Pengalaman bermain musik yang takkan terlupa, kata Krisna, saat diminta menemani musisi jazz Indra Lesmana bermain di Mostly Jazz di kawasan Sanur, Bali.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·6 menit baca
Krisna Dharmawan (29) punya cara indah menenangkan hati yang gundah. Ia akan buru-buru lari ke dalam kamar, lalu memeluk ”kekasih” hatinya dan memainkan sebuah lagu. Sejak berusia 7 tahun, ”kekasih” paling setia dalam hidupnya tak lain adalah sebuah gitar. Dawai-dawai yang menjulur di tangan tubuh artistik itu ibarat desir angin yang membasuh kesedihan.
Di atas panggung Ubud Village Jazz Festival (UVJF), Jumat (12/8/2022), Krisna tampil tenang seperti air. Hanya sesekali ia berubah ekspresif saat memainkan gitar, terutama jika komposisi mencapai nada-nada tinggi. Berbeda sekali dengan teman mainnya, Gev Delano, yang baru berusia 12 tahun. Gev mencabik-cabik bas dengan sangat ekspresif, bahkan sering kali berubah garang di atas panggung.
”Saya cuma membayangkan waktu saya kecil,” kata Krisna. Kami berbincang di Debeat Creative Hub, milik Krisna di bilangan Jalan Gatot Subroto, Denpasar, dua hari setelah gelaran UVJF. Pada Jumat (16/9/2022) kami berbincang kembali lewat jaringan telepon Jakarta-Denpasar dalam rasa persabahatan yang kental.
Mengapa mengingat masa kecil?
”Saya main gitar saat TK, kira-kira usia 2-3 tahun. Begitu dengar musik Deep Purple atau Gun’N Roses, seperti ingin melunjak-lunjak,” ujar Krisna.
Bukan kebetulan, lelaki bernama lengkap Handyka Krisna Dharmawan ini menyukai grup rock legendaris, seperti Deep Purple atau Gun’N Roses atau Metalica. Ayahnya, Hendra Kurniawan, pencandu musik rock sejati.
”Tiap hari saya diajak dengerin musik rock oleh Papa. Kayaknya keren kalau saya bisa main gitar karena Papa sampai sekarang juga enggak bisa main musik, he-he-he…,” ujar Krisna.
Boleh dikata, obsesi musik Hendra, kemudian disalurkan kepada Krisna. Anak kedua ini sudah memegang gitar pada usia 2 tahun saat duduk di taman kanak-kanak. Tak segan-segan Hendra memanggil guru les gitar ke rumah mereka di Tabanan, Bali.
”Gitarnya akustik abal-abal, ha-ha-ha.... Pokoknya beli di sembarang toko kayaknya Papa,” kata Krisna.
Rupanya les dengan gitar ”abal-abal” membuat Krisna semakin jatuh cinta pada gitar. Ia kemudian mulai tertarik bermain gitar elektrik. Bahkan, membentuk band bernama Pandawa di Tabanan. Seolah sungguh mendapatkan berkah, pada usia 9 tahun, ia berguru langsung kepada gitaris the magic fingers, Balawan. ”Papa antar pulang pergi dari Tabanan ke Batuan, Gianyar, rumah Om Balawan. Jauh, tapi senang...,” ujar Krisna.
Sejak itu, kehidupan Krisna tak bisa dipisahkan dari gitar. Malam hari, sesaat menjelang tidur, ia selalu memetik dawai-dawai gitarnya. Berapa pun ia memiliki koleksi gitar, selalu ada gitar yang menemani tidur malamnya di kamar. ”Saya jatuh cinta pada gitar walau tidak berarti jadi kekasih. Ini sikap hormat saja,” katanya.
Java Jazz
Pada usia masih sangat muda, 12 tahun, Krisna sudah menjajal panggung musik jazz bergengsi di Tanah Air, JakJazz dan Java Jazz. Tahun 2006, ia tampil sepanggung dengan drumer cilik berbakat Muhammad Rafi. Meski agak lupa nama kelompoknya, berbagai media mencatat mereka mengusung nama The Young Prodigies. Kelompok yang sebenarnya menaungi Rafi ini pernah pula menggemparkan Singapura dalam satu festival jazz remaja internasional.
”Itu pertama kalinya menghadapi publik yang besar, saya gugup sebelum mulai. Tetapi, ketika mulai memetik gitar, semua plong, dan asyik-asyik aja tuh...,” ujar Krisna.
Kecintaan dan penghormatan Krisna pada gitar barangkali melebihi perlakuan para gitaris lain terhadap gitarnya sendiri. Pada saat hari raya Tumpek Landep, yang jatuh pada Sabtu, Kliwon, Landep, menurut perhitungan kalender Bali, semua gitarnya diberi sesaji. Hari itu Krisna sama sekali tidak memainkan gitarnya. Ia benar-benar memberi penghormatan kepada gitar yang telah memberinya gairah hidup.
