Karya-karya yang dikemukakan dalam Layar Terkembang secara gamblang mengedepankan kelinieran kreativitas tarian yang tak akan habis dieksplorasi. Serasi dengan temanya, koreografer-koreografer berupaya menyibak terjamah.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
TANGKAPAN LAYAR ROAD TO INDONESIAN DANCE FESTIVAL 2022
Prapergelaran tari pendek dwitahunan atau Road to Indonesian Dance Festival 2022 diisi dengan karya seniman yang menguak ranah daya ciptanya. Mereka mempertukarkan peta alternatif yang ditilik melalui beragam perspektif, pengalaman rasa, dan tubuh.
Sepasang penari dengan khusyuk beraksi di sekitar paron untuk menempa logam. Mereka meliuk, bergelut, dan berguling sementara di belakangnya, pandai besi tak henti menghantamkan godam. Sejenak saja, tampaklah besi yang masih menyala telah menyerupai kujang.
Besi membara bergetar, demikian pula penari-penari yang mengantarkan irama selaras dengan hentakan kaki, helaan napas, dan tertamparnya tubuh. Seiring kujang yang dicelupkan dalam air, alam bawah sadar turut terselami dengan dengan tangan-tangan meronta.
Atraksi yang didominasi warna biru itu lantas mengetengahkan empu yang kerap turut berperan dalam percaturan Nusantara sejak masa kerajaan. Karya berjudul “Titik Koma Koma” tersebut berdurasi singkat atau sekitar lima menit saja dengan musikalitas yang terdengar sakral.
Tyoba Armey Astyandro Putra meramu tariannya dengan interpretasi badaniah yang membuka Layar Terkembang bertema “Tubuh dan Rasa di Terra Incognita”, Kamis (25/8/2022). Program dalam rangkaian Road to Indonesian Dance Festival (IDF) 2022 itu menyajikan kreasi 13 seniman.
Karya Tyoba yang akrab disapa Tyobabond, umpamanya, mencuatkan konteks tubuh diposisikan dengan prosesnya. Eksistensi individu kerap mengabaikan masa lalu yang sebenarnya tak lepas dari psikologis saat ini. Ruang dan waktu menjadi nisbi.
TANGKAPAN LAYAR ROAD TO INDONESIAN DANCE FESTIVAL 2022
Lee Ren Xin dari Malaysia memotret keseharian tetangga-tetangganya lewat “A Daily Ritual of Dance”.
Setiap momen tak dapat diulang selaras dengan langkah yang terus terjejak, berikut pengembaraannya. Tyoba hendak menggali kejiwaan lewat dentingan martil yang merepresentasikan kelajuan detik-detik seturut terbukanya misteri masa depan masing-masing insan.
Memenjarakan nalar
Senada dengan “Pigura” garapan Pebri Irawan pada hari yang sama. Kuartet penari menggeletar dengan kain yang memasungnya. Mereka menjambak rambutnya hingga kusut masai diiringi musik mendirikan bulu roma. Nuansa monokrom dengan empat perempuan yang menatap tajam itu turut memicu benak bergidik.
Pebri mengemas karyanya dengan nada-nada mencekam dari selo. Ia sedikit nakal dengan menyuguhkan deretan tubuh yang terjungkat-jungkit dibarengi tersingkapnya rok mereka di atas lutut lalu terkapar sehingga erotisme tak pelak sedikit mewarnai visualisasi hampir enam menit tersebut.
Seniman dari Kepulauan Meranti, Riau, itu memaknai pigura yang mengungkungi, menegaskan, hingga memuliakan dalam konteks ruang. Dalam banyak kultur, setiap insan tak lepas dari latar belakang sosial yang melingkupinya. Pebri menyodorkan keambiguan bingkai tersebut, antara memproteksi atau memenjarakan nalar.
Tak hanya dari dalam negeri, koreografer Malaysia, Timor Leste, hingga Kirgistan tak ketinggalan meramaikan Layar Terkembang. Lee Ren Xin dari negeri jiran, umpamanya, memotret keseharian para tetangga lewat “A Daily Ritual of Dance”, Jumat (26/8).
Seniman asal Selangor, Malaysia, itu merekam lorong lengang, warga yang menari di depan rumah susun, atau anak-anak bermain bola. Nyaris tak diedit, tanpa musik, dan video bergoyang-goyang. Sekilas, karya tersebut terlihat banal, namun sesungguhnya Lee sedang menggugat keterbatasan ruang publik.
