Jangan orientasinya melulu industri, harus ada edukasi. Musik-musik yang sarat edukasi harus di-support. Jangan hanya dilihat dari kuantitas penonton, tapi mutu. Siapa tahu jazz Indonesia berkembang dan punya ciri khas.
Oleh
DWI AS SETIANINGSIH
·6 menit baca
Gitaris jazz Tohpati Ario Hutomo (52) membuktikan kata-katanya bahwa jazz yang kerap dinilai rumit bisa disuguhkan dengan menarik. Konser A Jazz Moment Tohpati Quintet pada Jumat (4/8/2023) malam di Soehanna Hall, Jakarta, merangkum perjalanan jazz Tohpati dari total 17 album miliknya ke dalam konser jazz yang segar dan menghibur. Dua jam sungguh tak cukup.
Di konser garapan ChicoIraAsa Productions pada Jumat malam itu, Tohpati yang akrab dengan sapaan Bontot hadir dalam format minimalis kuintet. Menariknya, musisi-musisi yang tampil bersama Tohpati adalah musisi-musisi jazz muda dengan keahlian bermusik yang tidak main-main. Mereka adalah Rio Manuel (kibor/piano), Ricad Hutapea (saksofon/sopran flute), Odi Purba (bass/kontrabass), dan Demas Narawangsa (drum).
Tohpati sengaja mengajak musisi-musisi muda itu karena menurut dia musisi jazz muda Tanah Air perlu mendapat apresiasi lebih. Muda hanya dari usia, soal kemampuan, menurut Tohpati, semua jauh di atas rata-rata. Lebih dari itu, mereka semua bermain dengan hati demi renjana (passion) mereka pada jazz.
Malam itu, penonton yang hadir, sekitar 90 persen dari kapasitas ruangan, campuran penonton tengah baya dan usia muda, larut dalam suguhan musik jazz instrumental yang tak semata mempertontonkan keahlian permainan alat musik, tetapi juga kejutan manis yang disuguhkan di atas panggung.
Keahlian Tohpati dalam menyusun lagu-lagu yang dimainkan membuat konser jazz besutannya itu enak dinikmati, jauh dari kata menjemukan. Ini masih ditambah dengan humor-humor segar yang dilontarkan Tohpati. Humor jazz yang kerap dianggap ”liyan”.
Sempat mundur sekitar 15 menit dari jadwal, Tohpati Quintet membuka konsernya dengan ”Bodix” yang ada di album Maru. ”Bodix” yang bertempo standar, tetapi dimainkan dengan komposisi penuh yang intens menjadi lagu pembuka yang tepat. Penonton seolah dipanaskan sebelum menuju lagu-lagu selanjutnya. Seusai ”Layang-layang” yang diambil dari album Tohpati, barulah Bontot menyapa penonton.
”Nonton musik kayak gini, kok, tiketnya mahal. Katanya, banyak yang ngomong gitu. Tapi ternyata lumayan, ya. Makasih, ya, udah nonton,” sapa Tohpati mengapresiasi penonton. Seluruh penonton pun bersorak dan bertepuk tangan.
Dengan santai Tohpati lalu bercerita soal ”Bodix”, lagu dari era program kuis Gita Remaja di TVRI yang tak punya arti khusus. Kadang-kadang, katanya, membuat judul lagu yang tidak ada artinya itu asyik. Kalau ditanya, dia sendiri tak tahu jawabannya.
Saat menceritakan ”Layang-layang” yang kerap diputar di sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan, Tohpati tertawa lepas. Katanya, saat berada di toilet dan mendengar “Layang-Layang”, dia sering bergumam, ”Ini lagu guenih. Dapet deh royalti.” Penonton ikut tertawa, mungkin karena merasa lucu. Di balik itu, ada isu penting soal royalti.
Humornya masih berlanjut. Saat memperkenalkan sang promotor, Chico Hindarto, Tohpati menyebut Chico sebagai promotor yang suka rugi. ”Kemarin dia bilang mau jalanin tur (konser) ini, terus aku bilang, oke Chic, semangat rugi, ha-ha-ha. Kita harus lestarikan promotor-promotor yang suka rugi,” lontarnya sebelum memulai ”Maru”. Penonton lagi-lagi menyambut dengan tawa.
”Maru” yang diambil dari nama landak peliharaan keluarga Tohpati itu diambil dari album Maru yang menyabet penghargaan Album Jazz Terbaik Anugerah Musik Indonesia 2021. Cover albumnya dibuat oleh anak sulungnya, Kanti, yang hobi melukis. ”Sekian lama ikut AMI baru dapat album terbaik, ya, pas itu. Aduh, kasian, deh,” ucap Tohpati yang telah berkecimpung di dunia musik sejak remaja ini. Tawanya pun berderai.
