Indra Lesmana bisa jadi satu dari sedikit musisi kawakan yang enggan berhenti. Berangkat dari jazz, musikalitasnya berkembang ke ranah lain. Di album studio ke-63 berjudul ”Do the Math”, Indra memainkan gaya math-rock.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Daya jelajah musikalitas Indra Lesmana (57) seakan tak berbatas. Sejak melepas album solo perdana pada 1978—betul, 45 tahun lampau—warna musiknya tak pernah benar-benar sama. ”Genetika” jazz tertanam kuat di dirinya, tetapi karyanya melampaui itu. Setelah membuat album metal progresif, kini Indra bermain-main dengan gaya math-rock di album studio ke-63 yang diberi judul Do the Math.
Acara peluncuran album yang didistribusikan oleh Demajors Records ini digelar di lantai dua sebuah kafe di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023) menjelang sore. Jakarta mulai lengang ditinggal warganya berlibur panjang. Tetapi, beberapa kawan dekat Indra, dan segelintir awak media, hadir merayakan peluncuran album baru itu.
Tampak bergerombol di bangku depan sejumlah musisi, seperti Andre Dinuth, Gerald Situmorang, Endah Widiastuti, serta pasangan anak-menantu Indra, Eva Celia-Demas Narawangsa. Terlihat pula kawan-kawan musisi lama Indra, seperti Aksan Sjuman, Gilang Ramadhan, dan Trie Utami.
Indra dikelilingi orang-orang terdekatnya. Kudapan tradisional seperti lemper, nagasari, dan tahu bakso makin mengakrabkan. Minuman kopi atau teh hangat tersaji tak putus. Kalau mau bir juga ada. Raut muka pasangan Indra dan Hon Lesmana sebagai tuan rumah berseri-seri.
Sesi acara jadi berlangsung rileks. Inti acara pada sore itu adalah mendengarkan sembilan lagu di album bernuansa merah dan biru itu. Lagu-lagu tersebut masing-masing diperdengarkan melalui pelantang, lalu diulas dengan David Tarigan sebagai moderator. Dua lagu di antaranya, yakni ”Do the Math” dan ”Galaxy Man”, dilengkapi dengan klip video. Materi video itu dibikin Indra dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI)—salah satu semangat berinovasinya.
Suasana yang cenderung rileks pada acara ini meluruhkan asumsi bahwa tetamu bakal disuguhkan musik yang rumit. Bayangkan, nama genrenya saja math-rock, yang jika dijabarkan sederhana adalah langgam rock dengan birama (time signature) berubah-ubah dalam satu lagu. Jika rock pada umumnya berketukan 4/4, math-rock bisa saja berbelok menjadi 5/4, 7/8, 9/8, atau 11/8. Gaya ini dipopulerkan, misalnya, oleh King Crimson empat dekade silam.
Indra bermain-main dengan time signature ini pada proyek sebelumnya, Indra Lesmana Project (ILP), yang memainkan corak progresif metal. ”Materi di album ini awalnya dibuat untuk album baru ILP, tapi dirasa kurang pas, terlalu terang, melodinya terlalu bright, jadi aku kesampingkan dulu. Lama-lama, materi yang tidak cocok itu makin banyak sehingga bisa dilanjutkan untuk membuat proyek baru,” tutur Indra.
Tema ringan
Proyek baru yang dimaksud adalah album Do the Math ini. Kebetulan di masa penulisan materi itu, Indra sedang mendengar beberapa album bercorak math-rock, tapi yang berorientasi pada gitar. Namanya musisi dengan kreativitas meluap-luap, Indra tak serta-merta mengadopsi gaya yang sama. ”Aku mau bikin yang keyboard-based,” lanjutnya yang mengaku sebagai pemain gitar gagal, dus berfokus pada keyboard/piano. Semua nomor nirvokal alias instrumentalia.
Pernyataan itu mewujud jelas sejak tembang pembuka ”Do the Math”. Komposisinya cenderung rumit sejak nada keyboard pertama, hitungan biramanya pun kompleks. Namun, benar adanya bahwa melodinya terang-benderang. Dampaknya, lagu ini bisa dinikmat dengan santai dan tidak membuat perasaan berkecamuk tak menentu.
