Si Manis dan Hantu-hantu Modern
Lebih dari legenda urban, "Ariyah dari Jembatan Ancol" menyajikan kekritisan terhadap problem aktual. Rentenir, umpamanya bertransformasi menjadi bandit pinjol.
Cinta, dendam, dan keberanian berkelindan dalam legenda urban, Ariyah dari Jembatan Ancol yang dihelat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 27-28 Juli 2023. Tanpa musik horor berlebihan atau cekikik kuntilanak, tontonan itu mengusung problem-problem aktual.
Pertunjukan dibuka lolongan serigala bersahut-sahutan, musik tradisional Betawi, dan derik jangkrik yang mendirikan bulu kuduk. Layar terbuka, tampaklah Ariyah (Chelsea Islan) yang baru keluar dari rumah dan emaknya, Sabilah (Ririn Ekawati).
Mereka beradu mulut dengan Surya (Derry Oktami), utusan Tambas (Ario Bayu). Juragan yang licik itu meminjamkan Ariyah uang demikian besar hingga sukar dibayar. Betapa pun lintang pukangnya bekerja, ia tak pernah lepas dari jebakan utang lantaran bunga yang terus berbunga.
Saat itu, tahun 1817, lintah darat berkeliaran dengan bebas. Sabilah hendak menjual rumahnya, namun tentu bukan perkara enteng. Tambas terus menggerecoki hingga Ariyah lepas kendali dan terucap sumpahnya untuk menjadi jaminan jika utang tak juga dilunasi saat tenggat terlewati.
Sabilah kalut bukan kepalang. Karim (Gusty Pratama), kekasih Ariyah yang bijak didampingi pembantunya, Hasan (Joind Bayuwinanda), berupaya mengusir gundah dengan mengumpulkan laba penjualan kue kayu manis meski tak kunjung cukup untuk menawar ketamakan Tambas.
Pementasan itu beralur mundur maju yang tetap menganyam benang merah alur, masalah, hingga pemerannya. Melaju ke masa kiwari, Mintarjo Sasongko, umpamanya, juga diperankan Ario yang meneror Yulia (Mikha Tambayong). Mereka sama-sama memegang sertifikat lahan akibat ulah komplotan mafia tanah.
Yulia kelimpungan untuk lepas dari cengkeraman Mintarjo sebab suaminya sudah meninggal. Rumah ibu satu anak itu ternyata berhantu. Penonton bisa mengamati sosok putih di balik tirai, lukisan berputar, suara kerongkongan tergorok sesekali sayup-sayup, dan lampu byarpet.
Maka, ditilik berdasarkan perspektif paling substansial atau hiburannya, “Ariyah dari Jembatan Ancol” menyajikan kreativitas soal jumpscare yang tak hanya bisa ditayangkan layar lebar. Lewat teater, adegan-adegan mengagetkan tersebut diiringi penampakan aneka makhluk ganjil dengan ujug-ujug.
Sepotong lengan juga menyembul dari meja diselingi rintihan hantu putih (Josh Marcy) dan jenglot (Siko Setyanto) yang mencengkam visual. Sebagian spontan audiens menjerit, terutama kaum hawa, tetapi sekejap saja. Setelah itu, mereka tergelak.
Setali tiga uang dengan Tambas yang dibuntuti centeng-centengnya, Biqi (Lucky Moniaga) dan Ipeh (Sarah Tjia), demikian pula Mintarjo. Garong perlente itu dikuntit Bardi, Giwang, dan Cakil. Mereka masing-masing dilakoni Lucky, Sarah, dan Derry.
Gusty juga memainkan peran ganda dengan aktingnya sebagai Yudha, yang skeptis menyikapi racauan adiknya, Yulia, tentang setan-setan. Joind tak ketinggalan merangkapkan kerjanya dengan melakoni Barzah pada zaman modern sekaligus bertindak selaku narator.
Tak heran, “Ariyah dari Jembatan Ancol” yang berdurasi dua jam turut memanggungkan kompleksitas peranan meski plotnya tetap mudah dicerna. Lambat laun, kegandrungan Ariyah untuk berjumpa Yudha menyibak misteri yang memisahkan dengan jantung hatinya selama berabad-abad.
