Ujian Menggelar Pameran Lukisan
Para mahasiswa yang belum genap setahun belajar itu mulai dihadapkan pada tugas mengelola sebuah pameran lukisan. Bagi seniman yang dilibatkan berpameran, ini menjadi angin segar untuk memasuki dunia industri seni.
Dalam sebuah pameran, bukan hanya lukisan yang menarik perhatian, melainkan tata kelola pameran juga memiliki daya tarik tersendiri. Para mahasiswa menggelar pameran untuk menempuh ujian akhir suatu mata kuliah pada semester awal. Ini menjadi kontribusi dunia pendidikan bagi industri seni.
”Kami memulai dari nol sejak awal Februari hingga Mei 2022 untuk mempersiapkan pameran ini. Ini sebagai ujian akhir mata kuliah Tinjauan Kelola Pameran 1,” ujar Luna Chantiaya, mahasiswa angkatan 2021 Program Studi Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jumat (13/5/2022).
Luna bersama mahasiswa seangkatan lainnya, Gisela Kiara, ditunjuk sebagai kurator pameran bertajuk ”Kabar Bumi Setengah Windu” di Bentara Budaya Yogyakarta, 12-14 Mei 2022. Mereka bersama tujuh mahasiswa lainnya, sebagai Kelompok 4 dari 6 kelompok, mengawali ujian dengan menggelar pameran lukisan itu.
Pameran berikutnya akan digelar Kelompok 1 yang bertajuk ”Telaah Rasa” di Kopi Macan Gallery & Coffeeshop, Yogyakarta, 14-18 Mei 2022. Kelompok 6 menggelar pameran bertajuk ”Mulih Mula Mulanira: Nasirun & Hanafi” di Jogja National Museum, 17-26 Mei 2022.
Masih pada Mei 2022, Kelompok 3 dan 5 menggelar pameran di Museum Benteng Vredeburg. Terakhir, Kelompok 2 menggelar pameran di Ruangdalam Art House, Yogyakarta.
”Jumlah peserta mata kuliah ini sekitar 50 mahasiswa yang terbagi ke dalam enam kelompok. Mereka generasi Z yang mulai terjun langsung menghadapi kompleksitas industri seni,” ujar Mikke Susanto, dosen utama mata kuliah Tinjauan Kelola Pameran 1 tersebut.
Para mahasiswa yang belum genap setahun belajar itu mulai dihadapkan pada tugas mengelola sebuah pameran lukisan. Bagi seniman yang dilibatkan berpameran, ini menjadi angin segar untuk memasuki dunia industri seni.
Mereka generasi Z yang mulai terjun langsung menghadapi kompleksitas industri seni.
Meneropong perubahan
Walaupun pameran sebagai bagian perkuliahan, tema yang dipilih cukup menarik dan terlihat ingin menyumbangkan sesuatu yang bermakna bagi masyarakat. Tema yang dipilih, ”Kabar Bumi Setengah Windu”, ditujukan untuk meneropong perubahan dalam rentang setengah windu atau empat tahun terakhir, yang diisi lebih dari dua tahun keadaan masyarakat dicekam masa pandemi Covid-19.
Para mahasiswa itu menghubungi delapan seniman untuk merespons tema tersebut. Mereka sebagian besar alumni ISI Yogyakarta dan sebagian masih menempuh studi di kampus itu. Mereka meliputi Diah Yulianti, Kurt Hoesli, Alif Edi Irawan, Muhammad Fauzan, Denny Syaiful Anwar, Ilham Karim, Rifkki Arrofik, dan Muhammad Shodiq. Ditampilkan sebanyak 15 lukisan dan dua seni instalasi.
Peserta Muhammad Fauzan menampilkan karya lukisan yang diberi judul ”She’s Not Pink”. Ia membangun semiotika visual berupa lukisan buah catur kuda. Di sekelilingnya ditumbuhi kaktus berduri.
”Melalui lukisan itu saya ingin menyatakan, pandemi Covid-19 turut membentuk perubahan perilaku seseorang. Saya mengamati dua atau tiga teman saya yang memiliki orangtua terkena dampak pandemi, yaitu PHK (pemutusan hubungan kerja),” ujar Fauzan, kelahiran Padang, Sumatera Barat, 28 April 1998.
Fauzan masih menempuh kuliah semester VIII Jurusan Seni Rupa Murni di ISI Yogyakarta. Ia mengobservasi teman perempuannya yang menghadapi dampak persoalan dari orangtua yang terkena PHK di saat pandemi. Kemudian, ia menuangkannya ke dalam lukisan.
Lukisan ”She’s Not Pink” atau ”Dia Bukan Merah Jambu” membuka persepsi tentang sosok teman perempuan yang mulai dikelilingi kesulitan. Sosok itu dilukiskan dengan buah catur kuda, sedangkan berbagai kesulitan ditampilkan sebagai pohon-pohon kaktus berduri yang mengelilinginya.
