Berkebudayaan Menjadi Impian
Pekan Kebudayaan Nasional 2023 menyuarakan kesetaraan dan kesadaran untuk berpijak di atas kaki sendiri demi meraih kesejahteraan ekonomi, ekologis, dan sosial.
Hidup berkebudayaan sangatlah kompleks dan tidak bisa diseragamkan di antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Kesetaraan dan kesadaran untuk berpijak di atas kaki sendiri demi meraih kesejahteraan ekonomi, ekologis, dan sosial masih harus terus diperjuangkan dan masih menjadi impian.
Inilah yang disuarakan melalui Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023. Salah satunya oleh komunitas Jatiwangi Art Factory (JAF) yang berbasis di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Mereka menjadi salah satu peserta puncak PKN yang berlangsung dari 20 Oktober hingga 29 Oktober 2023. Mereka memamerkan seni instalasi terakota dan beragam kegiatan pendukungnya di lobi gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Jakarta. Bappenas menjadi satu titik penting dari 40 titik lainnya yang dimanfaatkan sebagai lokasi pameran dan kegiatan PKN 2023.
”Jalan Kebudayaan untuk Indonesia Emas 2045” dipilih menjadi tajuk utama kegiatan JAF ini. Agendanya diawali dengan akad atau perjanjian di antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Bappenas, dan JAF untuk mengarusutamakan kebudayaan dalam perencanaan pembangunan.
Akad ditindaklanjuti musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) di sepanjang pelaksanaan PKN. ”Hasil Musrenbang diserahkan kepada pemerintah pada saat penutupan PKN, 29 Oktober 2023,” ujar Ismal Muntaha, salah satu inisiator dan penggerak JAF, Kamis (26/10/2023), di Jakarta.
JAF sendiri dirintis sejak 2005. Ismal bersama aktivis seni lintas disiplin ilmu menggerakkan kehidupan masyarakat di Desa Jatisura, salah satunya dengan mengaktifkan kembali beberapa pabrik genteng berbahan tanah liat. Tidak hanya produk genteng, pada akhirnya berbagai macam terakota pun dihasilkan. Inilah yang melatarbelakangi JAF menyebut kegiatannya sebagai program berkebudayaan Kota Terakota.
Tidak hanya terlibat dalam pengaktifan produksi terakota, JAF rutin menyelenggarakan beberapa kegiatan festival seni. Sejak 2006 untuk pertama kalinya JAF menyelenggarakan Jatiwangi International Performing Arts in Residence Festival. Berikutnya, Festival Video Desa yang diselenggarakan setiap dua tahun. Kemudian ada Festival Musik Keramik setiap tiga tahun yang biasanya diiringi Festival Rampak Genteng sebagai gerakan Masyarakat Tanah Berbunyi.
Selama PKN berlangsung di lobi gedung Bappenas, JAF menampilkan instalasi Kota Terakota. Beragam terakota dengan ornamen-ornamen tiga dimensi yang berbentuk seperti keramik dinding disusun dengan menarik. Tidak hanya itu, seni instalasi lainnya berbasis tanah dan tanah liat juga ditampilkan dengan menarik.
Baca juga: Rajutan kebinekaan di Pekan Kebudayaan Nasional
JAF menempatkan Kawasan Pemajuan Kebudayaan Kota Terakota dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) sebagai tema pokok musrenbang. Jatiwangi sebagai Kota Terakota menjadi konsep pembangunan wilayah yang berkebudayaan. Di situ pembangunan didasarkan atas dasar musyawarah warga dengan mengembangkan potensi yang dimiliki dan keseimbangan ekosistem yang lebih diutamakan.
Selama di Bappenas, JAF menggelar berbagai agenda meliputi diskusi ekonomi kebudayaan, Perjamuan Nasional Pembangunan Masyarakat, Tutur Masyarakat Tanah Berbunyi, Perhutana Collective Forest, Pasar Ilmu dan Pasar Barter, serta penutupan dengan penyerahan hasil musrenbang.
Ismal menabalkan, di dalam pembangunan berkebudayaan itu pencapaian kesejahteran warga bukan hanya dari sisi ekonomi saja. Kesejahteraan warga juga harus dicapai secara ekologis dan sosial yang justru acap kali diabaikan dengan alasan kepentingan ekonomi industri.
Gema Ladang
Tidak hanya JAF di Bappenas, komunitas Teater Nara asal Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, mengisi PKN 2023 dengan ”teriakan” yang mirip-mirip pula. Mereka mementaskan lakon berjudul Gema Ladang di studio PT Produksi Film Negara (PFN), Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Adegan pembuka beberapa orang masuk panggung dengan masing-masing membawa sokal atau kotak terbuat dari daun lontar. Sokal biasanya digunakan untuk membawa biji-bijian pangan lokal.
