Drama Perempuan dalam Drama Korea
Representasi dan eksistensi kaum hawa di depan serta belakang layar drama Korea Selatan saling memengaruhi. Dalam perjalanannya, pengakuan terhadap perempuan di drakor semakin beragam.
Panjang ceritanya jika berbicara tentang representasi perempuan dalam industri drama Korea Selatan. Rupanya, eksistensi kaum hawa di depan dan belakang layar saling memengaruhi. Pada akhirnya, pengakuan terhadap perempuan semakin beragam.
Pada masanya, penonton drama Korea Selatan larut dalam kisah melankolis seperti tetralogi drama empat musim, yakni Autumn in My Heart (2000), Winter Sonata (2002), Summer Scent (2003), dan Spring Waltz (2006). Drama-drama menyayat hati tersebut merupakan pembuka jalan dari gelombang drakor di Asia.
Kisah dalam drama-drama tersebut ditulis oleh perempuan, seperti Oh Soo-yeon untuk Autumn in My Heart serta Yoon Eun-kyung dan kawan-kawan untuk Winter Sonata. Akan tetapi, ada kecenderungan sama yang tergambar pada para tokoh utama perempuan.
Meskipun selalu menghadapi tantangan tanpa henti, mereka tetap menunjukkan kebaikan dan kesabaran yang luar biasa. Ada juga unsur kepasrahan dalam menjalani hidup. Karakter Choi Eun-suh dalam Autumn in My Heart, misalnya, selalu memendam kesedihan walaupun ditinggal keluarga yang mengasuhnya sejak kecil dan divonis menderita kanker.
“Para pemeran utama perempuan tersebut begitu baik sehingga orang di dunia nyata tidak akan pernah bisa mencapai tingkat pemahaman, kebaikan, dan kesabaran yang sempurna itu,” demikian pernyataan pengelola situs ulasan drakor, The Fangirl Verdict, melalui surel kepada Vogue India, dikutip di Jakarta, Rabu (7/12/2022).
Menurut The Fangirl Verdict, situs dengan delapan juta pembaca ini, penggambaran karakter perempuan tersebut muncul karena secara tradisional, Korea merupakan masyarakat patriarki. Keyakinan bahwa sifat tersebut harus dimiliki oleh perempuan diyakini oleh baik laki-laki maupun perempuan.
Seiring waktu berlalu, atmosfer drakor mulai ceria. Genre komedi romantis mendominasi. Muncullah kisah-kisah lainnya yang ditulis perempuan, seperti Princess Hours (2006), Boys Over Flowers (2009), The Heirs (2013), dan Guardian: The Lonely and Great God (2016).
Drama-drama tersebut adalah segelintir contoh populer atas cerita romantisme klasik ala Cinderella yang ramai membanjiri drakor. Si karakter utama perempuan bergantung secara emosional, finansial, dan aspek lainnya kepada karakter utama laki-laki. Sudah biasa bila tokoh utama perempuan diselamatkan tokoh utama laki-laki di saat genting.
Kecenderungan tersebut menunjukkan adanya kompleks Cinderella dalam drakor. Colette Dowling dalam buku The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence (1981), menjelaskan, kompleks ini merujuk pada keinginan terpendam perempuan untuk dirawat orang lain yang menghalangi mereka menggunakan pemikiran dan kreativitas secara maksimal.
Layaknya Cinderella, mereka menunggu unsur eksternal untuk mentransformasi hidup mereka. Serial drama Guardian: The Lonely and Great God atau Goblin, umpamanya, menceritakan, karakter Ji Eun-tak yang pasrah hidup menderita disiksa keluarga setelah menjadi yatim piatu. Kehidupannya berubah setelah kedatangan Kim Shin, seorang goblin.
Perubahan pandangan
Waktu berlalu, penulis naskah perempuan dalam drakor mulai meninggalkan formula kisah Cinderella. Tokoh-tokoh perempuan sebagai pemeran utama yang mandiri dan tangguh jadi sering berseliweran di depan layar, sedangkan fokus pada pemeran utama laki-laki mulai berkurang.
Sebutlah Vagabond (2019), Hotel Del Luna (2019), My Name (2021), dan Alchemy of Souls (2022). Perempuan dalam drama-drama tersebut berpendirian kuat, mandiri, dan bernyali besar sehingga tidak selalu bergantung pada orang lain. Karier mereka cemerlang. Mereka juga memiliki kekurangan untuk menunjukkan diri sebagai sosok yang tak sempurna.
Tidak terbatas pada perempuan, penulis naskah laki-laki juga menerapkan langkah serupa. Itu bisa terlihat dari karya seperti Vincenzo (2021), Happiness (2021), dan Adamas (2022). Genre pun semakin bervariasi, mulai dari fantasi, aksi, hingga slice of life.
Baca juga: Serangan Zombi di Sinema Korea
“Awalnya, setiap cerita sama: hanya perempuan muda, cantik, dan miskin yang diselamatkan oleh pria kaya yang tampan. Cerita itu mulai basi. Namun, baru-baru ini, plot dengan karakter perempuan yang lebih kuat dengan rasa mawas diri dan kepekaan benar-benar menyegarkan. Lebih penting lagi, karakter ini tak kehilangan feminitas hanya karena mereka kuat,” kata Tasha Pipkins, pendiri bersama situs hiburan MACG Magazine.
Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab perubahan itu. Selain semakin banyaknya penulis perempuan, ada pergeseran pandangan soal representasi perempuan dalam media. Beberapa tahun terakhir, perempuan Korea turut terlibat dalam Gerakan #MeToo yang menantang ketidaksetaraan sosial.
