Pergulatan Manusia, Cinta, dan Kuasa dalam "Anak Bajang Mengayun Bulan"
Novel Anak Bajang Mengayun Bulan karya Sindhunata merefleksikan peradaban manusia yang penuh pergulatan akan cinta dan kekuasaan. Setelah terbit sebagai cerita bersambung 156 seri, novel ini diluncurkan.
Oleh
HARIS FIRDAUS, GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·4 menit baca
Novel "Anak Bajang Mengayun Bulan" karya Sindhunata diluncurkan di Toko Buku Gramedia Yogyakarta, Selasa (29/3/2022). Novel yang telah terbit sebagai cerita bersambung 156 seri di Harian Kompas itu merupakan refleksi pergumulan manusia, cinta, dan kekuasaan sepanjang hidup. Kisah tema pewayangan tersebut akan tetap relevan dalam peradaban manusia sepanjang masa.
Peluncuran novel yang diterbitkan penerbit Gramedia Pustaka Utama itu diisi diskusi bersama penulisnya, Sindhunata, dan editor Desk Budaya Harian Kompas M Hilmi Faiq. Acara juga diisi pembacaan petikan novel "Anak Bajang Mengayun Bulan" oleh seniman Landung Simatupang dan Ni Made Purnama Sari. Selain itu, hiburan musik oleh Paksi Band.
Novel mengadopsi kisah tokoh Sukrasana dan Sumantri dari cerita pewayangan. Dua tokoh itu merupakan kakak beradik, tetapi memiliki fisik sangat berbeda. Sumantri, sang kakak adalah ksatria tampan, sedangkan Sukrasana seorang raksasa kerdil tapi berhati mulia.
"Anak Bajang Mengayun Bulan" bisa dianggap sebagai kelanjutan dari novel "Anak Bajang Menggiring Angin" karya Sindhunata yang diterbitkan sekitar 40 tahun lalu. Sebelum diterbitkan menjadi novel, "Anak Bajang Menggiring Angin" juga dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Kompas.
Sindhunata, yang juga mantan jurnalis Harian Kompas, mengatakan, keinginan menulis "Anak Bajang Mengayun Bulan" sebenarnya sudah muncul sejak 13-14 tahun lalu. Namun, saat mulai menulis, ia mengalami kemandekan sehingga novel itu tak kunjung jadi. Sindhunata baru bisa menyelesaikan novel ini pada tahun 2021 di tengah pandemi Covid-19.
"Saya sudah memikirkan menulis novel ini sekitar 13 atau 14 tahun lalu. Sudah saya coba menulis bab pertama, tapi enggak jalan. Terus saya coba lagi, enggak jalan lagi. Tapi di tengah-tengah saya masih mencoba terus dan baru pada masa pandemi saya bisa menyelesaikan," kata Sindhunata.
Menurut Sindhunata, Sukrasana merupakan representasi dari figur anak bajang, yakni seorang raksasa bertubuh kecil yang tidak sempurna tetapi ingin mencapai kesempurnaan dengan beragam pengorbanan. Ia juga menyebut, dilihat secara sepintas, cerita Sukrasana dan Sumantri merupakan cerita yang sederhana.
Namun, setelah melakukan perenungan, Sindhunata justru menemukan banyak hal yang bisa direfleksikan dari kisah itu. "Ternyata begitu banyak hal yang bisa saya kupas, misalnya tentang pertentangan antara nasib dan kebebasan, tentang kesia-siaan, cita-cita, dan tentang bagaimana akhirnya yang jelek justru dibutuhkan oleh yang baik agar yang baik menjadi sempurna," ungkap budayawan sekaligus rohaniwan tersebut.
Ternyata begitu banyak hal yang bisa saya kupas, misalnya tentang pertentangan antara nasib dan kebebasan, tentang kesia-siaan, cita-cita, dan tentang bagaimana akhirnya yang jelek justru dibutuhkan oleh yang baik agar yang baik menjadi sempurna. (Sindhunata)
Lewat cerita tersebut, Sindhunata juga ingin menyampaikan kritik tentang kekuasaan. Sebab, upaya untuk meraih kekuasaan terkadang harus dilakukan dengan banyak pengorbanan. "Novel ini adalah refleksi kemanusiaan dan kritik terhadap ambisi, cita-cita, dan kritik terhadap kekuasaan," tutur dia.
Hilmi Faiq mengatakan, meski menampilkan cerita pewayangan, novel Anak Bajang Mengayun Bulan juga menampilkan refleksi berbagai persoalan terkini. Oleh karena itu, novel tersebut akan selalu relevan.
"Saya kira, pembaca yang bijak tidak akan melihat wayangnya, tetapi melihat pergulatan kemanusiaan di buku ini. Apa yang terjadi di buku ini itu terjadi pada kita, misalnya perebutan kekuasaan, mengedepankan ambisi, pengkhianatan, jatuh cinta yang tidak tersampaikan, cinta yang mendua, dan sebagainya," tutur Hilmi.
Ia menambahkan, pemuatan sebagai cerita bersambung Harian Kompas mendapat sambutan baik dari pembaca. Sebelum Anak Bajang Mengayun Bulan, Harian Kompas juga pernah memuat beberapa cerita bersambung sebelumnya.
Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas, M Hernowo, menuturkan, dalam perjalanan 156 seri "Anak Bajang Mengayun Bulan", cerita bersambung ini seperti menjadi oase atau pemberi makna dari hiruk pikuk berbagai peristiwa terkini yang kadang menyesakkan. Melalui cerita bersambung itu, pembaca Kompas diberi ruang memaknai lebih mendalam persoalan manusia dan kekuasaan yang nyaris selalu hadir dalam pemberitaan.
General Manager Gramedia Pustaka Utama, Andi Tarigan, mengatakan, penerbitan novel ini merupakan hasil kolaborasi sejumlah pihak, seperti Gramedia Pustaka Utama, Harian Kompas, rumah budaya Omah Petroek, dan Majalah Basis. Andi juga menyebut, novel Anak Bajang Mengayun Bulan juga mengajak pembacanya untuk berimajinasi dan melakukan refleksi.
Dalam sesi tanya jawab, perupa Putu Sutawijaya menuturkan, kisah-kisah Sindhunata tak berhenti memberikan inspirasi bagi orang lain, meski di saat sama menyajikan ruang multitafsir. “Saya sendiri tak selalu memahami makna kisah-kisah Romo Sindhunata. Tetapi, justru dari situlah, muncul inspirasi bagi saya untuk berkarya. Terima kasih Romo Sindhu,” ujar dia.