8.111 kasus
Lebih dari sekadar hikayat Si Manis Jembatan Ancol yang dipadu lelakon fiksi, hiburan itu mengemukakan kekritisan terhadap persoalan-persoalan faktual. Rentenir yang bercokol pada waktu silam bertransformasi menjadi bandit-bandit pinjol dengan jeratan mencekik leher.
Berdasarkan situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Februari 2023 saja, Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI) mengungkapkan jumlah platform pinjaman online atau daring ilegal yang telah ditutup mencapai 4.567 pinjol sejak tahun 2018.
Sementara, karut-marut akibat mafia tanah terefleksikan sebagian sesuai situs DPR lewat rapatnya dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Jakarta, Februari 2022. Tercatat, sengketa, konflik perkara, dan kejahatan pertanahan di Indonesia berjumlah 8.111 kasus.
Audiens pun dapat menambah sekilas wawasan sejarahnya. Dijelaskan, tragedi Ariyah berawal dari sudut jalan di Kampung Sawah, Paseban. Perlintasan itu sangat ramai sejak Batavia Lama pindah ke Weltevreden yang kini disebut Lapangan Banteng, Jakarta.
Hiruk pikuk terus bergulir hingga publik turun-temurun mengenal gadis yang dibunuh lalu dibuang di Jembatan Ancol alias Ariyah. Ia tak pernah merasa sudah tewas sehingga belum henti berkeliaran agar terpuaskan dahaganya untuk bertemu Karim.
Kengerian akan dedemit yang sangat naluriah lantas berlanjut jauh lebih dalam dengan ketakutan digentayangi hantu-hantu modern. Pinjol, mafia tanah, dan premanisme sejatinya hanya sebagian kecil keangkeran yang tak mengenal kelas sosial.
“Kecemasan-kecemasan yang ingin ditunjukkan memang lebih luas,” kata sutradara “Ariyah dari Jembatan Ancol” Joned Suryatmoko. Bertandem dengan Heliana Sinaga untuk mengarahkan pergelarannya, mereka juga hendak menggaungkan suara yang tak terdengar.
“Mafia tanah, misalnya, hanya pintu masuk, tapi jejaring kriminalitas, kan, terhubung satu sama lain. Jadi, bisa dilihat kesemrawutan yang lain,” ucap Joned. Janji saat kampanye yang tak terealisasi, korupsi, dan friksi gara-gara perbedaan pandangan politik, diyakini tak kalah menyeramkan.
“Utang dengan bunga tinggi juga. Jangan-jangan legasi masa lalu, tapi teknologi atau mediumnya saja yang bikin beda,” ujarnya. Joned merelasikan iming-iming tersebut dengan keterikatan pada konsumerisme hingga mereka yang terperangkap sulit keluar dari lingkaran setan.
Terpencar-pencar
Happy Salma yang memproduseri Ariyah dari Jembatan Ancol mengaku deg-degan merampungkan kreasinya. Kerabat kerja terpencar-pencar di berbagai kota, bahkan negara. “Saya di Bali, Joned di New York, dan banyak pemain di Jakarta. Diskusi biasanya pagi soalnya di Amerika menjelang malam,” katanya.
Jarak menjadi tantangan karena perbedaan waktu, namun mereka berdisiplin tinggi untuk menyimak pembahasan hingga tiga kali sepekan selama lima bulan. “Bisa sampai lima jam workshop. Ketangguhan stamina dibutuhkan dengan lumayan panjangnya argumentasi,” ujarnya.
Lihat juga: Pementasan Ariyah dari Jembatan Ancol
Chelsea mengutarakan kendala menuntaskan “Ariyah dari Jembatan Ancol” yang sungguh berbeda dengan film karena adegannya tak bisa diulang. “Enggak mungkin take (dimulai) satu, dua, atau tiga. Sampai akhir, ya, take satu terus,” ujarnya.
Ia bersama rekan-rekannya berlatih dialek Betawi hampir dua bulan. Mereka saling mencari informasi agar persiapannya matang. “Supaya, masuk memori. Kalau sudah mulai, dialog dan gerakan yang dilatih bisa diekspresikan dengan baik,” kata Chelsea.