Petra Theatre mementaskan ”11 Questions”, drama musikal berbahasa Inggris, di Universitas Kristen Petra, Surabaya, dengan tema inklusivitas demi pengakuan dan penghormatan terhadap keberbedaan dan keberagaman.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Di kursi roda, dalam lirih, Sinta yang buta berdendang dalam bahasa Inggris. Setiap ketukan pintu, suara, kalimat, segera menggugah tanya. Siapakah dia? Bagaimana rupanya? Mau apa dariku?
”If you don’t mind, let me touch your face.... It’s the only way I see. I touch,” kata Sinta kepada Maya dalam 11 Questions, drama musikal berbahasa Inggris, di Auditorium Gedung Q Universitas Kristen Petra, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (4/3/2023) malam.
Sinta memohon agar dapat menyentuh wajah Maya. Meraba untuk merasa. Saraf-saraf di dasa jari menjadi mata-mata mikro yang kemudian mengirim sinyal kepada otak untuk membentuk rupa, sosok. Mungkin juga ada informasi tentang karakter atau nuansa seseorang itu.
Maya, mahasiswi senior, sedang membuat proyek kolaboratif tentang foto cerita. Sang dara berambisi mewujudkan proyek itu untuk kelulusan dengan gelar kehormatan. Prestisius. Maya bekerja sama dengan teman dan menggarap foto cerita tentang penyandang disabilitas. Dari proyek itulah, Maya bertemu antara lain dengan Sinta yang tunanetra.
Demi kelulusan
Dalam adegan lain, Maya datang terlambat sehingga menyinggung perasaan Juna, seorang pemuda yang mengalami duchenne muscular dystrophy (DMD). Ketelatan itu tidak bisa diterima karena menjadi bukti bahwa Maya tidak menghargai orang lain. Maya dianggap sekadar sosok yang ingin cuma menyelesaikan proyek demi kelulusan dengan kehormatan.
Maya menjadi bingung. Interaksinya dengan penyandang disabilitas membawanya ke persimpangan jalan filosofi kehidupan. Maya mulai menyadari bahwa seluruh prestasi, bahkan kesempurnaan akademik, bukan segalanya dalam hidup. Lalu apa?
Menurut penulis dan manajer produksi Jessie Monika, drama itu dibangun dari penelitian, wawancara, studi literasi, dan penulisan selama empat purnama dalam 2019.
”Kisah ini terinspirasi dari SE:RASA COLLECTIVE, proyek Bahar Adhyaksa tentang bagaimana masyarakat menanggapi disabilitas,” katanya.
Jessie menggugat apa itu normal, berbeda, eksklusif, atau inklusif.
Bagi Jessie, jawaban yang benar berasal dari pertanyaan yang tepat. Untuk itu, Maya dapat mewujudkan proyek dengan baik sekaligus ”bersahabat” jika dapat menyentuh dan merebut hati rekan-rekannya yang disabilitas.
Maya tidak bisa berdiri terpisah dalam sekat perbedaan eksklusivitas, tetapi melebur dan melabur dengan memberi penghormatan tertinggi melalui inklusivitas.
Maya adalah sebagian kita, masyarakat, yang masih berjarak, bahkan tega membangun dinding perbedaan dengan sesama yang berkebutuhan. Banyak bukan yang masih eksklusif meski mulut sering mengucap lantang inklusif?
Lha, memang sebagian masih omdo alias omong doang. Padahal, dari mulut bisa keluar segala kenajisan, yakni tipu daya, hasutan, kemarahan, fitnah, kebencian.
Untuk itu, segala tanya bukan sekadar bagi orang lain, melainkan bagi diri sendiri harus dijawab dan tuntas demi kehidupan yang lebih baik. Misalnya, ragam pertanyaan pada kotak-kotak warna-warni sebagai latar belakang pementasan drama musikal itu.
Ada tertulis: What do we need? More food? More prayers? Apa yang kita perlukan, lebih banyak makanan, pendoa? What kind of help will you give? Pertolongan apa yang akan kamu berikan?
Penasaran
Sementara Sinta, misalnya, dalam hatinya mungkin penasaran. Misalnya, they take many pictures of us with them. Ah, seperti seremoni sebagian kita saat berkunjung atau menemui sesama yang disabilitas lebih banyak memotret untuk bermegah diri di media sosial. Seperti asumsi bantuan, apalagi sentuhan yang diberikan tak lebih banyak daripada jepretan kamera.
Cobalah jawab pertanyaan ini. Tell me, how do the blind kids look at the camera? Katakanlah, bagaimana anak-anak yang tunanetra melihat ke kamera?
Mereka menyadari berbeda karena disabilitas, berkebutuhan. Namun, perbedaan itu keniscayaan. Takdir. Yang terang, ada kesamaan dalam perbedaan. I want them not to see me as a pathetic blind girl, aku ingin dilihat bukan sebagai gadis buta yang menyedihkan. If I die, I want them not to see me as pitied paraplegia, saatku mati aku ingin dilihat bukan sebagai sosok cacat yang dikasihani.
Kisah ini terinspirasi dari SE:RASA COLLECTIVE, proyek Bahar Adhyaksa tentang bagaimana masyarakat menanggapi disabilitas.
Kenapa? You’re an inspiration, kamulah inspirasi. Death is not the enemy of life, kematian bukan musuh kehidupan. Death is a part of life, kematian bagian kehidupan.
Mungkin kesadaran-kesadaran itulah yang ingin ditawarkan dari tema inklusivitas dalam drama musikal selama dua jam yang disutradarai oleh Stefany Irawan, dosen program Inggris untuk industri kreatif. Selain itu, ditunjang musik yang ciamik dari Putra Y Poela dan band Alderamin dengan tata akustik yang resik.
Pementasan oleh Petra Theatre ini juga merupakan bagian dari perayaan 100 tahun United Board, organisasi nirlaba berpusat di New York, Amerika Serikat, yang mendukung perguruan tinggi Kristen di Asia.