Tari Silo Membuka IDF 2022
Tari Silo terinspirasi kegiatan tahlil sebagai ritual keagamaan dalam keseharian di Madura. Ini karya koreografer Hari Ghulur (36).
Indonesian Dance Festival 2022 memasuki tahun penyelenggaraan ke-30, sekaligus menjadi festival tari kontemporer paling langgeng saat ini di tingkat Asia Tenggara. Festival ini telah berlangsung selama tiga dekade dan menjadi salah satu festival tari tertua di dunia.
Sejak penyelenggaraan pertama tahun 1992 sampai sekarang, Indonesian Dance Festival (IDF) telah menyelenggarakan 270 pertunjukan dengan melibatkan 330 koreografer. Sebanyak 43 karya komisi dan rekonstruksi pun dihasilkan.
Para penggagas IDF terafiliasi dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), meliputi Maria Darmaningsih, Melina Surya Dewi, dan Nungki Kusumastuti. Deretan nama lain turut mendukung keberlangsungan festival ini, seperti Sal Murgiyanto, Tom Ibnur, Deddy Luthan, Farida Oetoyo, Julianti Parani, dan Sardono W Kusumo.
Pada pementasan pembukaan IDF 2022, Sabtu (22/10/2022), tampilan utama tari Silo disuguhkan. Tarian kontemporer yang memanggungkan tujuh penari ini memiliki durasi sekitar 50 menit dengan gerakan-gerakan yang menguras energi. Mereka meliputi Errina Aprilyani, Puri Senja, Patry Eka, Aditya Putra, Angga I Tirta, Rifai, dan Hari Ghulur.
Tari Silo terinspirasi kegiatan tahlil sebagai ritual keagamaan dalam keseharian di Madura. Ini karya koreografer Hari Ghulur (36), yang memiliki nama lahir Mohamad Hariyanto.
Hari lahir dan tumbuh di Sampang, Madura, hingga di bangku SMA. Kemudian pindah ke Surabaya untuk melanjutkan studi di Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Hari menuntaskan jenjang pendidikan S-2 program studi penciptaan tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2013. Kini, selain mencipta dan mengikuti berbagai festival tari kontemporer, Hari juga mengajar program studi tari di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya dan Universitas Negeri Malang.
”Silo dalam bahasa Jawa bermakna posisi duduk di lantai dengan posisi kedua kaki saling menggapit. Ini inspirasi untuk penciptaan tari kontemporer saya yang bermula dari suatu peristiwa di Beijing, China, pada 2018,” ujar Hari, Jumat, sehari menjelang pementasan pembukaan Indonesian Dance Festival dalam gladi bersihnya.
Silo dalam bahasa Jawa bermakna posisi duduk di lantai dengan posisi kedua kaki saling menggapit. Ini inspirasi untuk penciptaan tari kontemporer saya yang bermula dari suatu peristiwa di Beijing, China, pada 2018.
Di Beijing kala itu Hari mengikuti sebuah simposium dan lokakarya tari internasional. Ada peristiwa menggelitik tatkala tiba saatnya makan. Seusai mengambil piring dengan seisinya, secara spontan Hari duduk bersila di lantai. Ia makan di situ.
Salah satu teman yang berasal dari Eropa datang menghampirinya. Lantas ia bertanya, mengapa Hari duduk dan makan di lantai, bukan di kursi makan?
Hari terenyak sesaat. Ia berada di Beijing dan di sekelilingnya hadir komunitas dari berbagai belahan dunia. Akan tetapi, ia masih tetap merasa di Madura.
”Sejak saat itulah tebersit keinginan untuk mencipta tari kontemporer dari posisi duduk bersila ini,” kata Hari Ghulur.
Kekuatan lutut
Tari Silo bisa dibilang memiliki gerakan cukup ekstrem. Dengan iringan musik tetabuhan dan gamelan yang sedikit rancak, gerak-gerik tariannya yang seperti lompatan mungkin mengingatkan kita tentang gerak dasar tari balet dari Eropa.
Kemudian muncul sebuah gerakan tari yang unik tatkala posisi bersila dengan kedua kaki tetap dipertahankan. Mereka membikin lompatan-lompatan dengan posisi kaki bersila. Bagi yang tidak terbiasa, atau pernah mengalami cedera lutut, gerakan ini mungkin sulit dilakukan.
”Banyak gerakan di tarian Silo benar-benar mengandalkan kekuatan lutut,” ujar Hari.
Sekilas gestur tubuh para penari bahkan terlihat unik. Dengan posisi kedua kaki saling menggapit, mereka bangkit. Posisi kedua lutut menjadi tumpuan tubuh mereka.
Lompatan kecil dilakukan. Ini membuat gerakan mereka seperti berjalan. Postur tubuh terlihat seperti manusia cebol dengan ukuran tubuh yang lebih panjang dari kakinya. Cukup mengagetkan ketika mereka membuat lompatan lebih tinggi. Lutut mereka tetap menjadi tumpuannya. Ini cukup sulit.
Baca juga : Ratri Anindyajati, "Si Merak" di Panggung Tari
Tidak hanya posisi duduk bersila, Hari Ghulur juga menggali inspirasi dari gerak umat ketika bertahlil. Ketika mendaraskan doa, biasanya mereka juga menggerakkan tubuh secara spontan dan organik. Doa dan batin mereka mendorong gerakan-gerakan yang berpusat pada torso, yakni bagian diafragma di antara perut dan dada.
