Aneka gerakan kompleks macam pirouette alias putaran, atau grand jeté en tournant dengan liukan yang lebih sulit, disajikan begitu paripurna dalam “The Dance of Life”.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Indonesia Dance Company menandai dinamika yang kian menyala-nyala seiring memudarnya pandemi dengan “The Dance of Life”. Pertunjukan dua babak tersebut memadukan tari klasik dan kontemporer dengan ragam musik atau kisah Nusantara hingga dunia.
Sekitar 25 anak membuka pergelaran itu dengan tari yang sudah dimafhumi penggandrung balet. Diiringi gubahan maestro Rusia, Pyotr Ilyich Tchaikovsky, mereka menampilkan “Swan Lake”. Selama hampir 10 menit, murid-murid Marlupi Dance Academy menebar pesonanya.
Bocah-bocah tersebut menari dengan kenes bermandikan gradasi hijau, biru, dan hitam. Sepasang muda-mudi menyusul dengan menyuguhkan “Flames of Paris Pas de Deux” yang diselarasi musik kreasi Boris Asafyev dan koreografi Vasily Vainonen.
Duo penampil itu, Indira Maryani dan Seow Sze Yung Keith, tak kalah anggun dengan teman-teman ciliknya. Baru selintas, penonton sudah bersorak-sorai dan bertepuk tangan dengan riuh. Michael Halim dan Resti Oktaviani lantas tancap gas dengan “Pas de Deux From Le Corsaire”.
Lakon tak kalah kondang tentu saja “Excerpts from Don Quixote” yang diangkat dari karya paling brilian sastrawan Spanyol Miguel de Cervantes. Novel yang mendunia tentang kesatria konyol, namun kisahnya mengandung kebajikan, tersebut, dipampangkan tujuh penari dengan lincah.
Berangsur-angsur, perhatian pengunjung selanjutnya beralih dengan atmosfer yang lebih masif lewat “Titik Koma”, “Rain”, “Diyanti”, “Papua Penuh Cinta”, “Argani”, dan “It’s Show Time”. Mereka yang tak akrab dengan balet pun terbetot perhatiannya lantaran musik-musik pop.
Semisal “Kala Surya Tenggelam”, gubahan Guruh Soekarnoputra, itu, menginspirasi “Diyanti” soal belenggu yang membatasi perempuan untuk mengerahkan kekuatannya. Ditingkahi lantunan yang dipopulerkan Chrisye tersebut, penari-penari belia beratraksi dibalut busana berwarna-warni.
Lain lagi dengan “Papua Penuh Cinta” yang amat rancak. Harmonisasi dengan Tanah Air diungkapkan yang bermediakan nyanyian “Yamko Rambe Yamko”. Kostum khas penduduk paling timur di Indonesia itu memantulkan cahaya kala lampu lambat laum meremang.
Tontonan tersebut dipungkasi entakan “We Are The Champion”, “Bohemian Rhapsody”, dan “I Was Born to Love You” yang dirilis band legendaris asal Inggris, Queen. Lengkingan sang vokalis, Freddie Mercury, yang berakhir disambut gemuruh aplaus penonton seraya berdiri.
Hiburan yang berlangsung di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (25/6/2023), itu, diawali balet konvensional yang pekat. Aneka gerakan kompleks macam pirouette alias putaran, atau grand jeté en tournant dengan liukan yang lebih sulit, begitu paripurna disajikan anak-anak.
Terlebih, beberapa pemain menyodorkan jete elance yang anggun bagai anak-anak panah terlepas dari busurnya. Penari yang berputar-putar dilabur tata cahaya mentereng sekilas mencuatkan ilusi optik bak membingkai pentas dan menggeser-gesernya.
Sesekali, saat musik yang diramu pianis Angelica Liviana dan pemain biola Glen Afif Ramadan melandai sendu, nuansanya berubah pilu, mewah, sekaligus megah. Lain waktu, pemain pria dengan satu tangan menjunjung rekan perempuannya yang mengangkat kakinya dalam “Excerpts from Don Quixote”.