Nomor kedua adalah ”Chasing Tail” dengan pola komposisi dan nuansa yang tidak berbeda jauh dengan lagu sebelumnya. Ada pola yang konstan dalam nomor ini, tapi di lain sisi terasa semangat bermain-mainnya. Tak heran, Indra menjelaskan, lagu ini terinspirasi dari kebiasaan ”anak bulunya”, Naima, yang sering berputar-putar mengejar buntutnya sendiri.
Tema ringan itu banyak dipakai Indra, mungkin untuk mengimbangi komposisi birama yang diasumsikan ”berat”. Nomor ”Galaxy Man”, ujarnya, adalah julukan sang anak, Devo, kepada dirinya karena keseringan membahas alien dan luar angkasa di meja makan. Lagu ”To Be With Her” terinspirasi dari keterikatan ”anak bulu” yang lain, Marley, yang maunya nempel terus ke Hon.
Sementara lagu ”Sequoia Tree” dan ”Northern Line” membawa kenangan Indra pada masa-masa sekolah di Sydney ketika remaja. Di nomor ”Sequoia Tree”, Indra menggunakan drum machine juga keytar sehingga menyuguhkan bunyi yang berbeda dibandingkan lagu-lagu lain.
Rock atau jazz?
Jika di lagu-lagu lain, Indra bercerita tentang hal-hal ringan di sekelilingnya, nomor ”The Broadcasters” paling berbeda. Di lagu ini, Indra menceritakan kegelisahannya pada banjir informasi di televisi dan media sosial. Kekisruhan banjir informasi ini mewujud dalam bentuk musik yang cenderung riuh dan bergolak. Pukulan drum sudah bertalu-talu sejak awal. Rasanya, lagu ini yang paling tepat mendefinisikan math-rock sesungguhnya.
Dugaan itu dibenarkan Indra. Lagu ”The Broadcasters” dan ”Do the Math” adalah dua lagu awal yang dia tulis untuk album ini. ”Benang merah album ini ada di dua lagu itu. Itu yang jadi pokok bikin lagu lain,” kata Indra.
Album Do the Math dibawakan secara trio yang menggandeng Ronal Adrian (30) pada bas elektrik dan Ray Prasetya (25) pada drum. Indra memainkan seluruh piano, organ Rhodes dan Wurlitzer, synthesizer, dan keytar. Indra juga yang menulis semua musiknya, sampai menggambar bagan memainkannya. Bagan itu dia serahkan kepada Ronal dan Ray, yang dia sebut sebagai musisi muda yang tepat mendampinginya di album ini.
Meski disebut mengusung gaya math-rock, album ini tidak sepenuhnya melenceng dari rasa jazz. Indra mengakui ada kedekatan antara math-rock dan jazz, khususnya di aspek improvisasi dan harmoni. Jadi, apakah ini album jazz atau rock?
”Buatku, musik enggak ada genre. Musik itu ibarat taman bermain, dan aku seperti bocah yang betah bermain di sana. Salah satu wahana di taman bermain itu adalah math-rock. Aku sedang bermain itu dan dapat teman bermain yang cocok,” tutur Indra yang juga moncer sebagai penulis lagu pop.
Trio ini sudah mendapat slot di ajang Synchronize Fest pada 2 September nanti. Setelah itu, Indra juga akan melanjutkan tur konser Legacydi Yogyakarta dan akan memasukkan repertoire dari album Do the Math. Dua ajang inilah yang jadi presentasi awal pelajaran matematika ala Indra di depan publik.
Album Do the Math saat ini hanya beredar dalam format cakram padat (CD), tidak dialirkan di kanal musik digital. Alasannya, pendengar musik seperti ini cenderung mementingkan kualitas keluaran suara yang mumpuni, sesuai karakter CD. David Karto dari Demajors merencanakan membuat format piringan hitamnya.
Nomor penutup ”Northern Line” berdurasi paling pendek dengan koda yang terkesan mengawang. Pendengar bisa jadi terdorong untuk memutar ulang. Sementara Indra punya ruang untuk membuat album lanjutannya. Tenang, materinya sudah ada, tinggal dimasak saja.