Tragedi Anak Bajang di Panggung Tari
Koreografer Bimo Wiwohatmo mengadaptasi novel karya Sindhunata menjadi sebuah pertunjukan tari. Pentas tersebut menyajikan berlapis-lapis tragedi yang muncul akibat hasrat manusia untuk mencapai kesempurnaan.
Koreografer Bimo Wiwohatmo mengadaptasi novel karya Sindhunata menjadi sebuah pertunjukan tari. Pentas tersebut menyajikan berlapis-lapis tragedi yang muncul akibat hasrat manusia untuk mencapai kesempurnaan sehingga hal-hal yang dianggap aib pun akhirnya disingkirkan.
Lelaki itu memiliki wajah serupa raksasa. Hidungnya yang besar menyerupai benjolan, sedangkan mulutnya yang lebar tampak sangar dengan dua gigi taring menyembul. Sementara itu, di dahi dan pipinya terdapat gelambir daging yang membuat wajahnya tak simetris.
Namun, tak seperti umumnya raksasa yang berbadan tinggi, lelaki tersebut bertubuh pendek. Perutnya buncit, dadanya menggelantung, dan ia tak bisa berdiri tegak. Saat berjalan, salah satu kakinya selalu berjinjit sehingga gerakannya kadang terlihat oleng.
Sosok buruk rupa yang dikenal dengan nama Sukrosono itu menjadi tokoh sentral dalam pertunjukan tari “Bedhayan Bocah Bajang” yang diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Rabu (19/10/2022) malam. Pentas yang digelar oleh kelompok Bimo Dance Theater itu disutradarai oleh koreografer Bimo Wiwohatmo.
Untuk menggarap pentas itu, Bimo berkolaborasi dengan sejumlah seniman, misalnya Gandung Djatmiko yang menjadi perancang tari dan musik, Beni Susilo Wardoyo sebagai perancang tata panggung, dan Eko Sulkan sebagai perancang tata cahaya.
Selain itu, ada Joni Asman sebagai perancang visual, Nita Azhar sebagai perancang busana, Rommi Iskandar selaku perancang topeng, serta Ni Made Purnama sebagai penulis narasi. Bersama seniman Butet Kartaredjasa, Ni Made Purnama juga menjadi narator dalam pentas tersebut.
Baca juga: Pertunjukan Bedhayan Bocah Bajang
Pentas tari “Bedhayan Bocah Bajang” merupakan adaptasi dari novel Anak Bajang Mengayun Bulan karya Sindhunata. Novel yang terbit pada tahun 2022 itu sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas.
Anak Bajang Mengayun Bulan bisa dianggap sebagai kelanjutan dari novel Sindhunata berjudul Anak Bajang Menggiring Angin yang terbit pada tahun 1983. Sama seperti Anak Bajang Mengayun Bulan, kisah Anak Bajang Menggiring Angin sebelumnya juga dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas pada tahun 1981.
Bimo Wiwohatmo menuturkan, ide untuk membuat pentas tari “Bedhayan Bocah Bajang” muncul setelah dirinya bertemu dengan Sindhunata pada akhir tahun 2021. Awalnya, Bimo mengaku merasa berat saat hendak membuat karya tari berdasarkan Anak Bajang Mengayun Bulan. Sebab, dia menilai, akan sulit untuk membuat pertunjukan yang bisa menandingi kedalaman kata-kata Sindhunata dalam novel itu.
“Saya tahu kedalaman sastra Romo Sindhunata dan filosofinya itu kan memang membuat imajinasi orang lebih kaya daripada ketika itu divisualkan. Makanya saya merasa berat. Tapi Romo Sindhunata selalu menyemangati sehingga akhirnya saya bertekad membuat karya ini,” tutur Bimo yang mulai menyiapkan pentas “Bedhayan Bocah Bajang” sejak Februari 2022.
Baca juga: Pergulatan Manusia, Cinta, dan Kuasa dalam "Anak Bajang Mengayun Bulan"
Sindhunata mengatakan, pentas “Bedhayan Bocah Bajang” menunjukkan bahwa proses alih wahana dalam dunia seni memang sangat mungkin terjadi. Apalagi, sebelum pentas itu, perupa Susilo Budi Purwanto juga pernah membuat sejumlah lukisan yang terinspirasi dari novel Anak Bajang Mengayun Bulan.
Proses alih wahana itu pun dinilai bisa memperkaya karya seni yang diproduksi sebelumnya. “Apa yang tidak bisa tertangkap dalam kata-kata, bisa kita nikmati dalam keindahan gerak tari,” tutur Sindhunata.
Teater tari
Novel Anak Bajang Mengayun Bulan mengadaptasi kisah Sukrosono dan Sumantri yang bersumber dari cerita pewayangan. Dua tokoh itu merupakan saudara, tetapi memiliki bentuk fisik sangat berbeda. Sumantri yang merupakan sang kakak adalah seorang ksatria yang gagah dan tampan, sedangkan Sukrosono merupakan sosok yang buruk rupa.
