Kegagalan Otto bunuh diri adalah semacam metafora bahwa orang-orang yang mempunyai kecenderungan bunuh diri sesungguhnya bisa ditolong hanya dengan menyapa dan menerimanya.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Kehilangan pekerjaan bukan sekadar kehilangan penghasilan dan jabatan. Itu juga bermakna kehilangan martabat dan harga diri. Oleh karena itu, banyak orang mengalami kekosongan setelah diputus hubungan kerja atau saat pensiun.
Bagaimana orang-orang mengisi kekosongan tersebut? Tema inilah yang, antara lain, menjadi kunci cerita sekaligus drama dalam film A Man Called Otto yang dibintangi pemeran watak Tom Hanks. Dalam film ini, Tom mencoba melucu lagi.
Otto Anderson adalah seorang pria berusia 59 tahun yang dipaksa pensiun, kemudian menemukan dirinya kesepian. Istrinya, Sonya, telah meninggal enam bulan sebelumnya karena kanker. Mereka tidak sempat mempunyai anak lantaran saat Sonya hamil, mengalami kecelakaan lalu lintas. Otto kesulitan melanjutkan hidup tanpa Sonya. Itu satu sisi hidup Otto.
Sisi lainnya, dia pemberang dan cenderung menunjukkan karakter seseorang dengan obsessive compulsive disorder (OCD) meski masih dalam level rendah. Dalam film ini, Otto ditampilkan sebagai sosok yang menganggap semua orang tidak becus lantaran tidak tertib aturan, semisal buang sampah tidak sesuai tempatnya, parkir sembarangan, dan mengendarai mobil melawan arah.
Dalam film ini, sisi lain itu menjadi semacam bumbu komedi yang kadang menarik kadang terasa dipaksakan. Meski demikian, perlu diakui dalam beberapa adegan cukup menghibur. Komedi-komedi tadi sekalian menutupi beberapa kekurangan film dan akting Tom yang tidak secemerlang dalam film-film sebelumnya, seperti Forest Gump (1994) atau Cast Away (2000) yang mendapat banyak penghargaan dan pujian. Tom ini sudah kadung jadi idola banyak orang dan dikenal sebagai aktor manis yang selalu keren dalam banyak filmnya. Sayangnya, dalam A Man Called Otto, penampilan Tom termasuk tidak istimewa. Beberapa review film ini menunjukkan nada yang sama. Mungkin karena ekspektasi penonton berlebihan.
Nah, soal kesepian hidup Otto tersebut bisa menjadi bahasan menarik tentang kehidupan orang-orang yang memasuki masa pensiun dan kemudian terputus dengan relasi orang-orang kantor. Bisa jadi mereka itu yang selama ini menghangatkan kehidupan sehingga seseorang tidak kesepian. Begitu pensiun, mereka sudah sulit dijangkau. Seorang yang memasuki dunia pensiun dipaksa untuk mendefinisi ulang dirinya. Dia mempertanyakan eksistensi dan orientasi hidupnya. Mereka yang gagal mendefinisiakan ulang dirinya ini kerap diliputi kekalutan, bahkan depresi yang berkepanjangan.
Otto termasuk yang gagal mendefinisikan ulang dirinya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi sehingga muncul kesimpulan, untuk apa hidup? Bukankah lebih baik menyusul Sonya?
Untuk itulah, Otto mencoba bunuh diri. Sekali gagal. Dua kali gagal. Tiga kali gagal lagi. Percobaan bunuh diri ini bukan hanya menunjukkan kegagalan Otto, melainkan juga kegagalan film membangun keutuhan karakter Otto. Otto ini perfeksionis, penuh perhitungan, dan memperhatikan detail. Karakter itu tercederai karena kecerobohannya dalam menata alat atau instrumen serta momen untuk bunuh diri. Jika gagal sekali, mungkin penonton masih maklum. Ini tiga kali gagal. Tampaknya penulis skenario David Magee dan sutradara Marc Forster kesulitan menampilkan keutuhan Otto tersebut.
Bisa jadi karena jika Otto ditampilkan sebagai sosok yang sepenuhnya perfeksionis, maka cerita cepat rampung. Pertanyaannya, mengapa karakter Otto tidak dibangun lebih longgar? Misalnya, dengan manampilkannya melakukan beberapa kecerobohan sehingga tampak lebih manusiawi dan menjadi masuk akal jika gagal bunuh diri.
Meskipun dalam perspektif lain, bisa juga ditafsirkan bahwa kegagalan Otto bunuh diri adalah semacam metafora bahwa orang-orang yang mempunyai kecenderungan bunuh diri sesungguhnya bisa ditolong hanya dengan menyapa dan menerimanya. Otto yang kesepian itu mendapat tetangga baru, Marisol (Mariana Treviño) ,yang tengah hamil anak ketiga. Dia pindah bersama suaminya yang agak tulalit tetapi penyayang, Tommy (Manuel Garcia-Rulfo). Tentu saja bersama dua anak mereka.
Interaksi Otto dengan keluarga Marisol yang disertai peristiwa-peristiwa konyol pelan-pelan membangun kehangatan hidup Otto. Dia merasa tidak sendiri lagi dan dengan begitu hidupnya lebih berarti.
Bangunan cerita dalam film ini bagus untuk kampanye antibunuh diri. Dengan kata lain, film ini juga cocok bagi siapa saja untuk membantu mendeteksi jangan-jangan ada teman dekat, tetangga, saudara, atau kenalan yang mempunyai kecenderungan bunuh diri dan untuk itu perlu segera dibantu. Salah satu cara yang efektif adalah dengan ”menyapanya”, mengajaknya bergaul dan terlibat dalam aktivitas sosial.
Film A Man Called Otto merupakan ulangan dari A Man Called Ove yang merupakan adaptasi dari novel laris karya Fredrik Backman dengan judul yang sama. Novel yang aslinya berbahasa Swedia itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan menjadi salah satu novel best seller New York Times. Tahun 2015, novel diadaptasi menjadi film dan dibintangi Rolf Lassgård.
Sutradara Marc Forster memilih Tom Hanks sebagai aktor utama karena baginya dia brilian sekaligus ikon. Tom dia nilai bukan aktor biasa lantaran setiap peran yang dimainkan penonton selalu percaya bahwa karekter tersebut menyatu dalam diri Tom. Genre drama komedi juga dia anggap cocok untuk Tom. Penilaian Marc tidak sepenuhnya meleset. Film ini tetap bisa dinikmati meski mendapat banyak kritik.
A Man Called Otto rilisan Columbia Pitures ini mulai tayang pada 25 Desember di Amerika, 1 Januari di Australia, dan pada 6 Januari di Inggris. Di Tanah Air, A Man Called Otto bisa ditonton mulai pekan ini. Oleh karena mengandung adegan bunuh diri, pihak bioskop menyarankan agar penonton mempertimbangkan sebelum ke gedung bioskop. Katanya, film ini dapat memicu kondisi kesehatan mental. Semoga penonton baik-baik saja karena film ini banyak lucunya, kok.