Matilda, Melawan Sistem Pengasuhan Beracun
Ada dua aturan yang wajib dituruti. Pertama, orangtua selalu benar. Kedua, jika orangtua salah, maka aturan pertamalah yang dipakai. Norma yang mengakar di tiap sendi kehidupan. Senior sang maha benar. Benarkah demikian?
Matilda Wormwood (Alisha Weir) dalam film Matilda The Musical yang rilis di seluruh dunia pada Desember 2022 lewat jaringan Netflix mematahkan aturan ini. Gadis cilik dengan kemampuan telekinesis bersama teman-temannya di sekolah Crunchem Hall membuktikan yang kecil mampu menggulingkan yang besar. Terlebih mereka yang kecil ini sudah bosan ditindas dan dirundung.
Serupa dengan film Matilda (1996) yang disutradarai Danny DeVito, kisah gadis cilik pencinta buku nan pemberani ini berangkat dari buku anak-anak berjudul sama karangan Roald Dahl. Penulis asal Inggris ini memang akrab dengan cerita anak meski ia juga menulis novel dewasa. Selain Matilda, cerita anak milik Dahl yang diadaptasi ke layar lebar adalah Charlie and The Chocolate Factory (2005), James and The Giant Peach (1996), Fantastic Mr. Fox (2009) dan The BFG yang dibuat dua versi, yakni animasi pada 1990 dan live action pada 2016.
Bagi yang pernah membaca karya Dahl dan mencermatinya, terdapat pola nyaris serupa, yakni anak-anak yang tertindas dan dirundung oleh orang yang lebih besar atau lebih tua darinya. Di Matilda, wujud penindasan dan perundungan ini diperlihatkan melalui karakter guru bernama Ms Trunchbull yang di versi musikal terbaru ini diperankan aktris kawakan Emma Thompson dan kedua orangtua Matilda.
Kisah James dan buah persik raksasa, dua tante James digambarkan begitu kejam terhadap James yang yatim piatu sejak usia empat tahun. Plot tentang perundungan yang kadang terselubung ini juga muncul dalam Fantastic Mr. Fox dan The BFG dengan anak-anak yang menjadi pahlawannya.
Dalam film, cerita yang muram bagi anak-anak ini dipoles dengan latar warna-warni dan visual yang indah. Kisah perjuangan si anak pun hanya sebatas protagonis melawan antagonis, seperti yang ditunjukkan pada film Matilda pada era 1990-an.
Pada masa itu, berderet juga sejumlah film yang memiliki semangat seperti Matilda, yaitu anak-anak yang mampu melawan orang dewasa yang tidak berkelakuan baik. Sebut saja It Takes Two (1995), The Parent Trap (1998), bahkan Home Alone (1990) hingga film lawas The Goonies (1985). Saat itu, rasanya hanya perasaan seru, tegang, dan girang karena menang ketika menonton film-film tersebut.
Namun, Matilda The Musical memberikan sensasi berbeda. Selain keberagaman yang ditunjukkan lewat pemilihan pemain sejak dipentaskan pada 2012 di panggung teater oleh Royal Shakespeare Company, versi yang disutradarai Matthew Warchus ke layar lebar pada akhir 2022 ini juga membuka mata tentang lingkaran setan perundungan yang kadang bersembunyi melalui tangan-tangan yang tak disangka, seperti guru dan orangtua. Pengasuhan yang toksik.
Akibatnya, trauma perundungan berkepanjangan yang berpotensi melahirkan generasi pengasuhan toksik berikutnya. Matilda dan anak-anak yang piawai menyanyikan tiap lagu besutan Tim Minchin dalam versi ini berupaya memutus lingkaran setan dengan cara mereka. Bergerak bersama.
