Kala Seni Kontemporer Masuk Desa
Warga desa mencipta karya seni kontemporer bersama seniman-seniman kaum urban yang datang menempuh residensi di desa tersebut, seperti untuk Biennale Jogja 17 tahun 2023.
Desa identik sebagai tempat tumbuh dan dipertahankannya seni tradisi. Ternyata tak selamanya demikian, karena warga desa rela mencipta karya seni kontemporer bersama seniman-seniman urban yang datang menempuh residensi di desa.
Bersama warga Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta, lahirlah kisah panjang dalam melahirkan seni instalasi berjudul ”Garba”. Garba memiliki makna sebagai rahim.
Seniman residensi Monica Hapsari (39) asal Jakarta memelopori penciptaan karya seni kontemporer ini. Ada dua karyanya. Yang pertama berupa seni instalasi dan dipajang di Balai Budaya Karangkitri, Desa Panggungharjo, selama Biennale Jogja (BJ) 17 berlangsung 6 Oktober-25 November 2023.
Monica membuat visualisasi rahim dengan limbah plastik. Limbah plastik dibeli dari warga desa yang memilah dan mengolah sampah. Di tengah ruang pamer, ia menempatkan sebuah lesung tua. Alas lantai diberi gelaran kulit gabah.
Karya yang kedua, hasil relasi Monica dengan warga desa yang membuahkan lagu baru dengan musik gejog lesung.
Monica datang ke desa tersebut pada Juli 2023. Jauh sebelum itu ia sudah diminta Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika agar mempersiapkan karya melalui residensi, tinggal di tempat tertentu untuk menemukan pengalaman baru.
”Saya berangkat untuk residensi dengan bermodal gagasan personal, bukan dari gagasan global. Saya ingin mengolah karya bersama warga dari pengalaman mendampingi kedua orangtua saya yang alzheimer,” tutur Monica, Rabu (4/10/2023), di Panggungharjo.
Pertama kali tiba, Monica ditemani perangkat desa dan diperkenalkan kepada Feny Winarti, seorang perawat medis dari Dinas Sosial setempat yang bertugas khusus di Panggungharjo. Feny memahami gagasan yang disampaikan Monica, lalu memperkenalkan Monica kepada salah satu warga desa yang mengalami alzheimer bernama Mbah Suminah (86).
Alzheimer
Monica berbekal pengetahuan metode Opening Minds through Art (OMA) yang dikembangkan Universitas Miami, AS, sejak 2007, untuk pendampingan warga senior yang mengalami alzheimer, penyakit progresif yang menghancurkan memori dan fungsi mental penting lainnya. Metode OMA diterapkan selama lima pekan. Monica pun menjadwalkan secara rutin metode ini bagi Mbah Suminah.
Setiap Rabu pukul 16.00-18.00, ia datang ke rumah Mbah Suminah, yang selain alzheimer, juga kerap mengalami halusinasi dan delusi. Tujiyo (55), anak pertama Mbah Suminah dari dua bersaudara beda ayah, mengatakan, ibunya sering menceritakan hal campur aduk antara pengalaman masa lalu dikaitkan dengan masa sekarang.
Baca juga: Rupa-rupa garuda Putu Sutawijaya
”Ujungnya sering marah-marah dan mencurigai orang lain melakukan sesuatu yang tidak baik terhadap dirinya. Padahal, itu tidak nyata,” ujar Tujiyo didamping Feny.
Feny merasa beruntung ada Monica. Ia merasa mendapat ilmu baru dari Monica dalam mendampingi Mbah Suminah. Monica sendiri melihat Mbah Suminah seperti ibunya yang juga alzheimer. Itu pula yang menginspirasinya membuat proyek Garba.
Senyampang hal itu Monica dikenalkan pula kepada ibu-ibu Desa Panggungharjo yang tergabung ke dalam Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit. Monica memiliki latar seorang vokalis dan juga musisi pencipta lagu. Pada akhirnya, gagasan membentuk karya muncul bersama ibu-ibu paguyuban ini.
”Saya merasa kapasitas untuk pendampingan warga yang alzheimer masih kurang. Akhirnya, proyek Garba beralih untuk membuat karya bersama ibu-ibu paguyuban musik gejog lesung,” kata Monica menjelang latihan gejog lesung sore itu.
Dari pergumulan sekitar dua bulan lamanya, Monica bersama ibu-ibu paguyuban berhasil menciptakan lagu berjudul ”Guwa Garba” dan ”Kidung Pandonga”. Ditambah tiga lagu umum lainnya, yakni ”Caping Gunung”, ”Prahu Layar”, dan ”Ilir-ilir”, kelima lagu itu ditampilkan untuk Biennale Jogja 17.
Lagu senam
Selain Desa Panggungharjo, penyelenggara Biennale Jogja 17 juga menyediakan Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, sebagai ruang residensi lainnya. Arum Dayu, seniman asal Bandung, menjadi salah satu peserta residensi di desa tersebut.
