertas dengan teknologi alfa selulosa ini sekarang makin mudah dijumpai. Bagi Devy, jenis kertas ini menjadi pilihan kedua setelah jenis kertas katun yang mulai banyak di pasaran. Akan tetapi, kertas buatan tangan seperti produk CFC Jepang tetap berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri.
Baca juga : Berkebudayaan Menjadi Impian
Dari deretan karya seni cetak yang dipamerkan, karya Devy yang berjudul ”Lines of Beauty 1"” menampakkan kecerahan warna. Devy menggunakan teknik softground etching yang memunculkan goresan dan lapisan warna kuat.
Karya seni itu memiliki goresan tinta hitam yang membentuk potret wajah perempuan dengan lapisan dasar warna kuning kecoklatan dan jingga. Lapisan dasar warna jingga meluap sampai mewarnai rona wajah potret perempuan tadi.
Karya ”The Face” terasa kelembutan warnanya. Devy menampilkan garis-garis bergelombang yang tidak begitu tampak. Ketika citra karya diperbesar secara digital, garis-garis gelombang lebih terlihat jelas.
Karya Dewa Made Johana yang diberi judul ”Flower of Paradise 3” juga menampakkan detail titik dan garis dengan kuat. Proses bertemu dan bercampurnya warna seperti terus berlangsung. Ada citra yang samar, tetapi cukup kuat menampilkan gambar seorang perempuan yang mengenakan riasan kepala.
Kemampuan daya serap medium kertas katun berpengaruh terhadap detail-detail warna ataupun tarikan garisnya. Di pameran ini tidak ada karya lain dengan medium selain kertas katun sehingga tidak bisa untuk mendapatkan perbandingannya.
Aktivis sosial
Pameran ini bermula ketika pemilik Galeri Dia.Lo.Gue, Hermawan Tanzil, pada Februari 2023 diundang ke Jepang untuk menjadi salah satu juri kontestasi desain dan produk hijau atau ramah lingkungan New Energy. Di situlah Hermawan bertemu dengan Chieko Watanabe.
”Chieko ini seorang aktivitas sosial yang selalu menyuarakan pengurangan dan penanganan limbah. Pada akhirnya, Chieko menemukan metode pengolahan limbah kain katun menjadi kertas,” ujar Hermawan.
Engel Tanzil, isteri Hermawan, turut menyertai kepergian Hermawan menjadi juri ke Jepang. Engel banyak bercerita juga tentang pengalaman mendampingi suaminya di Jepang kala itu.
”Indonesia dinilai termasuk negara yang memiliki desain dan arsitektur yang terus melaju sehingga dipilih menjadi salah satu juri. Juri dari negara lain meliputi China, Thailand, dan Korea,” kata Engel.
Pihak penyelenggara acara New Energy mempersilakan setiap juri untuk berkolaborasi dengan para produsen hijau dan ramah lingkungan tersebut. Hermawan pun memilih untuk berkolaborasi dengan Chieko Watanabe.
Usia Chieko sekarang sudah menginjak 72 atau 73 tahun. Pengolahan limbah kain katun dimulai pada 1990 atau 33 tahun silam. Konsisten Chieko diharapkan juga berkembang di sini.