Pintu empati
Meski puas ketika melihat anak-anak ini bergembira menyanyikan lagu ”Revolting Children” seusai mengusir Trunchbull yang tunggang-langgang keluar dari Crunchem Hall, tersisa tanya. Kenapa Trunchbull begitu membenci anak-anak hingga tega menghukum mereka masuk ke ruang sempit bernama ’Chokey’? Kenapa ia begitu keras ingin menjadi pemenang dan tidak bisa menerima kata ’tidak’ dari orang lain?
Walau tak dijelaskan secara gamblang, Trunchbull tampaknya juga korban perundungan dan pengasuhan toksik. Ia hanya digambarkan sebagai seorang kakak tiri yang iri dengan adik tirinya. Belakangan, ia merundung dan menindas anak adik tirinya, yaitu Ms Honey (Lashana Lynch), yang kelak juga mengajar di sekolah yang dipimpin Trunchbull.
Di versi musikal ini pun diperlihatkan sisi lain Trunchbull yang menguatkan adanya trauma dan perasaan terkekang. Ketika lagu ”The Smell of Rebellion” bergema bersama anak-anak yang tergopoh-gopoh berkubang lumpur menaklukkan rintangan ala militer, ada satu momen saat Trunchbull memasuki alam imajinasinya.
Meski sejenak, sisi rapuhnya tersingkap. Rambut yang biasa digelung ketat ke atas berubah terurai. Padahal, dalam adegan lain, Trunchbull tega menyiksa seorang murid yang berambut indah dan berkuncir dua karena ia mengaku terganggu dengan rambut dikuncir dua.
Dengan rambut yang dibiarkan tergerai dan berbusana gaun longgar, ia menaiki ayunan sambil bernyanyi bahagia. Wajahnya yang selalu galak juga menjadi bersinar. Seperti ada beban yang terangkat mengingat imajinasi sebelumnya adalah dirinya ketika pertandingan olahraga tolak peluru dengan ambisi harus menjadi pemenang.
Sikapnya tentang disiplin terhadap anak-anak, hingga sengaja memasang plakat besar di patung dirinya bertuliskan no snivelling dan memiliki mars sekolah berjudul ”Bambinatum est Maggitum”, jelas ada sebabnya. Hukuman tak masuk akal kepada anak-anak, termasuk kepada Ms Honey ketika masih kecil, bisa jadi merupakan akumulasi trauma masa kecilnya sehingga memperlakukan orang lain serupa dengan dirinya dulu. Anak-anak tidak bisa diperlakukan dengan lemah lembut karena akan menjadi anak manja.
Di sisi lain, Weir yang momen audisinya disebut Warchus sebagai audisi yang tak terlupakan karena langsung mencuri perhatian sukses menghadirkan nuansa berbeda. Sosok Matilda di tangan Weir bukan lagi Matilda menggemaskan dengan pita merah yang menari-nari sambil memindahkan barang dengan telekinesisnya. Emosi marah, sedih, dan perasaan terbuang karena tidak pernah dianggap oleh orangtuanya tergambar jelas dalam versi ini.
Akan tetapi, keisengan Matilda yang jenius dengan wajah lucunya juga berhasil ditampilkan, apalagi ketika menyanyikan ”Naughty” yang berkisah jangan mau kalah walau kecil dan sesekali butuh bertindak nakal untuk melawan yang salah. Keberanian dengan kelantangannya menolak perintah Trunchbull yang memicu keberanian teman-teman lainnya juga diperlihatkan lewat sorot mata biru Weir yang tajam. Sisi lembut seorang anak yang butuh kasih sayang hingga akhirnya menjadi obat trauma bagi Ms Honey juga berhasil dieksekusinya.
Dalam wawancaranya di The Broadway Show, Weir mengaku terbawa suasana. Salah satunya ketika orangtuanya seperti tak menganggapnya ada dan ia selalu berpura-pura orangtuanya sangat menyayanginya dan menantikannya pulang. ”Ada banyak emosi berbeda yang harus ditunjukkan di sini. Semakin aku mendalami tentang karakter Matilda, aku juga ikut terbawa. Sedih tidak dianggap hingga kedamaian dan tenang saat adegan naik balon udara,” ujarnya.