TANGKAPAN LAYAR ROAD TO INDONESIAN DANCE FESTIVAL 2022
Tyoba Armey Astyandro Putra meramu tariannya dengan interpretasi badaniah yang membuka Layar Terkembang bertema “Tubuh dan Rasa di Terra Incognita”
Perempuan terpaksa mengasuh anak, bersosialisasi, atau memasak di gang sempit. Beberapa foto malah terlihat buram lantaran Lee mendeskripsikan huniannya sambil berjalan. Ia tak sekadar bersantai, melainkan memetakan observasi dengan bermacam figur, diikuti momen, lokasi, dan pergerakannya.
Oestman Najrid Maulana tak kalah garang melaburi “Selinat” dengan jeritan, seringai, dan rintihan, Sabtu (27/8). Seniman dari Tarakan, Kalimantan Utara, itu mengawali pertunjukannya dengan melodi dan mimik mendirikan bulu kuduk, tetapi paradoksnya juga kocak.
Ditingkahi suara gamelan berdekorasikan kain biru, oranye, hitam, putih, hijau, dan merah, ia menyimbolkan suku Tidung di Kaltara yang melakoni pengobatan tradisionalnya, besitan. Ritual tersebut diterapkan untuk menyembuhkan pasien yang kehilangan kesadaran atau selinat.
Menjadi kartografer
Karya-karya yang dikemukakan dalam Layar Terkembang secara gamblang mengedepankan kelinieran soal kreativitas tarian yang tak akan habis dieksplorasi. Serasi dengan temanya, koreografer-koreografer berupaya menyibak terra incognita atau domain yang belum terjamah.
Tak sekadar geografis, inovasi yang dimaksud juga mencakup pengalaman empiris, ruang, fisik, ide, hingga emosional yang dapat dikasatmatakan. Mereka menerjemahkan gagasan-gagasannya dengan raga dan mental yang berwujud perasaan terhadap ruang tertentu.
Koreografer pun menjelma menjadi kartografer yang merakit kepingan-kepingan peta terra incognita. Seniman-seniman merangkai denah baru bagi ruang hidup bersama yang optimistis dan penuh penghormatan terhadap kemajemukan pengalaman tubuh atas ruang.
TANGKAPAN LAYAR ROAD TO INDONESIAN DANCE FESTIVAL 2022
Garapan Pebri Irawan, "Pigura" menampilkan empat penari diiringi alunan selo.
Mereka mengekspos terra incognita dalam bahasa keartistikan tari yang sebelumnya belum terdeteksi radar IDF, sekaligus menekankan pentingnya regenerasi penari. Festival berskala internasional tersebut didirikan Maria Darmaningsih, Melina Surya Dewi, dan Nungki Kusumastuti pada tahun 1992.
Rentang waktu IDF pun menguatkannya sebagai festival tari kontemporer Asia Tenggara terlanggeng dan salah satu yang tertua di dunia. Pandemi justru membawa mereka yang terlibat mengakrabi avatar saat digitalisasi demikian lumrah, bahkan ekspresinya kian puitis, seraya tetap mengkritisi imajinasi masing-masing.
“Kami berkomitmen menyelenggarakan festival yang bisa menjadi pengembangan wawasan mulai dosen sampai koreografer,” ujar Melina. Festival tahun ini akan digelar secara luring pada 22-28 Oktober 2022 di Taman Ismail Marzuki dan Komunitas Salihara, Jakarta.
Regenerasi dianggap amat penting demi keberlanjutan IDF, termasuk layanan berbasiskan pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian. “Kalau membahas Layar Terkembang, mulainya November 2022, ketika kami tiba-tiba harus pindah ke ruang daring,” ujar House Curator IDF 2022 Linda Mayasari.
TANGKAPAN LAYAR ROAD TO INDONESIAN DANCE FESTIVAL 2022
Tri Putra Mahardhika H menyuguhkan tariannya yang bertajuk "Badan Tumbuh".
Sejumlah peserta IDF 2022 mengungkapkan keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi, namun tetap meresponsnya dengan positif. “Selain manifestasi, karya-karya yang memasuki ruang digital juga menjadi arsip untuk dinikmati lagi sebagai kemungkinan baru dalam seni pertunjukan,” ujar Tyoba.
Sementara, Oestman terkendala untuk shooting di air terjun Gunung Rian, Kaltara, karena menghormati kepercayaan masyarakat setempat. “Saya tak bisa menunjukkan suara orangtua yang melakukan besitan, tapi tetap luar biasa menyaksikan kerja teman-teman dan kesempatan menampilkan karya,” ucapnya.