Mereka menyanyi saling bersahutan dengan riang gembira. Lirik pembukanya demikian: ”Kami lahir dari gunung/Dibesarkan bukit-bukit/Bapak kami matahari bulan. Ibu kami bumi tanah/..,”.
Naskah Gema Ladang ditulis Silvester Petara Hurit, sekaligus sutradara pementasan ini. Silvester menggambarkan situasi penduduk tatkala bahan pangan pokok beras dari luar daerah, bahkan impor, belum mengambil alih bahan pangan pokok lainnya, seperti jagung, jewawut, dan umbi-umbian.
Penduduk digambarkan penuh sukacita tatkala mulai menanam, merawat, hingga memanen bahan-bahan makanan tersebut. Adegan pembangunan yang tidak berkebudayaan tatkala seorang pria bertubuh tambun masuk panggung sambil membawa piala besar berisi beras. Ia menumpahkan butir-butir beras ke segala penjuru panggung. Penduduk pun tidak bisa berbuat sesuatu ketika diguyur butiran beras.
Beras yang didatangkan dari luar daerah, bahkan mungkin impor dari negara lain, akhirnya menenggelamkan buah-buah ladang mereka. Hilang sudah gema ladang mereka. Sebelum itu terjadi, patra investor dari luar sudah mengendus peluang industri perkebunan. Ladang dijadikan perkebunan mete, penduduk disuruh mengonsumsi makanan pokok beras.
Tatkala hasil perkebunan mete tidak memenuhi harapan, tangis kemiskinan pun meledaklah. Lingkar kemiskinan berputar-putar. Kecintaan dan kesadaran akan tanah pun hilang.
Pembangunan berkebudayaan bertujuan mempertahankan keberagaman apa pun, termasuk sumber bahan pangan. Untuk menunjukkan hal itu, penyelenggara PKN 2023 membuat program Dapur Bangsa di halaman gedung PT PFN. Dapur Bangsa menjadi dapur pengolahan resep masakan dari berbagai daerah yang mengacu buku berjudul Mustikarasa-Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno.
”Itu terlihat berbagai macam jenis kerupuk dari sejumlah daerah di Indonesia. Kerupuk-kerupuk itu dikumpulkan lewat open call untuk dibagikan gratis kepada peserta dan pengunjung PKN di sini,” ujar Direktur Artistik PKN 2023 Alit Ambara di depan Dapur Bangsa.
Setiap hari di sepanjang pelaksanaan PKN, selain dimasak menu makanan khas dari sejumlah daerah, juga dimasak sambal beraneka jenis. Sambal diselaraskan dengan kerupuk dalam sebuah festival makanan cocol.
Kebetulan hari itu masakan berbagai menu khas, termasuk sambal, didatangkan dari wilayah Maluku Utara. Lusi Susanti, salah satu ahli masakan dari Maluku Utara, menceritakan, sambal atau dabu-dabu dibuat khusus dari resep Kesultanan Bacan, Maluku Utara.
”Ada jenis cabe rawit yang kecil-kecil, tetapi sangatlah pedas. Inilah yang digunakan untuk dabu-dabu Kesultanan Bacan,” ujar Lusi.
Merawat
PKN 2023 mengambil tema ”Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”. Tampilan yang disuguhkan tidak jauh-jauh dari kedua persoalan itu. Begitu pula, para penampilnya juga dari berbagai komunitas atau kolektif seni yang berpraktik kerja di tengah-tengah masyarakat.
”Yang ditampilkan pun simbolik dan tidak jauh-jauh dari praktik keseharian yang ditempuh secara kolektif di tengah masyarakat,” ujar Ade Darmawan, salah satu kurator PKN 2023.
Ade yang memimpin kolektif seni Ruangrupa mengadopsi karakter lumbung sebagai metode kerja kuratorial PKN. Metode lumbung itu dengan melihat, memetakan, menelaah, dan mempresentasikan praktik kerja kepada khalayak. Kemudian menjadikan lumbung menjadi lambang kekuatan bersama.
Metode lumbung ini pernah dijalankan pula sewaktu kolektif seni Ruangrupa ditunjuk menjadi Direktur Artistik Documenta 15 di Jerman tahun 2022. ”Di dalam metode lumbung sudah tidak ada lagi kompetisi, tetapi hanya berbagi,” ujar Ade.
Kekuatan lumbung sebagai kekuatan bersama inilah yang mendasari praktik kerja kolaborasi dalam memaknai dan mengelola sumber daya. Selain itu, lumbung juga sebagai metafora ruang tamu bagi siapa saja yang datang.
Di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta yang juga menjadi titik penting PKN 2023, kolektif seni Ruanghrupa menampilkan salah satu permainan yang dinamai Papan Catur Kolektif, memiliki 16 kali 16 petak dengan empat pemain. Prinsip permainannya bukan saling memainkan, melainkan saling mengisi kotak.
Baca juga: Kala Seni Kontemporer Masuk Desa