Perlawanan Seorang Gadis lewat Kretek
Dasiyah, gadis kretek, perempuan yang memiliki pemikiran jauh melampaui masanya.
Jelang akhir hayatnya, Soeraja tua (Pritt Timothy), konglomerat kaya raya industri rokok kretek, ingin bertemu kembali dengan pujaan hati dari masa lalunya. Puluhan tahun lalu Soeraja pernah bertemu untuk terakhir kalinya. Namun, setelah perjumpaan itu, sosok Jeng Yah alias Dasiyah (Dian Sastrowardoyo) menghilang begitu saja.
Dengan perasaan cinta yang masih sangat kuat dan menggebu, ditambah rasa penyesalan mendalam, Soeraja tua hidup dalam penderitaan. Ditambah lagi penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya yang membuat ayah tiga putra itu merasa tak bakal bertahan lama.
Demi satu keinginan terakhir sang ayah tersebut, Lebas (Arya Saloka), bungsu dari tiga bersaudara keturunan Soeraja, akhirnya memutuskan mencari sosok Jeng Yah.
Lebas berbekal beberapa lembar catatan berisi tulisan tangan lama dan foto hitam putih tanpa keterangan apa pun. Lembaran catatan itu belakangan dikenali sebagai catatan Dasiyah alias Jeng Yah, sosok yang diminta sang ayah untuk segera bisa ditemukan.
Dasiyah dalam serial ini digambarkan layaknya sosok perempuan Jawa di masa itu. Perempuan dari kalangan menengah yang tak banyak bicara, apalagi mengungkapkan perasaannya. Namun, dia adalah sosok perempuan yang cerdas dan punya sikap.
Baca juga : Dian Sastro, Budak Karakter
Dia rajin membuat catatan dalam bentuk tulisan tangan seputar kejadian-kejadian di sekeliling yang menarik perhatiannya. Dasiyah juga kerap mencatat pemikiran-pemikiran dan keinginannya yang menurut dia tak mungkin diungkapkan, apalagi diwujudkan.
Soal karakter itu, Dian menjelaskan, dirinya harus menjalani rutinitas yang berbeda dari biasanya. Secara garis besar, kebiasaannya bergerak cepat harus beralih ke tempo lambat. Dian yang ekspresif dan energik itu perlu menata ulang cara gerak, bernapas, berbicara, bahkan saat mengedipkan mata.
”Ekspresi diam, marah, dan takut itu lebih ’diam’. Ini lebih susah. Mendhem jero. Tatapan mata paling susah. Minta kedipnya sedikit. Kadang mata sudah perih. Ini seperti proses meditatif,” kata Dian tentang latihan perannya.
Sutradara Kamila Andini juga memintanya meninggalkan semua jenis olahraga bertempo cepat, seperti tenis dan lari. Tujuannya, untuk membiasakan tubuhnya berada dalam tempo rendah. ”Olahraga hanya tari Jawa, biar ada gerak. Mirip taichi,” kata Dian.
Menjelang shooting, selama beberapa bulan Dian harus ”meninggalkan” teman-temannya, mengurangi interaksi sosial. Ketika anaknya sekolah dan suaminya kerja, Dian berdiam diri di sebuah ruang khusus tanpa internet, hanya mendengarkan gending Jawa dan musik klasik. Itu dibarengi dengan latihan menulis sambung seperti yang tampak dalam kebiasaan Dasiyah di film.
Olahraga hanya tari Jawa, biar ada gerak. Mirip ’taichi’.
Kembali ke film, sejumlah catatan dan foto tadi tak lantas mempermudah pencarian Lebas. Lembaran catatan tangan dan foto-foto tersebut sulit ditelusuri jejaknya.
Beruntung, dalam pencariannya, Lebas bertemu sosok seorang dokter muda, Arum (Putri Marino). Arum masih keturunan keluarga pemilik industri rokok kretek lain dari masa lalu. Beberapa wajah dan bangunan dalam foto-foto yang dibawa Lebas langsung dikenali oleh Arum.
Dia mengenali wajah Dasiyah dalam foto yang menurut dia adalah kakak kandung ibundanya. Sang bunda kini tengah sakit keras. Sosok Arum sendiri adalah keturunan Idroes (Rukman Rosadi), pengusaha rokok kretek besar di kota M pada zamannya.
Idroes adalah ayah dari Dasiyah dan ibunda Arum, Rukayah tua (Nungki Kusumastuti). Dasiyah dipercaya membantu ayahnya berbisnis tembakau dan rokok kretek. Sementara Soeraja muda alias Raja (Ario Bayu) adalah salah seorang pemuda yang dipekerjakan setelah dipungut Idroes dari jalanan. Idroes terkesan dengan keberanian dan kecerdasan Raja yang juga menguasai bahasa Belanda.
Perkenalan Raja dan Dasiyah di area pabrik rokok kretek milik Idroes tumbuh menjadi perasaan cinta walau keduanya banyak menemui kendala. Raja mengagumi sosok Dasiyah, yang berbeda dari sosok perempuan biasa lain lantaran memiliki pemikiran jauh melampaui masanya. Di tengah kultur masyarakat yang masih kental menganut paham patriarki, Dasiyah seolah tegak berdiri menantang dan melawan.