Relevansi masa kini
Persoalan yang dipaparkan Dahl lewat Matilda yang diterbitkannya pada 1988 ini juga masih menjadi problem kekinian. Pengasuhan toksik dan perundungan terselubung, misalnya. Meski ilmu pengasuhan dengan disiplin positif mudah didapat, nyatanya tak gampang diterapkan. Apa yang dialami dan diajarkan saat kecil justru itu yang terpatri dan tanpa sadar diterapkan.
Misal, kerap dijumpai di media sosial saat ini, orang-orang yang pernah mengalami pengasuhan dan pendidikan dengan kekerasan justru sibuk berbangga dan menganggap generasi saat ini manja. Padahal, apa enaknya dilempar penghapus oleh guru ketika tak sengaja tertidur di kelas? Atau apa bagusnya dikurung di kamar mandi hanya karena tak sengaja menumpahkan minuman saat menonton televisi? Apa baiknya juga dibanding-bandingkan dengan anak lain? Dalihnya memotivasi, padahal kata-kata yang keluar justru menjatuhkan semangat.
Anak-anak memiliki mimpi sesuai kehendaknya. Lagu ”When I Grow Up" menggambarkan sederhananya mimpi mereka. Sesederhana perhatian dan kasih sayang dalam membimbing mereka, bukan mementahkan mimpi hanya karena tak sesuai ambisi si orangtua.
Kelindan permasalahan pengasuhan dan perundungan ini juga menjelma menjadi gengsi generasi dalam tataran umum. Tidak terbatas pada lingkungan keluarga atau pendidikan, gengsi generasi ini juga masuk dalam lingkup pekerjaan. Milenial akhir dan generasi Z kerap kali dilabeli manja, gampang kena mental, hingga tak punya tata krama hanya karena berani bersuara.
Perundungan tanpa sadar pun terjadi lewat tumpukan kerjaan yang menggunung dengan tingkat kesulitan tak masuk akal, waktu yang tak manusiawi karena kesempatan rehat minim, hingga omelan dan ancaman saat melakukan kesalahan minor yang dianggap wajar oleh para senior. Hal ini kerap berbumbu ucapan tentang perbandingan pengalaman masa lalu senior yang lebih keras dengan kondisi sekarang. Terasa lumrah, tetapi bikin gerah.
Merujuk kepada Matilda, semestinya bisa menjadi pelajaran bahwa tiap generasi memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan perkembangan zamannya. Jika sekadar bercerita bahwa dulu mencari informasi tak semudah saat ini karena belum ada internet, masih wajar. Akan tetapi, jika cerita itu dijadikan senjata untuk mencari kesalahan, jelas tidak bijak. Sebab, tiap generasi juga punya tantangannya masing-masing.
Alih-alih merasa menjadi generasi yang lebih baik dibandingkan yang saat ini, bukankah sebaiknya saling membuka diri untuk mengerti dan saling menyesuaikan diri? Generasi saat ini juga perlu bimbingan, tetapi keras bukan lagi caranya.
Kini, mulai banyak juga yang mencoba berbenah dengan memilah ilmu pengasuhan mana yang baik untuk diteruskan dan menghentikan yang tidak. Rasanya ini patut terus digaungkan demi memutus rantai perundungan dengan dampak trauma yang masif. Sebab, upaya menghapus perundungan dan memupus pengasuhan toksik ini perlu dilakukan bersama, seperti lagu penutup dalam drama musikal ini yang berjudul ”Still Holding My Hand”.
Dari Matilda, bisa dilihat anak-anak mau mendengar apabila dirangkul. Namun, anak-anak, meski kecil, juga bisa menjungkirbalikkan dunia ketika ia terus ditekan dan berujung memberontak. Kata Matilda dan kawan-kawannya, ”We are revolting children living in revolting times.” Jadi, hati-hati!