Christine Hakim Mendorong Pemain Film Muda Mendunia
Aktris senior Tanah Air, Christine Hakim, terlibat pembuatan serial ”The Last Of Us”, yang kini tengah menyedot perhatian penggemar film horor ”postapocalyptic”. Dia bercerita kepada ”Kompas” tentang pengalamannya itu.
Dalam dialog di salah satu adegan episode perdana serial The Last of Us (TLOU), nama Jakarta, Indonesia, mengemuka. Di perbincangan antaranggota keluarga Miller yang membahas satu pemberitaan di televisi itu, disebut-sebut Jakarta menjadi titik nol alias ground zero sebuah bencana global.
Jakarta menjadi titik awal mula terjadinya pandemi mengerikan, yang kemudian merebak secara global. Pandemi akibat wabah jamur jenis Cordyceps, yang menginfeksi banyak orang sekaligus mengubah mereka bak zombi kanibal.
Kekacauan yang ditimbulkan kemudian meruntuhkan peradaban manusia. Tak seorang pun kebal dari serangan infeksi jamur zombi. Kalaupun ada yang selamat, mereka juga menghadapi banyak ancaman mematikan lainnya.
Pada episode kilas balik dua dekade sebelumnya, digambarkan keberadaan seorang ilmuwan ahli mikologi asal Universitas Indonesia, Profesor Ratna. Dia orang yang pertama kali mengidentifikasi serangan jamur pembawa malapetaka itu.
Sang profesor pula yang memprediksi tak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah apalagi membasmi infeksi jamur tersebut. Karakter sang profesor tadi diperankan oleh aktris senior asal Indonesia, Christine Hakim.
Hal itu sekaligus menambah ”keberadaan” Indonesia dalam TLOU. Indonesia tak hanya muncul sekadar dalam dialog singkat, tetapi juga diwakili kehadiran Christine.
Kemunculan Christine dalam film berkaliber Hollywood seperti ini bukanlah yang pertama. Dia pernah terlibat dalam film komedi romantis, Eat, Pray, and Love (2010) garapan sutradara Ryan Murphy dengan pemain utama bintang besar Hollywood, Julia Roberts.
Dalam perbincangan daring dengan Kompas, Senin (6/2/2023), Christine Hakim bercerita tentang proses dirinya terlibat dalam produksi serial yang diadaptasi dari game konsol terkenal itu. Berikut perbincangannya.
Bagaimana cerita menerima tawaran bermain di TLOU?
Prosesnya memang panjang dan sangat menantang apalagi ketika tawaran datang dua tahun lalu pandemi Covid-19 masih sangat tinggi. Usia saya sudah tidak muda lagi, tambah lagi saya juga masih punya tanggung jawab merawat ibu yang sudah berusia 87 tahun dan suami yang punya komorbid.
Saat berangkat, di Kanada, tempat shooting, angka penderita (Covid-19) juga masih tinggi. Saya sempat dikarantina dua pekan juga. Beruntung semua pihak mendukung saya, baik dari keluarga, seperti suami, maupun pihak manajemen, dalam hal ini Reza Rahadian.
Selain itu, saya juga diwanti-wanti cucu dari adik saya. Kebetulan dia juga sudah lama bermain TLOU versi game konsolnya. Dia bilang, ”Mbok, pokoknya tidak boleh menolak (tawaran main film itu). Karena keren banget, lho. Bagus banget, lho, game-nya. Pokoknya (Mbok) enggak boleh menolak.”
Saya sendiri belum sempat lihat dan memainkan game-nya waktu itu. Aku ini gaptek (gagap teknologi), ha-ha-ha. Waktu cucu adikku bilang begitu juga, (saya) enggak lantas kepingin coba (mainkan game-nya) karena kondisi saat itu fokusnya lebih ke apakah saya terima tawaran dan berangkat ke sana (Kanada) atau tidak.
Saat memulai proses shooting di sana bagaimana?
Semuanya serba cepat ya. Begitu mulai (shooting) saya harus langsung bekerja dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja dan tim di sana. Tim yang baru dan mereka sama sekali tidak tahu dan belum pernah ke Indonesia. Itu salah satu tantangan yang berat selain juga harus bisa cepat memahami visi dan misi dari sang sutradara, produser, dan pencipta cerita ini.
