Kumbang Biru di Jajaran Pahlawan Super
”Blue Beetle” memberi catatan penting bahwa keluarga adalah kekuatan terbesar yang dimiliki setiap orang, tak kalah dari kekuatan superhero apa pun.
Dunia yang sesak dengan ambisi kekuasaan yang tak kunjung punah akan selalu membutuhkan para pahlawan. Si kumbang biru besutan DC Studios, Blue Beetle, turut meramaikan jajaran pahlawan super di dunia layar lebar. Untuk pertama kalinya, pahlawan super DC Universe adalah seorang pemuda berdarah Latin, Jaime Reyes. Kisahnya mewakili komunitas Latin Amerika Serikat.
Blue Beetle yang diangkat dari karakter komik besutan DC Comics adalah seorang pemuda bernama Jaime Reyes. Dalam komiknya, Jaime adalah keturunan Meksiko-Amerika, tinggal di El Paso, Texas.
Dia merupakan pengulangan ketiga dari seri Blue Beetle yang diperkenalkan untuk pertama kalinya di tahun 2006 sebagai bagian dari komik DC, Teen Titans. Film ini diproduksi DC Studios dan The Safran Company dan merupakan karakter DC Universe (DCU) pertama di bawah naungan James Gunn dan Peter Safran.
Kisah tentang Blue Beetle alias kumbang biru yang disutradarai oleh Angel Manuel Soto itu bermula saat Jaime (Xolo Mariduena) kembali ke kampung halamannya di Palmera City setelah menimba ilmu hukum selama empat tahun di Universitas Gotham. Masa depan yang semula tampak cerah mendadak suram karena keadaan keluarga yang ternyata tak seperti dugaannya.
Ekonomi keluarganya memburuk, sementara ayahnya bahkan baru saja selamat dari serangan jantung. Sebagai anak yang berbakti kepada keluarga, Jaime harus segera mencari pekerjaan untuk menafkahi keluarganya. Bersama sang adik, Milagro (Belissa Escobedo), keduanya bekerja paruh waktu di mansion mewah milik Victoria Kord (Susan Sarandon). Victoria adalah petinggi di perusahaan teknologi besar Kord Tech yang berkantor di Palmera City.
Saat tengah bekerja, secara kebetulan Jaime menyaksikan perseteruan antara Victoria dan keponakannya, Jenny Kord (Bruna Marquezine). Meski sesungguhnya terkesan konyol, Jaime kemudian berupaya melerai perselisihan antara Victoria dan Jenny yang kemudian bisa ditebak, seketika membuatnya kehilangan pekerjaan. Di adegan ini, sikap dan keberanian Jaime yang menunjukkan pembelaannya pada hal yang dianggap benar menjadi petunjuk bahwa Jaime memang memiliki cikal bakal sifat kepahlawanan.
Jenny yang merasa bersalah karena membuat Jaime kehilangan pekerjaan kemudian menawari Jaime pekerjaan lain di kantornya, di Kord Tower. Naasnya, saat akan menemui Jenny untuk membicarakan pekerjaan barunya, Jaime justru kembali terlibat dalam situasi pelik.
Sumbernya adalah scarab, alien berbentuk kumbang biru yang berada di tangan Jenny. Dengan dalih harus disembunyikan ke tempat yang aman, benda itu akhirnya sampai ke tangan Jaime.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Scarab kemudian justru bermutasi, memilih Jaime sebagai inang. Disaksikan keluarganya, Jaime kemudian bertransformasi menjadi blue beetle alias kumbang biru lengkap dengan kekuatan supernya.
Dalam film-film superhero lain, biasanya mereka menyembunyikan sosok dan kekuatan supernya tak hanya dari keluarga mereka, bahkan juga orang banyak. Jaime berbeda. Ini merupakan simbolik bahwa keluarga memang semestinya menjadi tempat teraman bagi setiap anggota keluarga di dalamnya, apa pun keadaannya. Pun ketika salah satu anggota keluarga, seperti Jaime, menjadi seorang pahlawan super.
Bukan hal baru
Gagasan menampilkan pahlawan baru di dunia yang ambisius dengan perebutan kekuasaan mungkin bukan hal baru. Akan tetapi menyuguhkan pahlawan super yang berlatar belakang Latin, dengan nilai-nilai komunitas yang khas, humanis, dan sedekat mungkin dengan realitas masyarakat adalah hal yang pantas untuk digarisbawahi.
Versi Jaime Reyes terkenal sebagai salah satu pahlawan super Latin paling menonjol di dalam komik. Selain disutradarai oleh sutradara berdarah Latin, Blue Beetle juga menampilkan banyak pemain berdarah Latin. Termasuk George Lopez (paman), Adriana Barraza (nana/nenek), Elpidia Carrillo (ibu), dan Damian Alcazar (ayah) sebagai anggota keluarga Reyes.
