Isu lingkungan memang menjadi sorotan penting di dalam BDD 2022. Termasuk untuk desain barang keseharian, seperti di sebuah kafe, ada desain produk meja kecil yang dibentuk dengan lembar papan dari tutup botol plastik.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Festival desain menjadi menarik karena menyajikan berbagai kemungkinan rancangan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di masa mendatang. Bintaro Design District 2022 menyuguhkan karya-karya yang mencoba memecahkan problem ruang di sekitar hidup manusia sembari menawarkan solusi artistik.
Bintaro Design District atau BDD 2022 mengambil tema ”Berbagi Masa Depan”. Ini festival ketiga kalinya setelah diawali pada 2018 sekaligus momen peresmian Yayasan BDD. BDD 2022 berlangsung 14–24 September 2022. Ada 70 partisipan memanfaatkan sedikitnya 30 ruang pajang yang tersebar di Bintaro, Bumi Serpong Damai (BSD), dan sekitarnya.
Satu di antara partisipan, arsitek Novriansyah Yakub (42), yang akrab disapa Riri Yakub, menyuguhkan karya yang mempertegas tema berbagi masa depan lewat desain. Kamis (15/9/2022) siang itu Riri mengenalkan karyanya kepada khalayak yang hadir. Ia menciptakan ruang pajang karya di luar rumah. Ruang itu ada di depan studionya di Bintaro.
Sebagai arsitek, Riri tidak menampilkan bentuk karya lazim seperti rancangan rumah. Studio Riri kebetulan ada di ujung jalan kompleks. Jalan di depan studio Riri melebar untuk putaran mobil. Di seberang studionya ada gundukan tanah lumayan tinggi. Di sisi gundukan tanah itulah Riri membuat instalasi karya berjudul ”More or Less”. Ini seperti konstruksi jembatan.
Semua yang hadir diajak menaiki konstruksi yang menanjak dari sisi kanan. Di samping kiri konstruksi ada kisi-kisi lembaran besi berlubang-lubang, sedangkan di samping kanan berupa tebing tanah yang ditumbuhi semak-semak. Setiba di ujung kiri konstruksi berkerangka besi itu hadirin dipersilakan menyandang kacamata VR atau Virtual Reality. Kemudian mengarahkan mata untuk menatap lewat jendela kisi-kisi yang tersedia.
”Dengan kaca mata VR itu kita akan melihat dua kondisi masa depan kawasan ini,” ujar Riri, yang pernah mencuat dengan karakter desain arsitektural Rumah yang Bernapas.
Dua kondisi masa depan yang dimaksudkan Riri meliputi kawasan itu akan berkembang mengikuti perubahan teknologi, seperti menjadi hutan beton. Kondisi berikutnya, kawasan itu menjadi lebih hijau karena pilihan konservasi lahan lebih diutamakan.
Begitulah, Riri berbagi masa depan lewat karya desain arsitektural yang dituangkan dengan teknologi Virtual Reality. Desain kawasan Riri menyuguhkan dua pilihan bagi masa mendatang, yakni mengembangkan bangunan sesuai perubahan teknologi atau mengerem pembangunan gedung untuk memberi ruang tumbuh pepohonan.
Desain rumah hunian bagi keluarga ditampilkan arsitek Andra Matin. Ia memamerkan beberapa desain Rumah Pandemi. Desain-desain rumah itu mengoptimalkan pencahayan dan ventilasi udara alami. Dinding rumah menjadi ramping dan memanjang. Dari kondisi demikian, cahaya matahari dan udara alami bisa optimal mengalir. Rumah yang ramping juga memungkinkan adanya sisa tanah untuk ruang terbuka hijau.
Isu lingkungan memang menjadi sorotan penting di dalam BDD 2022. Termasuk untuk desain barang keseharian, seperti yang ditampilkan di sebuah kafe Bintaro Sektor 3, ada desain produk meja kecil yang dibentuk dengan lembaran papan terbuat dari limbah tutup botol plastik.
Salah satunya, desain rakitan meja kecil atau stool dengan lembaran tebal yang terbuat dari limbah sebanyak 2.200 tutup botol plastik. Tutup botol plastik termasuk jenis limbah plastik tebal. Jenis ini di alam jelas sulit sekali terurai. Ketika mengolahnya menjadi benda fungsional, tentu ini mengurangi beban pencemaran di tanah.
