Sepotong Ingatan Stien Koentjaraningrat
Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat (1923–1999), tahun ini genap menginjak usia 100 tahun dari tanggal kelahirannya 15 Juni 1923. Berikut sepotong ingatan istrinya tentang Koen.
Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat (1923–1999), tahun ini genap menginjak usia 100 tahun dari tanggal kelahirannya 15 Juni 1923 di Sleman, Yogyakarta. Ada kisah dari sepotong ingatan isterinya, Kustiani Sarwono Prawirohardjo (89), yang akrab disapa Stien Koentjaraningrat.
Salah satunya di masa revolusi kemerdekaan suaminya turut mengawal penyelamatan buku-buku koleksi Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, menggunakan kereta api ke Yogyakarta.
Stien menuturkan hal itu, ketika menjelang malam pembukaan Pameran Lukisan, Pemikiran, dan Koleksi 100 Tahun Koentjaraningrat, Kamis (8/6/2023), di Bentara Budaya Jakarta. Stien mengenakan kain kebaya gelap. Raut mukanya selalu dihiasi senyuman, ketika bertutur tentang apa yang membuat Koen, sapaan Koentjaraningrat, seorang ilmuwan yang lebih dikenal sebagai perintis antropologi itu ternyata juga piawai menggambar sketsa dan melukis.
“Setelah mengirim buku-buku koleksi museum pusat dari Jakarta ke Yogyakarta, hubungan kedua kota itu putus. Bapak tidak bisa balik ke Jakarta, lalu tinggal di Yogyakarta sampai tahun 1950,” ujar Stien, yang lahir di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 1 Agustus 1933.
Stien tidak mengingat persis kapan peristiwa penyelamatan buku-buku itu terjadi. Pada waktu itu di sebelah kanan Museum Nasional terdapat markas serdadu Jepang. Di antara mereka sering datang ke museum dan merusak koleksi buku-buku di perpustakaan.
Menurut Stien, Koen kebetulan bekerja di perpustakaan museum tersebut. ”Di perpustakaan, dia, kan kerjaannya baca buku,” ujar Stien.
Koen ditugaskan untuk mengawal pemindahan koleksi buku-buku museum itu ke Yogyakarta. Pada waktu itu, ibunya, Raden Ayu Pratitis Tirtotenoyo kebetulan berangkat pula ke Semarang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Koen dan ibunya bertemu kembali di Yogyakarta, sedangkan ayahnya, Raden Mas Ermawan Brotokoesoemo, tetap tinggal di Jakarta.
Beberapa waktu berikutnya, ayahnya meninggal di Jakarta. Karena transportasi Yogyakarta dan Jakarta diputus, Koen tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya di Jakarta.
Penyelamatan buku-buku koleksi Museum Nasional dimungkinkan terjadi sebelum ada pengumuman pemindahan Ibu Kota RI dari Jakarta ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 oleh Presiden Sukarno. Mungkin saja waktunya tidak jauh-jauh dari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, mengingat keberadaan serdadu Jepang masih menjadi ancaman.
Koen dan komunitas pelukis
Koen selamat dan tiba di Yogyakarta. Stien pun berujar, ”Kloplah… karena Bapak yang memang suka menggambar itu kemudian menemukan dan bergabung dengan komunitas pelukis di Yogyakarta.”
Stien memberi jawaban jitu. Betapa peristiwa penyelamatan buku-buku koleksi perpustakaan Museum Nasional pada waktu itu memungkinkan Koen menemukan jalan seni di Yogyakarta.
Ilham Khoiri selaku General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corpcomm, Kompas Gramedia, menyampaikan catatan tentang itu. Di Yogyakarta, Koen sempat belajar melukis dari seorang guru gambar, Huiskens, dan dari sahabatnya, RJ Katamsi, yang menjadi Direktur Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Koen sempat bergabung ke dalam Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) bersama Djajeng Asmoro, Hasan Purbo, Hariadi, dan Trubus.
”Mereka bersama-sama banyak membuat poster-poster perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia,” ujar Ilham.
Di Yogyakarta, Koen sempat mengajar pula di perguruan Taman Siswa. Saat itu Koen juga bergaul dekat dengan pelukis S Soedjojono dan Rusli.
Koen banyak menciptakan karya seni rupa. Akan tetapi, Stien tidak pernah tahu karya seni pertama yang dibuat Koen. Setahu Stien, Koen memang suka menggambar sejak kecil.
Ada jejak karya potret diri Koen yang terbilang cukup tua, berangka tahun 1947. Pada masa itu Koen berusia 24 tahun dan keberadaannya di Yogyakarta. Ini turut dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta yang berlangsung antara 9–15 Juni 2023.
Selain itu, ada pula potret diri Koen terlihat dengan garis-garis pensil hitam yang lugas. Potret dirinya terkesan hidup. Tidak ada keraguan dalam mengarsir dan menciptakan garis. Koen terlihat sudah biasa menggambar.