Soto, sang sutradara, yang sebelumnya populer karena film drama yang mencuat di tahun 2020, Charm City Kings, mengatakan, Blue Beetle adalah film yang sangat latin. Dalam sesi wawancara, Soto menjelaskan bahwa dia ingin memanfaatkan tiga generasi keluarga imigran Reyes sekaligus menjadikan mereka inti film agar dapat diterima oleh semua lapisan penonton. Tidak harus Latin.
”Itu melampaui etnis, atau warna kulit karena itu adalah sesuatu yang bisa menghubungkan kita semua. Kami bukan genre, kami juga bukan kata kunci. Ini adalah film superhero yang kebetulan menampilkan orang Latin di garis depan,” katanya. Salah satu film Spider-Man: Into the Spider-Verse juga menampilkan pahlawan super Latin, yaitu Miles Morales, tetapi berupa film animasi.
Di Blue Beetle, aura Latin terasa kuat. Salah satunya tentang nilai-nilai keluarga yang sangat kental. Tidak heran bila sejak awal hingga akhir, Jaime hampir tak pernah sendirian. Keluarganya selalu ada dalam setiap peristiwa, menjadi inti cerita seperti diungkapkan Soto.
Dimulai dari bagaimana mereka menyambut Jaime yang pulang ke Palmera City, menyaksikan Jaime bertansformasi menjadi Blue Beetle, mengantarnya saat akan melamar pekerjaan baru hingga turut serta dalam ”peperangan” melawan Victoria dan anteknya yang batil. Perlu dicatat, saat mengisahkan latar belakang sosok Victoria Kord yang ambisius, ada gugatan tentang seksisme di sini. Victoria adalah sosok yang tidak terpilih karena dia perempuan.
Situasi ini sangat berbeda dengan Jaime yang memiliki keluarga yang selalu berpihak kepadanya. Relasi yang hangat antaranggota keluarga Reyes tergambar dalam pembicaraan yang penuh luapan rasa cinta dan kasih sayang. Kadang tidak dalam bahasa Inggris, tetapi dalam bahasa Ibu mereka.
“Itu juga ada di komik. Keluarganya sangat hadir. Bagiku, sangat penting untuk tidak menjadikan mereka hanya sebagai pemanis, juga tidak menjadikan mereka sekadar umpan bagi penjahat. Kami ingin mereka juga berperan lebih banyak dan memiliki momen heroik dalam cerita, mendukung Jaime menjadi pahlawan,” imbuh Soto.
Lanskap Latin yang kuat juga disuguhkan di film. Menurut Soto, ketika dia mulai masuk ke proyek Blue Beetle, dia memerhatikan bahwa skenario film didasarkan pada kota fiksi bernama Palmera City, seperti halnya Superman memiliki Metropolis, Batman memiliki Gotham, dan Flash punya Central City. Dia juga ingin memberi Blue Beetle kotanya sendiri.
”Palmera terasa alami bagi saya ketika saya membacanya. Oh, saya rasa saya pernah tahu kota ini. Saya rasa saya pernah ke sana berkali-kali,” ujarnya. Dia ingin Palmera memenuhi ekspektasi kota metropolitan yang besar, tetapi di sisi lain memiliki kawasan dengan masyarakat berpendapatan rendah, komunitas terpinggirkan, di mana ada banyak populasi imigran.
Inspirasinya adalah rumah tradisional Blue Beetle di komik, yaitu di El Paso, Texas. Dengan merancang kota baru, memungkinkan bagi semua tim untuk melakukan segala sesuatu secara baru, tetapi pada saat yang sama juga merasakan energi El Paso.
”Jadi, kami memiliki area yang terlihat seperti bagian El Paso, landmark dari El Paso, seperti gedung Plaza. Sebuah cara untuk menghormati dari mana Jaime berasal. Dengan begitu, sebagai film nuansanya tidak terasa terlalu jauh di masa depan, tetapi lebih membumi dan tetap membawa nostalgia yang kuat,” ucapnya.
Baca juga: Perempuan di Jalur Penyelundupan
Durasi film sepanjang 2 jam bisa jadi membosankan. Terlebih, dari sisi cerita, nyaris tidak ada yang berbeda dari film-film superhero lainnya. Sikap Jaime sebagai pemuda yang canggung, terkagum-kagum dengan kemampuan supernya, hingga pertempuran klasik dengan sosok penjahat yang kuat dan sangat bernafsu untuk menang.
Namun, Blue Beetle, dengan kelindan kisah yang sesekali mendulang tawa sekaligus mengharukan memberi catatan penting bahwa keluarga adalah kekuatan terbesar yang dimiliki setiap orang, tak kalah dari kekuatan superhero apa pun.