Penanda Sejarah lewat Arsip dan Karya Seni
Keberadaan arsip dan karya seni ternyata bisa saling terkait. Melalui keduanya, orang bisa mengetahui perjalanan dan penanda bersejarah apa saja yang terjadi di satu masa di satu negeri.
Arsip dan koleksi seni bisa menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Saat keduanya saling terhubung, arsip dan karya seni bahkan bisa menjadi semacam penanda zaman sekaligus menggambarkan seperti apa perjalanan sejarah seni dan berkesenian di suatu negeri.
Hal itu bisa dirasakan lewat pameran bertajuk ”Cipta! Kapita Selekta Cikini Raya 73” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta atau DKJ, 19 Juni-16 Juli 2022. Pameran digelar di Galeri Seni Gedung Panjang Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Dalam pameran itu ratusan karya seni berupa lukisan, drawing, grafis, dan printing dipamerkan bersama naskah-naskah, foto, dokumen, hingga rekaman audio dan audiovisual dari berbagai pameran dan diskusi yang pernah digelar di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) sepanjang tahun 1960-an hingga akhir 1980-an.
Baik koleksi karya seni maupun arsip-arsip tersebut saling memberi suara dan menjadi penghubung antara satu dengan yang lain. Walau dinilai masih menggunakan sistem pengklasifikasian yang sederhana, ditambah minimnya alokasi anggaran, DKJ dipuji mampu mengumpulkan arsip dan koleksi karya seni sejak awal berdirinya, 54 tahun silam.
Tahun 2013, DKJ pernah menggelar program identifikasi koleksi benda seninya. Hasilnya tercatat 393 karya seni yang dikoleksi DKJ. Karya-karya seni itu mencakup lukisan, karya seni grafis, dan juga seni patung. Selain itu, DKJ juga tercatat menyimpan ribuan koleksi arsip seni rupa berupa poster, foto, rekaman audio, dan kliping media massa cetak.
Koleksi seni dan arsip-arsip itu juga bisa dipahami sebagai penghubung antara apa yang terjadi di masa silam dengan masa kini dan masa mendatang. Lewat pencatatan, pengarsipan, dan pendokumentasian itu, orang juga akan bisa merunut dan mempelajari kembali beragam dinamika serta pergerakan seni di masa lalu.
Selain itu, dari catatan dan arsip yang ada, semisal terkait naskah-naskah drama, orang juga bisa menjadikannya bahan inventarisasi. Dari inventarisasi tersebut, mereka bisa menjadikannya modal dalam membentuk semacam bank naskah drama Indonesia dan terjemahan untuk kemudian dimanfaatkan di masa mendatang.
Dikurasi
Saat ditemui di lokasi pameran, Rabu (22/6/2022), Ketua Komisi Arsip dan Koleksi DKJ Farah Wardani menyebut ratusan karya seni dan arsip yang dipamerkan itu dikurasi dua kurator, yakni Ady Nugeraha dan Esha Tegar Putra. Setelah dikurasi, semua koleksi karya seni dan arsip itu disusun berdasarkan bab-bab sesuai periode waktu tertentu untuk kemudian dipamerkan berdasarkan urutan waktu tersebut.
Pembagian bab-bab itu juga bertujuan mengaitkan kecenderungan suatu karya seni dengan periode masa serta momentum peristiwa yang diwakilinya. Salah satu contoh bab tersebut adalah seksi khusus pameran yang menampilkan karya-karya lukisan dari Pameran Lukisan-lukisan Dunia Minyak, yang pernah digelar di PKJ TIM tahun 1974.
Ketika itu DKJ menggalang kerja sama dengan Pertamina, yang mensponsori sejumlah perupa untuk berkunjung ke berbagai infrastruktur perminyakan di seluruh Indonesia. Beberapa lokasi yang dikunjungi antara lain kilang minyak, pelabuhan, dan pabrik. Para pelukis kemudian diminta berkreasi menghasilkan karya lukis sesuai gaya masing-masing untuk kemudian dipamerkan di PKJ TIM.
”Saat itu di Indonesia memang sedang terjadi booming (produksi) minyak (bumi),” ucap Farah.
Beberapa karya yang kini kembali dipamerkan, antara lain, empat lukisan cat minyak di atas kanvas, mulai dari karya Sudarso berjudul ”Terminal Balongan Cirebon” dan karya Srihadi Sudarsono berjudul ”Terminal Minyak Irian Jaya”. Selain itu, juga ada karya Popo Iskandar berjudul ”Dok Terapung Dumai” dan ”Pelampung Tambatan Tunggal Balongan” karya Batara Lubis.
