Avatar ”Lahir” dari Bajo
Seperti kondisi suku Bajo di Torosiaje, film ”Avatar: The Way of Water” juga mengisahkan dinamika sosial masyarakat yang bergantung pada laut. Banyak kemiripan antara suku Bajo Torosiaje dan film tersebut.
Film Avatar: The Way of Water yang dirilis bulan lalu sempat memantik kebanggaan publik di Tanah Air. Perbincangan itu muncul setelah sutradara James Cameron menyatakan bahwa inspirasi film tersebut berasal dari orang laut di Indonesia yang tak lain adalah suku Bajo.
”Terdapat orang laut di Indonesia yang tinggal di rumah panggung dan hidup di atas rakit. Dan, kami melihat beberapa desa dengan jalur air,” ungkap Cameron dalam petikan wawancara dengan National Geographic yang tersiar di akun Instagram Kemenparekraf.ri akhir Desember 2022 lalu.
Dalam unggahan itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga menuliskan, ”Makin bangga dengan budaya Indonesia. Makin yakin ada banyak lagi hal unik #DiIndonesiaAja.” Ribuan komentar warganet pun meramaikan unggahan tersebut dengan pernyataan bangga.
Baca juga:Petualangan Dunia Air Avatar
Film ini masih kelanjutan dari kisah karakter Jake Sully dan pasangannya, Neytiri dari bangsa Na'vi. Ia bersama klannya, Omatikaya yang tadinya menghuni hutan, tengah mencari perlindungan dari serangan bangsa Langit atau manusia. Mereka pun mengungsi ke klan Metkayina.
Metkayina menghuni daerah pantai dan hidup berdampingan dengan makhluk laut. Klan inilah dianggap memiliki kemiripan dengan suku Bajo yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, bahkan hingga ke Filipina dan Malaysia. Salah satunya tinggal di Gorontalo.
Pada Agustus 2022 lalu, Kompas mengunjungi suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, berjarak sekitar 250 kilometer dari pusat Kota Gorontalo. Beberapa aspek kehidupan warga Bajo di sana pun punya kesamaan dengan klan Metkayina di film sekuel Avatar.
Seperti suku Bajo lainnya, permukiman warga Torosiaje berada di atas permukaan laut. Perahunya di bawah rumah. Seluruh rumah warga berdinding kayu. Torosiaje dihuni 437 keluarga atau 1.489 jiwa. Mereka mendiami 347 rumah yang berjejer di atas air dan membentuk huruf U.
Perkampungan itu membentang sekitar 3 kilometer. Suku Bajo diperkirakan mendiami Torosiaje sejak 1901 atau 121 tahun silam. Awalnya, mereka hidup di atas perahu sebelum mendirikan rumah. Mereka memilih daerah di Teluk Tomini itu karena dilindungi pulau sehingga aman dari badai.
Dalam film, klan Metkayina juga berdiam di pesisir dan di atas permukaan laut. Rumah mereka bergantung di atas akar-akar pohon. Hunian mereka juga berasal dari vegetasi di sekitar pesisir. Lokasi itu juga memudahkan pergerakan klan Metkayina, seperti warga suku Bajo yang hidup dari laut.
Seperti Metkayina yang menerima Jake, warga suku Bajo Torosiaje juga ramah. Setidaknya 13 suku berbaur di sana, dari Bugis, Makassar, hingga Jawa. ”Bagaimanapun, sikap orang Bajo disebut Sama Bajo atau kerja sama-sama,” ucap Husain Onte, tokoh masyarakat setempat.
Dalam film, penampilan fisik klan Metkayina berbeda dengan yang lainnya. Warna biru kulit mereka lebih muda, serupa warna air laut. Beberapa bagian tubuh mereka, seperti jari-jari, lengan, dan juga ekor pun telah berevolusi menyerupai sirip. Kondisi ini memudahkan mereka berenang.
Secara kasatmata, warga suku Bajo Torosiaje tidak jauh berbeda dengan orang Indonesia lainnya. Namun, pengunjung akan mendengar kisah unik Sengkang. Meski telah meninggal dunia pada 2000-an, legenda Torosiaje itu dikenal punya tubuh yang berlumut dan bersisik, beda dengan lainnya.
Baca juga: Genetik Buktikan Kemampuan Selam Suku Bajau
Sejak kecil, Sengkang memang lebih banyak hidup di dalam air. Ia menolak mengenakan baju. Ketika naik ke rumah warga, ia hanya mencari makan. Kemampuannya menahan napas di dalam air pun tidak diragukan. Untuk mengenang Sengkang, warga menggambar siluetnya di dinding kafe.
Secara umum, orang Bajo mampu menyelam hingga kedalaman 70 meter selama 13 menit tanpa alat bantu pernapasan apapun. Mereka hanya berbekal pemberat dan kacamata selam kayu sederhana. Kemampuan menyelam itu juga untuk menangkap ikan, gurita, dan lainnya.