Sejumlah aksi bakal sulit diraih tanpa pengalaman lebih dari 10 tahun. Kebolehan mereka mengingatkan pengunjung akan “Flames of Paris” yang tergolong masyhur. Fragmen pertama dengan sensasi arkais kemudian diselingi istirahat sekitar 20 menit.
Michael Halim yang berkolaborasi dengan Siti Soraya menyambung “The Dance of Life” berwahanakan relasi sepasang insan, berikut suka dukanya. Mulailah koreografer Siko Setyanto dan musisi Rifofo unjuk gigi lewat kreativitas kontemporernya.
Hiphop, pop, dan jazz menggemai panggung berkelir ungu, kelabu, dan kuning yang cerah. Pernik-pernik ikut menghujani pebalet-pebalet remaja yang dilingkupi rangkaian nada magis. Giliran merah pekat bersemburat, visualisasi yang mencuat tak lain keberanian dengan keserasian kostum balerina-balerinanya.
Aktualisasi tersebut menggamblangkan sintesis klasik dan modern yang menjembatani perspektif tamu-tamu. Mereka yang belum terbiasa menyaksikan racikan bergenre konservatif tak sulit menikmati “The Dance of Life” dengan persiapan sekitar tiga bulan.
“Awalnya, kami rutin tampil setahun sekali, tapi pandemi merebak. Pernah, diadakan satu kali, tahun 2020, tapi online (daring),” kata Claresta Alim. Pendiri dan Direktur Artistik Indonesia Dance Company itu dan kolega-koleganya lalu kembali mengetengahkan ketangkasan dengan mengasah kelenturan mereka.
“Kami enggak bisa dengan cepat mengembalikan keluwesan otot-otot yang sudah memudar. Setelah beberapa tahun, kami mulai lagi,” ucapnya. Claresta memang sengaja melirik lakon-lakon ternama dan biasa dimainkan anak-anak mengingat jeda yang cukup lama.
“Penonton pun mudah menerimanya. Kalau ‘Swan Lake’ diperagakan secara penuh, mereka mungkin sulit mengikutinya. Takutnya malah mengantuk karena terlalu panjang,” ujarnya. Ia tak menampik jika belum banyak khalayak Indonesia yang menggemari balet.
Penonton kangen
“Makanya, lagu Chrisye dan Queen dipilih karena populer dan cocok untuk diaransemen dengan koreografi kami,” kata Claresta. Urutan ekshibisi juga disesuaikan dengan variasi yang dipelajari penari. Mereka hendaknya menguasai balet terlebih dahulu, baru dikombinasikan dengan tipe modern.
“Kami memang berupaya memikat dengan magnet kepiawaian teman-teman agar mereka yang mengamatinya terus menaruh perhatian,” ucap Claretsa. Ia hendak memperkenalkan balet yang masih asing di mata masyarakat Indonesia dengan teknik-teknik menarik.
“Jadi, balans supaya publik antusias menerima balet. Banyak penonton juga sudah kangen melihat performa Indonesia Dance Company,” ujarnya. Claresta ikut memberanikan kawan-kawannya seturut konser, teater, hingga yang semakin hidup sejak tahun 2022.
“Kalau kami bawakan yang sedang tren, penonton happy (gembira). Queen dipilih karena saya juga penggemarnya,” kata Fifi Sijangga seraya tersenyum. Koreografer tersebut menilai Freddie bernyanyi dengan karakteristik yang sangat kuat, terkenal, dan banyak pengagumnya.
Demikian pula “Yamko Rambe Yamko” yang dinilai cocok dipadankan dengan tari modern. Terlebih, koreografer “The Dance of Life” Juri Irianto Nius P berasal dari Papua. “Kami berunding sampai memutuskan untuk membangkitkan Papua supaya lebih dikenal,” ucapnya.
Patron balet Indonesia Marlupi Sijangga mengungkapkan kegembiraan dengan diselenggarakannya “The Dance of Life”. Ia meyakini penari-penari Indonesia sangat mumpuni. “Saya berharap, semakin banyak penari yang diakomodir Indonesia Dance Company,” ujarnya.