Jessica Halim menampilkan desain visual dengan obyek plastik kresek. Jessica membuat desain visual berjudul ”Hantu Plastik Realitas yang Menghantui”. Obyeknya berupa gambar plastik kresek menggelembung dengan posisi terbalik dan terdapat dua lubang seolah menjadi mata ”hantu plastik” itu.
Jessica menarasikan muasal terbentuknya plastik sejak 1907. Plastik sebagai material yang tahan lama usianya bisa mencapai 400 hingga 500 tahun. Akan tetapi, manusia justru kerap menggunakannya dengan sekali pakai, lalu dibuang. Plastik pada akhirnya melimpah menjadi sampah yang sulit terurai jasad renik hingga akhirnya mencemari air dan tanah.
Apa yang semestinya diperbuat? Desain visual karya Jessica ini mengingatkan untuk memanfaatkan plastik kresek seoptimal mungkin. Kita diajak untuk tidak mudah membuang plastik kresek atau menjadikannya sebagai sampah. Jejak-jejak karya desain BDD lainnya, ada pula yang sekadar menandai keberadaan suatu pohon.
Partisipan WAR Architect membuat penanda dari lembaran kertas berwarna jingga dan diikatkan di setiap batang pohon yang ada di Taman Menteng, Bintaro. Refleksinya mendalam. Pohon-pohon itu membutuhkan penanda demi keberlangsungannya. Pesannya sederhana, yakni agar kita tidak mudah menebang pohon. Ada pula partisipan BDD yang menonjolkan praktik kerja kolaborasi dengan masyarakat tradisional.
Studio Hendro Hadinata melibatkan masyakarat tradisional yang terbiasa merajut. Mereka diajak untuk membuat rajutan dengan material kawat stainless steel yang tidak mudah berkarat. Rajutan kemudian digunakan untuk berbagai desain, termasuk untuk meja kecil atau mencipta wadah-wadah barang. Ini memberdayakan masyarakat tradisional dengan kemampuannya merajut.
Rajutan besi tanpa karat itu juga dibentuk menjadi pipa yang fleksibel. Di area dekat Bintaro Plaza ditampilkan sebagai instalasi luar ruang. Di dalam pipa fleksibel rajutan besi tahan karat itu diberikan jenis lampu khusus yang memanjang. Ini menjadi instalasi luar ruang yang menarik, menyala pada malam hari.
BDD menampilkan pula 60 desain kursi dari era kolonial sampai terkini. Ini sebagai peringatan satu abad desain kursi di Indonesia. Pameran desain kursi ini sekaligus penghormatan bagi mendiang tokoh desainer kursi Indonesia, Jaya Ibrahim. Di antara banyaknya desain kursi lawas, salah satu inisiator BDD, Danny Wicaksono, menunjukkan salah satu desain kursi terkini.
Desain kursi itu disebut Kursi Anak Mio. Desain seperti itu diperkirakan terlahir pada 2010 tatkala munculnya generasi sepeda motor matic atau skuter Mio dari Yamaha. Kursi Anak Mio dengan perancang desain yang tidak diketahui itu merespons bentuk kendaraan tersebut. Di bagian Mio yang lowong ditempatkan kursi untuk anak yang dirancang secara khusus. Biasanya ini ditempuh para orangtua muda dengan anak-anak mereka yang masih kecil.
Di dalam desain visual berjudul ”Art in the Bag (Seni di dalam Tas)” karya Cici Anindita, seni seperti tersimpan. Cici sendiri di dalam catatan karya itu menuangkan Art in the Bag mengambil idiom kucing di dalam karung. Ia memaknai ada ketidakpastian secara makro yang membuat kita tidak lagi diingatkan kalau membeli sesuatu, janganlah seperti membeli kucing di dalam karung. ”Di era ketidakpastian ini justru kita sekarang yang menjadi kucing di dalam karung tersebut,” tulis Cici.
BDD memiliki empat insiator dan kurator. Selain Danny Wicaksono, Hermawan Tanzil, Andramatin, masih ada lagi Budi Pradono.