Tarik ulur
Komunikasi Tohpati yang penuh humor itu, meski terasa satir, justru membuat suasana terasa akrab. Konser jazz instrumentalia yang adakalanya rumit dengan teknik permainan tinggi menjadi rubuh saat dibalut dengan humor segar. Ini di luar strateginya dalam menyusun lagu-lagu yang disuguhkan.
Selain aransemen yang berbeda, susunan lagu juga memegang peran penting. Jam terbang Tohpati yang telah puluhan tahun malang melintang di dunia musik, termasuk pergaulannya dengan musik pop, membuat Tohpati tak menemukan kesulitan saat menyusun daftar lagu.
”Intinya, harus imbang antara lagu yang nunjukin agak skill atau yang menghibur. Lagu-laguku, kan, banyak yang easy listening gitu. Jadi balance antara itu aja, gimana caranya nonton instrumental 15 lagu buat orang Indonesia enggak terlalu membosankan. Di situ tarik ulurnya,” ungkap Tohpati beberapa saat menjelang konser.
Bagi Tohpati, jazz yang selalu dianggap berat harus disiasati dengan cerdik. Meski Tohpati juga tergabung dalam SimakDialog dan Ethnomission yang mewakili jazz rumit, serumit apa pun jazz yang dibawakannya, saat tampil penonton harus terhibur.
”Entah gimana caranya, tapi terjadi sih. Kalau aku main dengan Ethomission, penonton walaupun enggak tahu lagunya, tapi terkesima dengan komposisinya, dengan player-nya, misalnya kendang sama drum beradu. Mereka happy. Jadi, sebetulnya susah itu kadang-kadang kalau didengar, tapi kalau dilihat beda,” tuturnya.
Formula itu juga dia terapkan saat membuat album jazz. Ada lagu-lagu yang susah, ada lagu-lagu yang mudah. ”Tarik ulur. Enggak semua susah karena kalau terlalu berat semua, sedikit yang mau denger. Jadi di-mix aja. Pas manggungnya bisa disiasati lagi,” lanjut Tohpati.
Kini albumnya berjumlah 17 buah. Tohpati merangkumnya dalam pertunjukan malam itu. Sebagai kejutan, seusai menyuguhkan ”Gratitude”, ”Rainy Days”, dan ”Maestro” dari album terbarunya Retro Funk, lagu yang dia dedikasikan untuk mendiang Elfa Secioria dan salah satu lagu kolaborasi dengan band favoritnya, Yellowjackets, ”Change”, Tohpati mengundang dua musisi tradisional Endang Ramdan, pemain kendang, serta Dicky Suwarjiki, pemain suling dan saron.
Sama dengan musisi-musisi muda yang tampil malam itu bersama Tohpati, Endang dan Dicky adalah musisi tradisional dengan skill mumpuni. Endang sudah bermain dengan Tohpati sejak tahun 2011, salah satunya bersama Simak Dialog. Sementara Dicky, Tohpati memujinya sebagai pemain suling Sunda yang tak cuma bisa memainkan lagu ”Es Lilin”.
Keduanya tampil memukau di lagu ”Janger” yang kental dengan nuansa sakral Bali, juga ”Sekar Jagat” yang didedikasikan untuk menghormati salah satu motif batik kebanggaan Indonesia. Kedekatan dengan bebunyian tradisional, ditambah permainan alat musik yang menampilkan keterampilan tinggi, membuat penonton turut larut dalam alunan irama kendang dan suling.
Begitu juga saat di lagu ”Mahabarata” yang menghadirkan duel antara permainan kendang Endang dan drum Demas. Penonton terkesima. Terpesona. Tepuk tangan tak habis-habisnya membahana.
Tohpati dengan sadar berdiri di pinggir panggung agar perhatian penonton tertuju sepenuhnya kepada kedua musisi. Ini bisa dibaca sebagai bentuk apresiasi musisi senior kepada musisi jazz muda Tanah Air.
”Sudah saatnya mereka dikasih panggung lebih banyak lagi dengan main di konser-konser yang apresiatif. Bukan acara kolosal seperti festival jazz yang sifatnya hura-hura karena yang dilihat segi lagu aja, pemainnya enggak,” papar Tohpati.
Dia berharap, dengan semakin banyak konser atau event jazz yang bersifat apresiatif, kesadaran terhadap musik jazz akan berkembang lebih baik. ”Jadi, jangan orientasinya melulu industri, harus ada edukasi. Musik-musik yang sarat edukasi harus di-support. Jangan hanya dilihat dari kuantitas penonton, tapi mutu. Siapa tahu jazz Indonesia berkembang dan punya ciri khas tersendiri,” tutur Tohpati.
A Jazz Moment Tohpati Quintet mungkin hanya berlangsung dua jam. Saat usai, penonton berteriak meminta tambahan waktu. Semoga jejaknya tertinggal dalam dan denyut jazz semakin kencang.