Di Yogyakarta, pada periode tersebut selain mengasah keahlian menggambar, Koen juga menyempatkan diri belajar menari Jawa. Selain itu, Koen belajar menabuh gamelan Jawa.
Manusia paripurna
Kurator Bentara Budaya Efix Mulyadi menyebut, Koen sebagai manusia Jawa yang paripurna. Koen seorang ilmuwan antropologi yang luar biasa, juga pelukis andal, serta menjadi penari Jawa yang tidak hanya mengetahui gerak tari, tetapi juga karakter sosok dan filosiofi yang diperankan.
”Menari bukan sekadar perkara teknik mengolah tubuh, melainkan juga memahami dan mengalami isi atau nilai-nilai di balik yang kasat mata. Lengkaplah hidup seorang Koentjaraningrat,” ujar Efix.
Efix turut mengurai jejak kepiawaian Koen di dalam menggambar dan melukis. Ketika menggambar dengan cat air, Koen piawai mengelola beloboran warna yang khas di dalam seni lukis cat air.
Ada karya-karya dengan cat air yang diberi judul, ”Sakura Blossom on the Bank of Komo” (1991), ”Kuil di Jepang”, atau ”Kuda Putih”. Koen mampu menangkap karakter dan suasananya.
Koen mampu menghidupkan pula gambar dan lukisan tentang lingkungan alam, seperti karya ”Kerbau di Sawah” (1993), ”Kolonial Belanda Berkuda dan Priayi Jawa” (1994), dan ”Burung Dara dan Kurungan Ayam” (1990).
Semua tuntas di dalam berbagai perkara bentuk, anatomi, proporsi, pewarnaan, atau meniru kesan bahan yang berperan sentral di dalam penggayaan seni realis. Termasuk karya-karya dengan tema etnografis seperti ”Anak Baduy Dalam”, ”Ibu-Anak Irian”, atau ”Anak-anak Sasak”.
Baca juga: Merawat Jejak Seabad Koentjaraningrat
Tidak hanya karya seni rupa, turut dipamerkan pula berbagai koleksi lain seperti perangko yang pernah digunakan Koen, maupun dibelinya ketika berada di berbagai negara yang disinggahinya. Kemudian juga dipamerkan berbagai piagam yang pernah diraih di bidang keilmuan antropologi.
Koleksi keris Koen juga dipamerkan. Salah satunya, sebilah keris yang pernah digunakan untuk mewakili Koen sewaktu menunaikan ijab kabul pernikahan dengan Stien, pada 13 Agustus 1955.
Pada waktu pernikahan itu, Koen sedang menempuh studi di Universitas Yale, New Haven, Connecticut, Amerika Serikat. Stien dinikahkan dengan perwakilan Koen berupa sebilah keris kesayangan Koen, meski tidak lama kemudian Stien menyusul Koen di Amerika.
Murid di SMA Koen
Stien merupakan murid Koen sewaktu mengajar di SMA 1 Jakarta periode 1952-1954. Koen mengajar di sekolah itu setelah diwisuda dari studi Antropologi di Universitas Indonesia pada 1952. Di SMA itu Koen mengajar pelajaran Sejarah Kebudayaan. Menjelang pembukaan pameran di Bentara Budaya Jakarta, Stien selalu tersenyum ketika menceritakan itu. Ia terlihat riang mengenang perjumpaannya dengan Koen.
Keesokan harinya, melalui anak sulungnya Sita Satar, Stien bertutur tentang kepindahan orang tua Koen dari Yogyakarta ke Batavia (Jakarta), meski tidak tahu kapan persisnya.
Ia bercerita pula tentang Koen yang masuk AMS (Algemeene Middelbare School) pada 1942 di Yogyakarta atau setara SMA sekarang. Akan tetapi, Koen tidak memiliki ijazah resmi. Ia hanya menerima Noodiploma atau ijazah darurat AMS.
Di masa pergerakan kemerdekaan, kemiskinan melanda banyak warga, termasuk orangtua Koen selama tinggal di Yogyakarta maupun Jakarta. Nenek (ibu Koen) pernah menceritakan kepada Sita, bahwa pada zaman perang itu mereka dalam kondisi miskin pula. Ketika berpindah ke Jakarta, neneknya membuat kue untuk dijual. Koen pada waktu sekolah juga pernah menyambi jualan kue bikinan ibunya.
Menyangkut pernikahan Stien dengan Koen yang diwakili sebilah keris, alumnus Antropologi Universitas Indonesia Mulyawan Karim, memberikan sedikit catatan. Tata cara perkawinan yang ditempuh Koen adalah contoh nyata bagaimana ”kebudayaan” yang merupakan konsep dan subjek utama dalam kajian antropologi. ”Kebudayaan” itu memainkan peran sentral sebagai peta jalan hidup dan pemandu bagi segala tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial.
Stien menerima praktik kebudayaan itu.