Saya bersyukur karena semua itu kerja tim. Sutradara Neil (Druckmann) adalah orang yang sangat memperhatikan detail.
Yang membuat saya takjub juga adalah bagaimana saat pertama kali datang untuk mencoba wardrobe. Mereka bahkan sudah mempersiapkan seperti seolah kami sudah pernah bertemu, mengenal, dan bekerja sama sebelumnya. Sama sekali enggak ada (kostum) yang kebesaran atau kekecilan.
Waktu itu saya hanya membawa beberapa properti, seperti perhiasan, atau scarf batik, dan kain kecil yang saya pegang. Mereka syukurnya mau menerima. Semua itu sangat membantu saya saat berakting.
Bagaimana rasanya diarahkan langsung oleh Neil Druckmann?
Saya memang tidak punya latar belakang akademis di dunia seni peran dan dalam berakting, selama ini saya menggunakan kekuatan rasa. Bahasa tubuh saya secara organik keluar seperti apa yang saya sedang rasakan. Jadi, saya enggak terlalu pikirkan harus duduk seperti apa atau tangannya harus bagaimana.
Neil mengarahkan saya untuk detail-detail tertentu, yang pada akhirnya justru membuat adegan tersebut menjadi sangat diapresiasi. Salah satunya ketika adegan saya minta diantarkan pulang untuk berkumpul bersama keluarga. Saat itu saya hanya berbicara sambil menangis ketakutan.
Nmaun, Neil meminta lebih ada rincian tertentu. Dia mengarahkan saya agar memegang cangkir tehnya dengan sambil sedikit gemetar sehingga menunjukkan kondisi yang tengah takut.
Ternyata secara visual bahasa tubuh seperti itu sangat lah mengena. Banyak penonton dan Youtuber kemudian, terutama di Amerika Serikat dan Australia, bereaksi pada adegan gemetarnya tangan saya itu. Di sini lah saya sangat bersyukur bisa bekerja sama dengan team work di sana.
Anda pernah bermain di film dan bersama artis Hollywood. Kali ini Anda kembali terlibat. Apakah itu menunjukkan bintang film Indonesia bisa eksis di dunia?
Ada banyak artis muda berbakat yang menurut saya juga sangat bisa eksis di perfilman global. Mereka, seperti Reza Rahadian, ada Marsha Thimoty, atau Asmara Abigail. Mereka jauh lebih muda dari saya. Mereka juga punya peluang.
Sempat terpikirkan oleh saya, aduh, dari muda saya tidak pernah bercita-cita atau bermimpi bisa main di film Hollywood karena saya tahu lahir dan besar di Indonesia. Saya selalu bertanya-tanya, why me? Karena ada banyak artis Indonesia juga sangat potensial sekali.
Namun, saya memang percaya selalu ada pembelajaran dari setiap langkah yang saya jalani dalam kehidupan ini. Saya juga berharap bisa jadi batu loncatan bagi para artis muda untuk juga bisa (menembus Hollywood).
Menurut Anda, apa pesan dari film ini?
Saya sempat diundang Neil dan Craig Mazin, keduanya juga memproduseri dan menulis naskahnya. Waktu itu ke kediaman Neil di Los Angeles, Amerika Serikat. Mereka menggelar nonton bareng episode kedua itu khusus untuk saya.
Saat di situ saya langsung bertanya ke Neil, apakah (plot cerita) film ini sebagai metafora?
Saya tanya apakah yang ingin dia ceritakan adalah bagaimana perilaku manusia bisa terpengaruh saat otak atau pikiran manusia tercemar, baik (terinfeksi) berbagai virus, bakteri, penyakit, atau juga paham-paham tertentu.
Baca juga: Zombi Jamur Pemicu Kiamat asal Jakarta
Padahal, otak adalah pusat kontrol luar biasa pada diri manusia. Jika otak atau pikiran kita rusak, kontrol terhadap perilaku juga akan terpengaruh. Hal itulah yang menjadikan perilaku kita seperti zombi.
Saat saya bilang begitu, mereka (Neil dan Craig) lalu saling lihat-lihatan dan Neil bilang, ”Oh, she got it (dia mengerti).” Ha-ha-ha.
Saya berharap juga penonton The Last Of Us bisa menangkap ini juga. Ada banyak pembelajaran dari film seperti ini. Jadi, jangan cuma melihat film macam begini sekadar film yang creepy.