Bagi Sindhunata, Sukrosono bisa jadi merupakan representasi dari anak bajang, yakni sosok raksasa bertubuh kerdil yang jelek fisiknya tetapi berhati mulia. Kisah Sukrosono dan Sumantri yang dituturkan Sindhunata itulah yang kemudian diadaptasi oleh Bimo menjadi pentas “Bedhayan Bocah Bajang” sehingga terciptalah sebuah proses adaptasi yang berlapis-lapis.
Dari sisi bentuk pertunjukan, Bimo menuturkan, “Bedhayan Bocah Bajang” lebih pas disebut sebagai teater tari. Hal ini karena pertunjukan tersebut tak semata berisi komposisi tari, tetapi juga disertai narasi dan dialog untuk memudahkan penonton mengikuti alur kisah yang disajikan.
Sementara itu, dari sisi koreografi, Bimo tampaknya banyak mengambil gerakan tari tradisional Jawa. Meski begitu, upaya untuk melakukan eksplorasi tubuh para penari juga muncul. Eksplorasi itu pula yang tampak dari sisi tata panggung dan tata cahaya.
Baca juga: Sindhunata, Sang Carik Anak Bajang
Dengan durasi sekitar 45 menit, pertunjukan “Bedhayan Bocah Bajang” memang tak bisa menyajikan kisah hidup Sukrosono dan Sumantri secara lengkap. Pentas tersebut hanya berfokus pada momen-momen penting yang dialami kakak beradik itu, terutama berkait dengan sejumlah tragedi yang dialami Sukrosono.
Pentas itu dibuka dengan percakapan Begawan Swandagni dengan istrinya, Dewi Sokawati, yang merupakan orang tua Sukrosono dan Sumantri. Sebagai seorang begawan, Swandagni merasa tidak terima dengan kelahiran Sukrosono yang wujudnya menyerupai raksasa. Barangkali, sebagai orang yang merasa suci, Swandagni merasa keberadaan anak buruk rupa itu merupakan aib.
Apa yang tidak bisa tertangkap dalam kata-kata, bisa kita nikmati dalam keindahan gerak tari (Sindhunata)
Bahkan, Swandagni menyebut Sukrosono terlahir dari noda. “Anak itu lahir bukan dari kesucian, tapi kenodaan,” katanya. Oleh karena itu, sang begawan meminta anak buruk rupa tersebut disingkirkan. Namun, Dewi Sokawati menolak karena dia sangat mencintai anaknya.
Dalam fragmen berikutnya, Sukrosono dikisahkan pergi untuk mencari Sumantri karena dia memang sangat mencintai sang kakak. Peristiwa pertemuan Sukrosono dan Sumantri dalam pentas tersebut menjadi momen yang menyayat hati.
Dalam kesempatan itu, Sukrosono dengan tertatih berusaha mengejar sang kakak. Sambil memanggil-memanggil nama kakaknya, Sukrosono merengek meminta ikut dengan Sumantri ke mana pun.
“Kakang Mantri, aku melu kowe (aku ikut kamu),” kata Sukrosono berulang-ulang. Namun, mungkin karena malu dengan rupa adiknya yang buruk, Sumantri kemudian pergi meninggalkan Sukrosono.
Dengan olah gerak yang pas, penari Eko Purnomo yang memerankan Sukrosono berhasil menghidupkan peristiwa itu dengan sangat baik. Pada momen itu, Sukrosono hadir menjadi sosok yang begitu tulus dan manusiawi sehingga mengundang simpati meskipun wujud fisiknya tak rupawan.
Momen lain yang juga menyayat hati adalah saat Sukrosono berusaha membantu Sumantri yang terluka setelah berperang. Namun, Sumantri justru mengeluarkan busur dan anak panah untuk mengusir Sukrosono. Anak panah itu kemudian tak sengaja terlepas dan mengenai Sukrosono sehingga sang anak bajang pun tewas akibat panah kakaknya sendiri. Kematian itu menjadi puncak dari berlapis-lapis tragedi yang dialami Sukrosono.
Dengan berfokus pada tragedi yang menimpa Sukrosono, pentas “Bedhayan Bocah Bajang” menyajikan simbolisasi yang menarik ihwal manusia yang terbutakan oleh hasrat untuk mencapai kesempurnaan. Mereka yang tergila-gila dengan kesempurnaan itu kemudian berupaya menyingkirkan atau meminggirkan orang lain yang dianggap sebagai aib.
Padahal, seperti yang terlihat dalam kisah Sukrosono, orang yang dinilai jelek dan dipandang sebagai aib itu justru bisa memberikan pelajaran berharga ihwal kemanusiaan.