Studi Pusat GeoGenetika Universitas Kopenhagen, Denmark, terhadap suku Bajo di Desa Jaya Bakti, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, (provinsi tetangga Gorontalo) menemukan, limpa penyelam suku Bajo lebih besar dibandingkan suku lainnya (Kompas.id, 23/4/2018).
Limpa adalah organ seperti kelenjar yang terletak di perut kiri bagian atas. Organ ini berfungsi sebagai reservoir darah, memproduksi limfosit (salah satu jenis sel darah putih) dan sel plasma. Limpa akan melepaskan lebih banyak oksigen dalam darah saat orang menahan napas.
Makhluk laut
Dalam film Avatar, klan Metkayina sangat erat dengan makhluk laut, termasuk hewan mirip paus raksasa bernama Tuluk atau Tulkun. Bahkan suku Metkayina dan Tuluk memiliki ikatan spritual seperti saudara. Mereka dapat berkomunikasi lewat bunyi-bunyian dan nyanyian serta isyarat.
Namun, tuluk menjadi sasaran perburuan bangsa Langit karena cairan dalam otaknya yang sangat mahal. Jake bersama klan Metkayina juga melindungi laut dari keserakahan bangsa Langit yang ingin menguasai sumber daya alam. Meskipun, pada akhirnya terjadi pertempuran di laut.
Serupa dengan film Avatar, suku Bajo Torosiaje juga melindungi biota laut, seperti gurita. Warga, misalnya, pantang merusak terumbu karang, rumah gurita untuk bertelur. Gurita tidak hanya menjadi sumber ekonomi warga, tetapi juga bahan pengobatan sejak dulu jika warga sakit.
Fadhliyah H Dai dan Ramoend Manahung dalam tulisannya di Jurnal Pendidikan Islam dan Budi Pekerti (Februari 2020) menemukan, masyarakat Bajo percaya ari-ari saat melahirkan akan berubah menjadi kuta (gurita) bagi laki-laki. Adapun ari-ari perempuan menjadi tuli (buaya).
”
”
Kini, Pemdes Torosiaje telah menerbitkan Perturan Desa terkait pengelolaan gurita. Perdes itu, antara lain, membatasi penangkapan gurita pada sejumlah titik. Penjualan gurita juga hanya boleh di atas 300 gram. Semuanya demi menjaga keberlangsungan gurita.
Peran perempuan
Film Avatar juga menonjolkan peran perempuan. Misalnya, ada Neytiri yang berburu meski sedang hamil. Ada juga sosok Ronal, perempuan lainnya, yang ikut bertarung melawan bangsa Langit. Karakter itu seakan mendobrak sisi perempuan yang hanya berkutat pada rumah dan anak.
Serupa Avatar, perempuan di Torosiaje juga berperan lebih. Pemandangan ibu-ibu melaut seorang diri di atas perahu hingga mencari teripang di malam hari sudah lazim. Belakangan, perempuan di sana perlahan mengakses pendidikan tinggi meski masih tertatih karena masalah biaya dan budaya.
Salah satunya, Indriani Usman (25). Sebelum meraih status sarjana Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, 2020, ia berjualan baju sambil kuliah. Penelitian Universitas Negeri Gorontalo, hingga 2020, hanya 29 warga tamatan D-3, S-1, dan S-2. Sebanyak 16 orang di antaranya perempuan.
Dalam film Avatar, bangsa Na’vi menghadapi aktivitas bangsa Langit dari luar kehidupan mereka. Klan Metkayina yang merupakan penduduk asli pun terganggu dengan kedatangan manusia. Dengan teknologinya, bangsa Langit merasa bisa sewenang-wenang terhadap warga asli.
Di Torosiaje, paradigma pembangunan oleh pemerintah masih menyamakan suku Bajo yang tinggal di laut dengan warga lainnya di daratan. Kepala Desa Torosiaje Uten Sairullah, misalnya, mengkritik pemerintah yang pernah meminta warga membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Padahal, mereka tinggal di laut dan belum memiliki sertifikat hak guna bangunan. Pemerintah juga pernah mewacanakan membuat jalan darat langsung ke Torosiaje. Padahal, selama ini, warga mengandalkan perahu untuk menyeberang ke permukiman. Bahkan, itu jadi mata pencarian warga.
Rasid Yunus, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gorontalo yang meneliti Torosiaje, mengatakan, pada 1990-an, pemerintah pernah mendorong warga tinggal di darat. Rumah dan alat pertanian disiapkan. Namun, sebagian besar tak bertahan dan kembali ke laut.
”Kalau seperti ini, identitas suku Bajo bisa hilang. Jangan sampai desa dianggap maju kalau ada budaya darat,” katanya. Seperti kondisi suku Bajo di Torosiaje, film Avatar: The Way of Water juga mengisahkan dinamika sosial masyarakat yang bergantung pada laut.