Hari pun mencontohkan gerakan seperti itu. Dengan melafalkan doa berbahasa Arab, Hari menggerakkan bagian dada hingga kepala ke kiri dan kanan. Sesaat tidak hanya bergerak, tetapi juga bergetar. Gerakan itu berirama. Akan tetapi, ada letupan-letupannya.
”Di dalam tarian Silo, letupan-letupan ini saya gambarkan dengan gerakan melompat tinggi dengan posisi kaki tetap bersila. Lutut menjadi tumpuannya sehingga lutut kita harus kuat,” ujar Hari.
Gerak dalam tahlil yang spontan dan organik dipicu doa dan kekuatan batin. Gerak mengalirkan energi di sekujur tubuh. Posisi kaki bersila, meski terdiam, justru dengan kuat sekali mampu mengalirkan energi ke tubuh.
Tari Silo menawarkan pesonanya tersendiri. Hari menjumput energi gerak spontan dan organik dari kegiatan tahlil di Madura. Tari Silo akhirnya dimaksudkan untuk menaburkan energi serta doa bagi pemirsanya.
Ekspresi busana
Selain energi doa yang ditawarkan lewat tari Silo, Linda Mayasari, salah seorang kurator IDF 2022, melihat adanya tawaran lain dari ekspresi busananya. Menurut Linda, tarian ini dibawakan dua perempuan dan lima laki-laki, termasuk koreografernya, Hari Ghulur. Ekspresi busana mereka mengesankan kesamaan, tidak menguatkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
”Saya mengikuti perjalanan Hari Ghulur dalam proses penciptaan tarian ini. Ini bermula dari tarian sebelumnya yang diberi nama hampir sama, yaitu tari Sila,” kata Linda.
Dalam tari Sila, ekspresi busananya menampakkan pembedaan yang cukup kuat antara penari perempuan dan laki-laki. Ekspresi busana mengikuti ekspresi gerak. Ekspresi busana yang berbeda pun menentukan ekspresi gerak yang akan berbeda pula di antara penari perempuan dan laki-laki.
Perkembangan pun terjadi di tari Silo. Ekspresi busana yang sama antara penari perempuan dan laki-laki didorong oleh ekspresi gerak yang tidak berusaha membedakan keduanya. Di sinilah tari Silo berusaha menawarkan nilai kesetaraan di antara perempuan dan laki-laki.
Ekspresi busana lainnya terus digali Hari Ghulur. Dalam tariannya itu ia juga menuangkan ekspresi busana menggunakan peci. ”Di Madura, peci memiliki beragam ukuran. Tingginya dimulai dari 8 atau 9 sentimeter sampai 25 atau 30 sentimeter,” ujar Hari.
Penggunaannya pun menyiratkan berbagai macam simbol. Peci berukuran paling kecil atau paling pendek biasa digunakan para santri. Cara menggunakannya juga berbeda. Ketika menjalankan shalat, peci agak ditarik mundur agar tidak terlalu menutupi jidat.
”Bahkan, ekspresi ketika pengguna peci pendek itu makin menekan pecinya ke bawah, itu menandakan sikap siaga bagi yang mengenakannya. Ini bisa siaga terhadap apa dan siapa saja, termasuk siaga untuk lari jika terjadi sesuatu,” ujar Hari.
Baca juga : Siklus Kecurangan Tak Berkesudahan
Berbeda dengan peci tinggi. Penggunanya biasanya orang bijak yang di Madura disebut sebagai ”bajingan”. Berbeda dengan di daerah Jawa lainnya, kata bajingan di Madura bermakna bukan sebagai pencoleng, melainkan orang yang memiliki sikap dan kata-kata bijak.
Hari Ghulur menampilkan sesuatu yang berbeda. Ia berhasil membuktikan banyak ekspresi dan nilai lokal bisa digubah menjadi inspirasi tari kontemporer. Tidak hanya dari Madura, kecerdasan dan kearifan lokal dari sejumlah daerah lainnya di Nusantara juga diyakini menjadi sebuah ladang luas bagi kerja dan penggarapan tarian kontemporer masa kini.
Rangkaian acara IDF 2022 bertema ”Rasa: Beyond Bodies” ini berlangsung selama sepekan pada 22 hingga 28 Oktober 2022. Tari Silo dipilih menjadi tarian pembuka IDF 2022 dengan keseluruhan acara berikutnya akan berlangsung di Taman Ismail Marzuki dan Komunitas Salihara, Jakarta.
Tari Silo termasuk agenda Pertunjukan Malam. Selain itu, ada enam penampil lain, di antaranya Sky Blue Mythic oleh Angela Goh dari Australia dan Senam Kota Kita oleh Gymnastik Emporium dari Yogyakarta.
Tampilan lainnya dikemas dalam program Kampana dengan karya tari dari enam komunitas penampil, seperti Paradox oleh Maharani Pane dan Flipside dari Jakarta, Body Tarekat oleh M Safrizal dari Aceh, serta Pesona oleh Eka Wahyuni dari Yogyakarta. Selebihnya, IDF akan diisi agenda pemberian penghargaan, pameran arsip, dan beberapa lokakarya terkait tari kontemporer.