”Sewaktu datang pertama kali Juli 2023, saya memiliki gagasan untuk mengembangkan karya bersama warga desa dengan berbasis seni fotografi. Pada akhirnya, berubah. Saya bersama ibu-ibu di Kring Ngentak menciptakan empat lagu untuk senam,” ucap Arum, yang memiliki basis seni fotografi.
Keempat lagu menyesuaikan jumlah empat RT, yang meliputi RT 01, 03, 04, dan 06. Lagu-lagu senam itu ditampilkan sebagai karya seni video dengan durasi lima menit untuk setiap lagu. Layar video senam ini menjadi bagian karya seni kontemporer untuk Biennale Jogja 17 yang dipajang di sebuah pos kamling desa tersebut.
Mengenai karya bersama lagu senam ini, Arum terinspirasi situasi menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Ternyata saat itu ibu-ibu di setiap RT disibukkan dengan berlatih senam untuk perlombaan dalam rangka 17 Agustusan.
Sri Hartini (53), Ketua Tim Penggerak PKK Kring Ngentak, menjadi narasumber pertama bagi Arum. Arum mengutarakan keinginannya untuk bersama ibu-ibu menciptakan lagu senam. Sri Hartini kemudian mempertemukan Arum kepada ibu-ibu dari empat RT itu.
”Pada awalnya, ibu-ibu di setiap RT tersebut mengatakan, tidak bisa…. tidak bisa. Saya berusaha meyakinkan bisa, dan ternyata sekarang memang bisa,” ujar Arum yang selain sebagai fotografer juga berbasis vokalis dan penggubah lagu.
Arum menjumpai beberapa ibu Kring Ngentak ada yang terbiasa menjadi penyanyi campur sari, macapat, dan dangdut. Celotehan ringan ibu-ibu pun dicatat Arum untuk inspirasi lirik lagu.
Baca juga: Seni Rupa dan Tantangan Sauvinisme
”Sejak di bangku SD saya pernah juara menyanyi macapat. Setelah itu, pernah menjadi sinden dan sering menyanyi untuk berbagai acara hajatan di desa,” tutur Ponikem (58), yang memiliki nama panggung Mak Yuli.
Arum pada akhirnya berhasil menggubah komposisi empat lagu dan video senam kreasi yang diberi judul ”Asolola”. Di dalamnya terdapat empat lagu yang berjudul ”Sayuk Rukun”, ”Ibu Sing Ora Lali”, ”Asolola”, dan ”Nguri-uri Lemah”.
Biennale Jogja 17 untuk pertama kali ini mengambil 12 area untuk penyelenggaraan berbagai pameran. Ada sebanyak 85 nama peserta individu maupun kolaborasi dicantumkan mengisi 12 area tersebut. Beberapa nama peserta yang menempuh residensi dan berkolaborasi dengan warga setempat selain Monica Hapsari dan Arum Dayu, ada Anang Saptoto, Dan Vezentan asal Romania, dan Alyen Foning asal India.
Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika merancang Biennale Jogja 17 sebagai Biennale Jogja Equator (BJE) Putaran Kedua 2023-2027. BJE dirintis pertama kali pada 2010.
”BJE melihat linimasa sejarah jadi pijakan penting untuk melanjutkan semangat dekolonisasi. Pijakan sejarahnya pada Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Nonblok yang pernah dipelopori Indonesia,” kata Alia.
Biennale Jogja 17 menetapkan tajuk Titen-Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah. Kata titen diserap dari bahasa Jawa yang memiliki makna sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam.
Tajuk pameran ini menegaskan keberpihakan kuratorial pada metode yang berangkat dari kehidupan melibatkan manusia dan bukan manusia serta lingkungan alam yang luas. Hal ini dinyatakan para kurator Biennale Jogja 17 yang meliputi Adelina Luft, Eka Putra Nggalu, Sheelasha Rajbhandari & Hit Man Gunung.
Saat penyelenggara menggelar konferensi pers, Rabu (4/10/2023), hadir Melani Budianta, akademisi Universitas Indonesia yang memiliki kepakaran pascakolonialisme serta kajian budaya. Melani diminta Alia Swastika untuk menyampaikan tanggapan terhadap metode penyelenggaraan Biennale Jogja 17 ini.
”Ini terobosan untuk menunjukkan masyarakat itu bukan penonton. Melalui residensi, seniman, dan masyarakat belajar bersama. Masyarakat memiliki ilmu titen,” ujar Melani.
Melani menyinggung perhelatan pameran seni yang sudah-sudah selama ini lebih banyak mengedepankan teori yang diambil dari Barat. Teori-teori dari Barat itu kemudian digunakan untuk menyikapi persoalan lokal kita. ”Sebaiknya, kita menggali dari yang lokal dan membagikan kembali kepada lokal,” pungkas Melani.