Perlawanannya terutama diwujudkan dalam bentuk keinginan kuatnya bisa ikut meracik saus rokok kretek di perusahaan milik ayahnya. Keberadaan saus dalam industri rokok kretek adalah faktor penentu sekaligus pembeda di antara para pesaing produsen rokok kretek lain.
Masalahnya, di masyarakat patriarki, pekerjaan meracik saus hanya boleh dilakukan laki-laki. Bahkan, untuk mendekati ruangan tempat para peracik saus bekerja meramu bumbu-bumbu rempah pun, Dasiyah dilarang. Raja bersimpati pada keinginan dan tekad bulat Dasiyah tersebut dan bahkan berani membantu hingga pada satu titik perasaan itu berubah menjadi rasa cinta di antara keduanya.
Namun, malang, sebuah perjalanan sejarah negeri ketika itu mengubah semua, tak terkecuali Dasiyah dan Raja. Walau tak digambarkan secara rinci, para penonton paham bahwa adegan yang terjadi terkait erat dengan masa pergantian rezim kekuasaan di masa lalu. Satu momentum sejarah traumatis yang banyak memakan korban jiwa dan juga harta benda.
Alur maju mundur
Cerita serial Gadis Kretek ini ditampilkan secara menarik dan mulus walau menggunakan alur cerita yang terbilang rumit, alur maju dan mundur. Kisah masa lalu diwakili dengan kehadiran kisah Dasiyah dan Soeraja. Sementara periode kekinian, masa tahun 2000-an, diwakili cerita dari dua karakter utama, Arum dan Lebas.
”Saat pertama kali membaca bukunya, saya langsung tertarik membuatnya ke dalam bentuk film. Saya suka cerita fiksi yang dibenturkan dengan sejarah. Sesuatu yang nyata, tetapi masih memiliki ruang untuk bermain dengan fiksi,” cerita sutradara Ifa Isfansyah, seperti dia sampaikan lewat catatan produksi serial Gadis Kretek.
Dalam jumpa pers terpisah, Rabu (1/11/2023), Ifa merasa sangat tertantang ketika mencoba menerjemahkan cerita Gadis Kretek ke dalam bahasa visual dari novel.
Baca juga : Putri Marino Merasa Deg-degan
Serial Gadis Kretek yang tayang sejak 2 November 2023 di Netflix disutradarai Ifa dan Kamila Andini. Kamila menjelaskan, dirinya memilih mewakilkan dua periode waktu tadi ke dalam dua karakter. Karakter Dasiyah yang mewakili perempuan di masa lalu dan karakter Arum yang mewakili perempuan di masa sekarang. Keduanya sama-sama punya karakter kuat, tetapi memiliki masa dan situasi yang berbeda.
Kamila terpukau pada karakter Dasiyah lantaran dirinya melihat ada sosok karakter pejuang Kartini dalam latar industri rokok kretek di masa lalu. Namun, selain karakter dan spirit yang kuat, Dasiyah juga membawa kisah perjalanan hidup dan tragedi.
”Akan tetapi, saya ingin melihatnya lebih dari sekadar tragedi. Termasuk dengan cara mengingatkan sekaligus meneruskan semangat-semangat (yang dimiliki Dasiyah) untuk bisa disampaikan ke masa sekarang,” ujar Kamila.
Mewujudkan masa lalu
Mengutip catatan produksi, untuk mewujudkan serial ini, pihak tim artistik membangun lebih dari 100 set di 20 lokasi berbeda. Dari total set itu, ada 16 set utama yang dijadikan lokasi pengambilan gambar serial tersebut.
Salah satu set penting ada di Rumah Karesidenan Kedu di Magelang, Jawa Tengah. Lokasi tersebut adalah kawasan cagar budaya lantaran dulu merupakan lokasi penangkapan Pangeran Diponegoro oleh pemerintah kolonial Belanda.
Rumah itu diubah menjadi rumah Idroes, dengan sejumlah penyesuaian artistik pada ornamen dan perabotan-perabotannya.
”Rumah Idroes adalah salah satu lokasi yang paling sulit kami temukan. Kami mencari rumah yang cukup lapang untuk membangun pabrik kretek di dalamnya. Ibaratnya, Idroes seperti penjual kue rumahan. Semua dilakukan di dalam rumah dan semua pekerjanya sudah dianggap keluarga,” cerita Kamila.
Rumah Idroes adalah salah satu lokasi yang paling sulit kami temukan. Kami mencari rumah yang cukup lapang untuk membangun pabrik kretek di dalamnya.
Ifa menambahkan, kerja keras itu untuk menguatkan kesan bahwa penonton tidak diajak ke masa lalu, tetapi melihat masa lalu dari masa kini. Oleh sebab itu, secara visual harus tampak canggih.
Dalam kesempatan terpisah, Ratih Kumala, penulis novel Gadis Kretek, menyebut proses adaptasi dari novel ke naskah film memakan waktu sekitar setahun. Ratih juga terlibat dalam penulisan naskah serialnya. Dia berharap, ketika serial ini ditonton, terutama oleh penonton dari negara lain, Gadis Kretek bisa membuat mereka paham tentang Indonesia berikut berbagai latar belakang, termasuk sejarah dan budayanya.