Cara Mitski Mengurai Keruwetan
Mitski kembali dengan album ”The Land is Inhospitable and So are We” yang terasa resah. Keresahan itu tak lagi berbalut disko, tapi nuansa akustik gaya ”country”. Musik dan liriknya tetap memikat.
Album The Land is Inhospitable and So are We adalah album kedua setelah sempat memutuskan hiatus pada 2019, dan menjadikannya album penuh ketujuh sepanjang karier musikal penyanyi dan penulis lagu Mitski.
Mitsi bertahan di kancah musik untuk meluapkan kegundahan dan kebahagiaannya. Gonggongan anjing, derik jangkrik, sampai kumpulan orkestra kini menemaninya.
Album keluaran label Dead Oceans ini dibuka dengan lagu ”Bug like an Angel”, yang sekaligus jadi singel pertama. Penyanyi bernama lengkap Mitski Miyawaki ini memulainya dengan senyap; hanya gitar akustik dan suara vokalnya yang menganalogikan kesepian seperti dasar botol yang kosong.
Tibalah pada larik, ”Sometimes a drink feels like family”, atau kurang lebih berarti ”Setenggak minuman berasa layaknya seperti keluarga” dalam suara setengah berdesah. Kata ”family” tiba-tiba dipertebal dengan paduan suara; seolah-olah menegaskan bahwa ”keluarga” adalah entitas yang kompleks, harmonis tapi mengejutkan.
Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu baru saja mengucap janji yang tidak bisa kau penuhi? Jika iya, pengingkaran itu akan menghancurkanmu.
Kejutan itu dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengusik, seperti ”Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu baru saja mengucap janji yang tidak bisa kau penuhi? Jika iya, pengingkaran itu akan menghancurkanmu (they break you right back),” begitu seru Mitski dengan dingin tanpa berusaha sinis.
Lagi-lagi frasa terakhir itu ditebalkan dengan paduan suara. Rasanya seperti kenyataan yang menampar keras.
Selamat datang kembali di jagat Mitski, sang ratu kancah indie pop, yang makin sering disapa ”Mama Mitski” atau ”Bunda Mitski” oleh pengikutnya. Dia kembali dengan sabda-sabda satire. Musiknya boleh pop, tapi kalimat liriknya tajam layaknya rap atau dingin seperti black metal.
Ini jelas terpancar dalam larik penutup lagu yang dirilis 26 Juli lalu ini. Kira-kira begini terjemahan lariknya, ”aku coba mengingat-ingat/murka iblis adalah ciptaan Tuhan juga”, dengan suara kalem.
Begitulah kekhasan penyanyi Amerika Serikat keturunan Jepang ini. Bisa dibilang lagu-lagu Mitski mengandung dua kutub berlawanan; kesenangan dan kesakitan, penghargaan diri dan penghancuran diri, maupun kerumunan dan isolasi. Paradoks itu bisa dibilang tersebar di mana-mana, di album Mitski mana pun.
Ingat lagu pembuka di album sebelumnya, Laurel Hell (2022), yakni ”Valentine, Texas”. Dalam kalimat awal, Mitski mengajak pendengarnya bersijingkat masuk ke dalam kegelapan, lantas dia menjanjikan untuk mengingat jalan keluar (dari kegelapan) begitu tiba di dalamnya. Ada kesuraman di balik aura positifnya.
Baca juga: Sepultura 31 tahun kemudian
Lagu terkenal lainnya, ”Nobody” dari album Be the Cowboy (2018), pun menyiratkan kutub berlawanan itu. Liriknya tentang kesepian, isolasi. Terjemahan pembuka lagunya kira-kira berbunyi, ”Ya Tuhan, aku kesepian/Aku buka jendela hanya untuk mendengar suara orang-orang,” nyanyinya pilu.
Kepiluan itu ditingkahi dengan dentuman bas disko. Jadinya, orang-orang yang ikut merasakan kesepian, bisa menari-nari di dalam ruang sempit mereka.
Dalam album bersampul kuning blewah ini, Mitski masih mengusung tema-tema itu. Namun, secara musikalitas berbeda. Dia tak banyak memasukkan distorsi gitar seperti di album-album awal, atau bunyi sintetis disko seperti di dua album sebelumnya. Di sini, Mitski seperti ditemani band yang memainkan banyak bunyi akustik dan organik.