Perubahan pola bisnis dalam industri drakor ikut memengaruhi. Menurut Bonnie Tilland, Profesor Kajian Asia Timur dan Antropologi di Yonsei University, Korea Selatan, perubahan tersebut terjadi juga sebagian karena diversifikasi genre. Semakin banyak drama soal tempat kerja yang tayang untuk mengimbangi drama romantis dan keluarga.
“Meskipun banyak penonton Korea mengeluh bahwa bahkan drama tempat kerja cenderung kembali pada romansa, diversifikasi ini merupakan perkembangan yang positif. Jaringan televisi kabel berkontribusi pada tren ini, karena mengambil risiko lebih besar dalam pemrograman,” kata Tilland.
Ditambah lagi, pasar drakor yang berorientasi ekspor membuat kategori audiens makin beragam. Industri drakor perlu menciptakan karya yang memenuhi target pasar yang berbeda sekaligus mengakomodasi penonton yang mulai bosan dengan formula cerita yang itu-itu saja.
Baca juga: Tak Seindah Drama Korea
“Budaya pop Korea sangat berorientasi ekspor, dan setiap keputusan komersial didasarkan pada persepsi negara luar,” kata Euny Hong, penulis The Birth of Korean Cool.
Alhasil, pandangan perempuan (female gaze) dalam drama kian progresif. A Dictionary of Media and Communication (2011) menjabarkan, pandangan perempuan bisa merujuk pada cara perempuan memandang perempuan lain, laki-laki, dan benda di dunia yang terkait dengan identifikasi, objektifikasi, subjektivitas, serta konstruksi jender.
Dengan demikian, representasi perempuan depan layar yang ditulis perempuan jadi bervariasi. Perempuan bisa menjadi kuat nan feminim seperti Yoon Se-ri (Crash Landing on You, 2019), tegas tetapi lembut seperti Jang Man-wol (Hotel Del Luna), serta penderita autisme nan cerdas seperti Woo Young-woo (Extraordinary Attorney Woo, 2022).
Dalam industri hiburan yang cenderung maskulin, keberadaan pandangan perempuan yang beragam tersebut sangat berarti. Hal ini karena pandangan perempuan dalam media memengaruhi bagaimana kita melihat perempuan, termasuk bagaimana perempuan melihat diri sendiri.
Persahabatan perempuan
Transformasi tak hanya terjadi pada representasi karakter perempuan dalam drama, tetapi juga dalam cerita. Dalam drama dan film Korea, fokus cerita pada bromance alias persahabatan erat antara laki-laki atau persahabatan kelompok sudah menjadi pemandangan umum, umpamanya Prison Playbook (2017), seri Reply (2012-2016), dan seri Hospital Playlist (2020-2021).
Belakangan, mulai banyak kisah drama yang turut fokus pada persahabatan antara perempuan atau womance selain hubungan percintaan. Fenomena ini terlihat dalam berbagai drama yang ditulis perempuan maupun laki-laki.
Penulis Lee Byeong-heon dan Kim Young-young melakukannya dalam Be Melodramatic (2019), Yoo Young-a dalam Thirty-Nine (2022), dan Jung Seo-Kyoung dalam Little Women (2022). Penonton pun sempat terpikat antara persahabatan Na Hee-do dan Ko Yu-rim dalam Twenty-Five Twenty-One (2022).
“Mulai tahun 2016, stasiun televisi telah menayangkan kisah-kisah perempuan. Karena semakin banyak penggemar drama, terutama penonton perempuan, bosan melihat karakter yang jatuh cinta dengan seorang pangeran tampan, diperlukan pendekatan yang berbeda,” kata kritikus budaya, Hwang Jin-mi.
Hwang meyakini, apabila semakin banyak serial televisi yang menampilkan relasi dan interaksi antara perempuan, penonton akan semakin melihat banyak sisi perempuan yang multidimensi dalam masyarakat.
“Mulai dari perempuan karir yang pendiam hingga ibu yang berbakti kepada keluarganya, ada berbagai tipe perempuan. Dan perkembangan ini, yang berlanjut sejak 2016, sangat berarti bagi industri konten Korea,” kata Hwang yang mengakui keberadaan industri streaming mendorong fenomena tersebut.
Dengan adanya variasi fokus cerita, bisa dibilang mulai banyak drakor yang lolos Tes Bechdel yang digunakan untuk menganalisis karya fiksi. Diperkenalkan komikus Alison Bechdel pada 1985, tes ini memiliki tiga kriteria. Pertama, film harus memiliki minimal dua karakter perempuan; kedua, karakter perempuan itu harus saling berinteraksi; dan ketiga, mereka harus membicarakan topik selain tentang laki-laki.
Pada tahun ini, salah satu drakor yang lolos Tes Bechdel adalah Glitch (2022) yang tayang di Netflix. Glitch menceritakan tentang Hong Ji-hyo yang menyelidiki menghilangnya pacarnya berkaitan dengan UFO. Sinopsis drama ini sekilas terkesan bergenre drama romantis, tetapi sebetulnya drama misteri.
Penulis Jin Han-sae memilih untuk menggali kisah fenomena UFO, agama, dan krisis identitas. Terkait relasi para karakter, dia justru fokus pada persahabatan karakter Hong Ji-hyo dengan Huh Bo-ra, anggota dari klub UFO. Pembahasan perempuan tak lagi melulu soal romansa.
Perempuan dalam industri drakor telah melalui perjalanan panjang. Meski kadang kenyataannya tak seindah drakor, mereka terus bertransformasi menjadi lebih baik demi kebutuhan industri. (The Korea Herald/Forbes)