Selain itu, sehari-hari semua gitar miliknya tidak boleh dilangkahi dengan kaki. Gitar, katanya, sebagai instrumen pemberi keindahan, sebagaimana ditunjukkan oleh Dewi Saraswati lewat salah satu tangannya, harus diperlakukan dengan hormat. ”Harus dijaga agar tidak leteh atau cemar. Sama dengan disucikan, enggak boleh dilangkah-langkahi. Kalau itu terjadi, saya bisa batal naik panggung... ha-ha-ha...,” ujar Krisna.
Untungnya, peristiwa semacam itu belum pernah terjadi. Itu karena Krisna selalu menjaga gitarnya, baik di belakang panggung maupun di rumah. Semua perlakuan itu, kata Krisna, dilatari oleh pandangannya terhadap musik. ”Hidup saya ini untuk musik, bukan musik yang menghidupi,” katanya.
Pengalaman bermain musik yang takkan terlupa, tambah Krisna, saat diminta menemani musisi jazz Indra Lesmana, bermain di Mostly Jazz di kawasan Sanur, Bali. ”Saya menemani Om Indra main jazz, mungkin hampir 5 tahun. Selama itu juga mengiringi penyanyi-penyanyi, seperti Tompi, Once, atau siapa saja yang diundang ke Mostly Jazz,” tutur gitaris yang pernah tampil di Byron Bay Blues Festival di Australia ini.
Beberapa tahun lalu, Krisna mendirikan Debeat Creative Hub, yang menaungi kursus musik dan kursus bernyanyi. Sehari-hari, jika tidak ada konser, Krisna dengan tekun membimbing para remaja yang menyukai musik.
”Jangan dilihat uangnya,” kata Krisna buru-buru.
Debeat Creative Hub ia bangun atas dasar keinginan menularkan penghayatan terhadap musik dan keindahan secara lebih mendalam. Sebab, katanya, lewat musik, seseorang bisa belajar menjalani kehidupan dengan lebih sederhana, lebih bertenggang rasa, memupuk kerja sama, saling berbagi, disiplin, tekun, dan bertanggung jawab.
”Musik mengajarkan itu semua. Tanpa disiplin dan kerja sama, saya tidak yakin menghasilkan karya yang bagus,” katanya.
Selain sebagai pemain gitar, Krisna juga merangkap sebagai vokalis di grup band yang dibangunnya, Sould of Mine. Grup telah melahirkan album musik tahun 2016 lalu. Bersama band Pandawa telah pula dirilis lagu-lagu, seperti ”Ilusi Jiwa” (2002), ”KehadiranMu” (2004), dan ”Temani Aku” (2006).
Soal musik jazz itu, Krisna selalu mengatakan, ”Saya tidak berani mengklaim diri gitaris jazz. Ini jenis musik paling sulit di dunia, basic saya bermusik, mungkin pop dan blues,” katanya.
Kepiawaiannya memainkan blues telah ia buktikan dengan mengikuti tur ke Eropa bersama kelompok Bali Blues Brother. Bersama drumer dan juga produser musik Gus Mantra, Krisna menjajal kota-kota, seperti Den Haag, Amsterdam, Hannover, Hamburg, Berlin, dan Frankfurt, untuk bermain gitar.
Perjalanan itu, katanya, telah mengajarkannya tentang bagaimana semua orang bisa bersatu padu dalam satu dentuman musik. Ratusan penonton yang hadir dalam setiap konsernya seolah telah memberikan energi masing-masing untuk sesuatu yang lebih luhur, yakni kemuliaan kemanusiaan.
”Saya percaya, musik itu memberi vibrasi kebaikan. Oleh sebab itu, instrumennya harus dihormati, bahkan dalam ajaran kami, disucikan, seperti disimbolkan oleh Dewi Saraswati,” katanya.
Kepercayaan pada musik sebagai peletup energi spiritual ini pula yang membawa Krisna bergabung dengan kelompok Nyanyian Dharma yang dipimpin gitaris Dewa Budjana. Ia mengisi suara gitar dalam lagu ”Tat Twan Asi”. Sampai kini, keberadaan Krisna dalam kelompok ini begitu membekas dan menjadi titik pijaknya untuk melakukan perjalanan lebih jauh lagi mengarungi lautan musik dunia.
Dalam perjalanan itu, gitar tak hanya menjadi kekasih malam yang menemani Krisna melewati batas-batas kesedihan, tetapi juga memancarkan aura spiritual yang terang untuk menempuh semesta kegelapan di depan mata.