Pameran karya seni hasil kerja sama DKJ dan Pertamina ketika itu menjadi contoh paling awal keterlibatan korporasi nasional dalam dunia seni di Indonesia. Peristiwa itu juga dinilai menjadi pembuka diskusi tentang keberadaan ”karya seni pesanan” (commissioned artwork), yang sekaligus juga memelopori koleksi korporasi di Indonesia.
Seni Rupa Baru
Pada bab lainnya, pihak DKJ juga menampilkan kisah tentang awal kebangkitan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) di Indonesia. Gerakan yang ditandai Peristiwa Desember Hitam (1974) dan Pameran Seni Rupa Baru Indonesia (1975) itu dianggap menjadi fondasi awal perkembangan seni rupa kontemporer di Tanah Air hingga hari ini.
Peristiwa Desember Hitam sendiri dipicu perlawanan sejumlah seniman muda asal beberapa kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Para seniman muda dimotori, antara lain, oleh Jim Supangkat, Bonyong Muri Ardi, dan Hardi, memprotes keputusan dewan juri terkait dengan pemenang Pameran Senilukis Indonesia di TIM saat itu. Mereka sempat diskors dari kampus masing-masing.
Alih-alih ikut ”membungkam” para perupa muda progresif itu, DKJ setahun kemudian justru memfasilitasi GSRB untuk berpameran di Galeri Cipta TIM. Pameran Seni Rupa Baru Indonesia itu kemudian menjadi tonggak penting sejarah seni rupa kontemporer di Indonesia.
Selain dinilai menyajikan pengalaman estetis di luar bahasa visual yang sudah mapan, sejumlah karya seniman generasi baru ini juga dinilai lebih berani bermuatan politis. Salah satunya karya seniman Hardi screenprint on paper berjudul ”Suhardi Presiden RI 2001” (1980), yang berisi gambar diri Hardi mengenakan seragam tentara lengkap dengan banyak tanda bintang jasa plus tulisan ”Suhardi Presiden RI 2001”.
Karya ini dinilai sangat berani lantaran dibuat dan dipamerkan di masa pemerintahan otoriter Orde Baru masih sangat berkuasa. Dalam catatan pemberitaan Kompas, ”Pelukis Hardi dipanggil Laksusda Jaya”, Sabtu, 8 Desember 1979, Hardi bahkan sempat ditahan selama dua hari, sementara karyanya disita oleh aparat.
Pendapat perempuan
Selain lewat karya seni, Farah melanjutkan, pihaknya juga menampilkan arsip rekaman suara diskusi mendiang Toeti Heraty. Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu terdengar tengah mendebat para seniman dalam momentum diskusi Pameran GSRB tahun 1975.
Menurut Farah, saat itu suara perempuan seniman terbilang sangat jarang muncul, apalagi terdengar. Padahal, kenyataannya nama-nama sejumlah perempuan seniman cukup produktif dalam berkarya dan banyak muncul di pameran. Pihak DKJ beranggapan rekaman suara berdurasi 15 menit tersebut sangat penting untuk mewakili suara perempuan di masa tersebut.
”Saat itu pameran atau diskusi perupa perempuan masih sangat jarang. Mungkin karena pada masa Orba memang masih banyak terjadi bias jender. Padahal, sebetulnya kalau dilihat, dari sejumlah buku pameran ada banyak perupa perempuan ikut berpameran walau memang suara mereka jarang terdengar atau muncul,” ucap Farah.
Toeti sendiri semasa hidupnya pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode tahun 1982-1985.
Selain karya seni dan arsip lama, dalam pameran ini juga ditampilkan seni instalasi yang terbuat dari perlengkapan dan peralatan lama DKJ. Tampak meja dan kursi, alat perekam serta pemutar kaset video lama yang sudah rusak dan tak terpakai, serta kardus-kardus berisi dokumen dan karya-karya sejumlah seniman disusun dan dipajang menjadi seni instalasi.
Karya-karya instalasi yang ditampilkan Cut and Rescue itu juga ada yang berupa kolaborasi unik beragam materi arsip berbentuk foto-foto, dokumen dan naskah, rekaman video pertunjukan, hingga rekaman suara pidato. Materi-materi tersebut dieksplorasi menjadi sebuah penampilan multimedia (multimedia performance).
Di ruang terpisah, yakni di Galeri Annex, DKJ juga menampilkan karya ”Transcendence” berupa kutipan-kutipan beberapa nama besar, seperti Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Ismail Marzuki. Teks kutipan puisi dan pidato tersebut digarap oleh studio kreatif Mahavisual dan diaplikasikan ke dinding-dinding ruangan Annex dalam bentuk grafiti berukuran besar bergaya ”tagging”.