Pada nomor seperti ”Star”, ”Heaven”, dan ”When Memories Snow” orkestra pimpinan Drew Erickson mengiringinya. Hasilnya, kisah jatuh cinta habis-habisan dalam ”Heaven” dan patah hati ”Star” begitu dramatis.
Mitski—kini berusia 33 tahun—bukan hanya bernyanyi, tapi juga menjadi pengarah aransemen orkestra itu. Dia ditemani produser Patrick Hyland yang juga ikutan di album Laurel Hell. Ciri khas Hyland tertera kuat pada lagu yang sedang jadi hit ”My Love Mine All Mine”.
Rasa Nashville
Mitski dan Hyland memasukkan berbagai bebunyian dalam lagu sendu itu. Ada bunyi organ, piano, gitar akustik, sampai gitar pedal steel yang dimainkan Fats Kaplin. Permainan Kaplin membuat lagu ini bernuansa pop country ala Nashville, Texas, kota kediaman Mitski saat ini.
Suara gitar pedal steel inilah yang membedakan album ini dengan album Mitski sebelumnya. Kepindahannya ke Nashville dari New York berpengaruh besar pada musikalitasnya. Dia memasukkan suara gonggongan anjing dan derik jangkrik pada lagu ”I’m Your Man”.
Nuansa musik country juga makin kuat pada lagu berikutnya, ”The Frost”. Nuansa lagunya seperti padang rumput yang hangat berkelimpahan sinar matahari. Padahal, cerita lagunya cenderung suwung alias kosong.
Betapa tidak, Mitski menceritakan kehilangan teman baik. Dia berdendang, ”Kini dunia jadi milikku sepenuhnya, tanpa seorang pun, satu orang pun untuk berbagi kenangan.” Berkat komposisi musiknya, kesepian itu jadi terasa bisa berterima.
Kisah sepanjang sebelas lagu dalam durasi 32 menit ini ditutup dengan nomor singkat ”I Love Me After You”. Dalam cengkok oriental, Mitski membuka dirinya. ”Aku tak peduli tirai terbuka/Biarkan kegelapan melihatku…Jalanan dan malam menjadi milikku/Semua milikku,” diiringi suara drum yang berat.
Tapi aku beruntung bisa membuat musik dengan para talenta hebat, dan punya pendengar seperti kalian. Aku tersadar bahwa yang kuinginkan hanyalah membuat musik, dan menyelesaikan segala keruwetan.
Menganggap bahwa album The Land ini merupakan kelanjutan Laurel Hell tak sepenuhnya salah. Sebagian materi tercipta ketika dia menulis untuk album yang dirilis tahun lalu itu. Namun, meski diproduseri orang yang sama, musikalitasnya terasa lebih komplit. Hati yang hancur pada lagu “Star” diracik dengan bebunyian yang lebar sehingga tak sakit-sakit amat.
Dalam pernyataannya ketika merilis lagu ”Bug Like an Angel”, seperti ditulis Associated Press, Mitski mengaku beruntung dikelilingi sumber daya bagus melanjutkan karier bermusiknya. Dia berkata, industri musik dengan perhatian besar tertuju padanya berlawanan dengan kepribadiannya. Itu yang membuatnya rehat dari industri ini pada 2019 silam.
”Tapi aku beruntung bisa membuat musik dengan para talenta hebat, dan punya pendengar seperti kalian. Aku tersadar bahwa yang kuinginkan hanyalah membuat musik, dan menyelesaikan segala keruwetan,” kata dia. Album keluar pada 15 September silam.
Sebulan setelahnya, Mitski menuai lagi popularitasnya. Lagu ”My Love Mine All Mine” menuai 61 juta kali putar pada pelantar digital. Pada aplikasi Spotify, lagu ini berada di tiga besar lagu terpopuler di Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Lagu ini juga mewarnai 650.000 video di TikTok yang menuai 1,2 juta pemirsa. Penjualan piringan hitamnya juga bagus.
Awal Oktober ini, Mitski mengumumkan tur keliling AS yang dimulai awal 2024. Melihat ketenarannya di Asia Tenggara, sangat mungkin ia kembali melawat ke wilayah ini seperti yang ia lakukan pada 2019 dulu.
Jika Mitski siap, penggemarnya sudah lebih siap melihat sosok sejatinya seperti pada lagu ”I Love Me After You”. (AP)