Sebagai sebuah proyek seni hibrida, Payung Fantasi telah mencoba memadukan narasi cerita, yang terkadang dinyanyikan, dengan elemen teater yang lain, seperti koreografi, akting, tata busana, dan tata rias.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Barangkali tidak adil jika membandingkan antara serial musikal Payung Fantasi (2022) dengan film musikal sekelas Les Miserables (2012) atau La La Land (2016) yang diproduksi Hollywood. Meski berupaya mengadaptasi kisah hidup dan karya-karya komponis besar Ismail Marzuki dan dibimbing sineas sekelas Garin Nugroho, musikal ini sebagian besar dikerjakan oleh orang-orang muda, yang bisa jadi masih minim pengalaman di dunia seni pertunjukan.
Perbandingan itu tak sepenuhnya juga bisa diterima mengingat Payung Fantasi berangkat dari keinginan teater panggung yang kemudian diberi sentuhan musikal dan film. Jadi, konsepnya hibrida, perpaduan antara studio (panggung), nyanyian, tarian, dan film. Artinya, seluruh pemain seolah sedang bermain di atas panggung teater dan tidak dilakukan cut to cut pada saat pengambilan gambar, sebagaimana biasanya dilakukan dalam shooting film. Oleh sebab itulah, karya ini melibatkan dua sutradara sekaligus, yakni sutradara teater (panggung) Pasha Prakarsa dan sutradara film Naya Anindita.
Kecenderungan metode semacam ini sebenarnya telah dimulai dalam proyek seni Titimangsa saat mengerjakan program Di Tepi Sejarah bersama Direktorat Jenderal Film, Musik, dan Media Kemendikbudristek. Metode ini ”ditemukan” sebagai upaya menyiasati masa pandemi Covid-19 yang terus merebak sejak awal tahun 2020 sampai hari ini. Bahwa seni pertunjukan tak boleh mati meski pandemi telah membuat manusia berjarak satu sama lainnya. Oleh sebab itu, digagaslah penayangan seni pertunjukan lewat kanal seperti Youtube; ketika seni mendatangi penontonnya.
Sebagai sebuah proyek seni hibrida, Payung Fantasi telah mencoba memadukan narasi cerita, yang terkadang dinyanyikan, dengan elemen teater yang lain, seperti koreografi, akting, tata busana, dan tata rias, yang mengacu kepada setting peristiwa. Tentu saja perpaduan seluruh elemen itu membutuhkan kerja keras lewat riset panjang dan penghayatan yang subtil.
Sayangnya, memang tidak banyak dokumen yang bisa dijadikan referensi untuk menggali kisah hidup tokoh sebesar Ismail Marzuki. Beberapa buku, seperti Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman karya Ninok Leksono atau Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air, dan Cinta karya Teguh Esha dkk, termasuk Ismail Marzuki: Komponis Pejuang dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, hanya memuat sekelumit kisah hidup Ismail. Buku-buku ini sebagian besar mengulas tentang lagu-lagu yang diciptakan Ismail, baik dari sisi lirik maupun serba sedikit kisah penciptaannya.
Penggalian kisah hidup Ismail dari putri semata wayangnya, Rachmi Aziah (71), barangkali juga tidak banyak membantu. Saat Ismail meninggal pada 25 Mei 1958 di usia 44 tahun, Rachmi masih berusia 8 tahun. Ia cuma mengingat bahwa saat ibundanya, Eulis Andjung, berteriak mengabarkan ayahandanya wafat, ia sedang bermain di halaman rumahnya di kawasan Tanah Abang. ”Saya tidak ingat banyak hal, semuanya lebih banyak dengar dari Mami,” kata Rachmi suatu hari.
Kekurangan data
Bisa jadi kekurangan data riset ini yang membuat Payung Fantasi menjadi kisah yang melompat-lompat tanpa sempat melakukan pendalaman karakter, pendetailan terhadap latar peristiwa, dan penerjemahan dialog para pemain. Berdasarkan catatan, setelah melakukan audisi para pemain sejak awal tahun 2022, praktis sutradara dan seluruh elemen pendukung pentas ini hanya memiliki waktu dua bulan untuk berlatih. Situasinya sungguh menjadi sangat sulit, hanya latihan selama dua bulan dan harus berhadapan dengan para pemain yang sebagian besar baru di dunia panggung. Salah satunya, misalnya, terlihat pada aspek kematangan dialog para pemainnya. Meski berusia muda, Ismail Marzuki dan kawan-kawan di masa sekitar tahun 1930-an sudah berbahasa Indonesia secara baik dan fasih berbahasa Belanda. Selain, tentu saja, karena sebagian besar latar peristiwa terjadi di Batavia, maka logat Betawi masih kental mewarnai dialog para pemain.
Di luar soal itu, musikal Payung Fantasi sepenuhnya berkiblat kepada drama musikal yang diproduksi Broadway. Cara penyusunan adegan, lagu-lagu dan tariannya, mengikuti kecenderungan yang selama ini kita saksikan dalam drama-drama seperti Les Miserables, misalnya. Barangkali inilah yang dianggap akrab dengan anak-anak muda urban sekarang ini, yakni bahwa musikal identik dengan Broadway.
Padahal, jika kita mau sedikit menggali-gali kekayaan seni pertunjukan di ranah tradisi, jenis kesenian seperti Arja (Bali) atau jenis-jenis kesenian langendriyan di Jawa adalah drama musikal yang mengeksplorasi kemampuan menembang dan menari. Bukankah karya-karya Garin Nugroho, seperti Setan Jawa, mengiblat kepada jenis kesenian ini?
Meski begitu, semuanya masih bisa dimatangkan dalam kesempatan selanjutnya. Apalagi, produser eksekutif Payung Fantasi, Renitasari Adrian, mengatakan bahwa tahun 2023 serial musikal ini akan dipanggungkan. ”Kita pentaskan full di panggung tahun depan, tetapi dengan melakukan penyesuaian naskah dan para pemainnya mungkin,” katanya.
Kita boleh berharap banyak akan ada pertunjukan yang menerjemahkan karakter dan karya-karya Ismail Marzuki secara baik. Dengan demikian, kita semakin kokoh menempatkan tokoh ini sebagai pejuang bangsa Indonesia dengan cara yang berbeda.