Bagi keluarga yang tidak terbiasa dengan keadaan ekonomi sulit, PHK menjadi malapetaka tersendiri. Fauzan beberapa kali menemukan curahan hati temannya yang mengungkapkan, orangtua mereka yang terkena PHK semakin sering cekcok.
Percekcokan orangtua itu tidak hanya melukai batin anak, tetapi ternyata mulai berpengaruh pula terhadap uang kuliah dan uang saku yang diberikan. Tentu saja uang sakunya makin berkurang. Dari sinilah Fauzan mengamati perubahan akibat pandemi Covid-19.
Melalui lukisan itu saya ingin menyatakan, pandemi Covid-19 turut membentuk perubahan perilaku seseorang.
”Dari yang mudah kita temui, pandemi membentuk perubahan perilaku kita dalam bersalaman. Ternyata bisa lebih jauh dari itu. Pandemi bisa mengubah karakter seseorang, misalnya menjadi lebih individual,” tutur Fauzan.
Namun, ia juga menangkap ada sinyalemen positif dari perubahan itu. Pada awalnya ia mengamati teman kuliah yang menghadapi orangtua terkena PHK mulai resah. Setidaknya, ini disebabkan biaya untuk hidup semasa kuliah yang makin berkurang. Namun, keadaan seperti itu justru membuat temannya itu berpikir keras untuk makin mandiri.
”Ia membuat bisnis baru. Saya terus mengamati usahanya kini makin berkembang pesat,” ujar Fauzan.
Temannya itu mengembangkan usaha penjualan produk lewat jaringan media sosial di internet. Fauzan menangkap aura positif. Ternyata tekanan kesulitan di masa pandemi bisa membentuk perubahan karakter yang positif.
Teman Fauzan tersebut akhirnya menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Dia berubah menjadi sosok perempuan yang mandiri. Ada nilai moral yang dibangun Fauzan dan memang terlihat begitu sederhana.
Kesulitan acap kali mendatangkan hikmah tersendiri asalkan mau berpikir keras dan berjuang untuk memperbaiki keadaan. Pandemi menjadi faktor perubahan yang mungkin sekali mengusik zona nyaman berbagai kalangan.
Baca juga: Jejak Idealisme Boeng Usmar
Masa depan
Melalui karya lukisan yang diberi judul ”Proyek Bibit Unggul”, peserta lainnya, Alif Edi Irmawan, menebar kisah lain. Alif mengungkapkan, pandemi Covid-19 menjadi ujian bagi usaha manusia untuk makin mempersiapkan masa depan.
”Saya melihat dari sisi lingkungan. Di antaranya, pandemi berhasil mengurangi mobilitas warga. Lingkungan menjadi makin bersih dari polusi,” kata Alif, yang lulus dari Jurusan Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta pada 2020.
”Proyek Bibit Unggul” dilukiskan dalam bentuk seorang ibu yang mengajak anaknya untuk menanam benih tanaman. Mereka mengenakan masker pelindung. Benih unggul bukan pada jenis bibit tanaman yang dibawa, melainkan pada diri anak yang sedang diasuh ibunya.
”Saya melukiskan seorang ibu yang sedang mempersiapkan masa depan bagi anaknya untuk mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi,” ujar Alif yang tinggal di sebuah perumahan di Gresik, pinggir Kota Surabaya.
Saya melukiskan seorang ibu yang sedang mempersiapkan masa depan bagi anaknya untuk mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.
Alif mengarahkan karya seninya untuk perbaikan lingkungan hidup. Ia berpijak pada kenyataan yang dihadapinya sekarang. Permukiman yang dihuninya sekarang merupakan proyek pengalihan lahan sawah untuk perumahan.
Alif melihat perubahan fungsi lahan untuk permukiman terjadi terus-menerus. Sawah berubah menjadi rumah tidak hanya ia saksikan di sekitar tempat tinggalnya di pinggiran Surabaya.
Bahkan, persoalan yang jauh lebih besar juga terus terjadi. Hutan makin habis dibabat atau berubah fungsinya menjadi perkebunan monokultur. Alif ingin mengingatkan, momentum pandemi Covid-19 sebaiknya untuk menciptakan proyek-proyek bibit unggul demi masa depan yang lebih baik.
”Karya lukisan ini sebagai doa saya bagi masa depan,” ujar Alif.
Para peserta lain memang banyak yang menaruh perhatian terhadap perubahan kondisi lingkungan. Seperti Ilham Karim, yang masih kuliah di semester VI Jurusan Seni Rupa Murni ISI Yogyakarta, melukiskan kapal besar pengangkut batubara yang sedang mengarungi Sungai Musi di Palembang.
”Saya lahir di Jakarta pada 1999, tetapi tumbuh besar di Palembang. Saya menyajikan karya lukisan untuk melihat ulang sebuah kota yang membesarkan saya,” kata Ilham, yang melihat ada petaka tersendiri bagi masyarakat yang selama ini memanfaatkan air dari Sungai Musi untuk hidup keseharian mereka karena air itu makin tercemar.
Pameran ”Kabar Bumi Setengah Windu” beserta pameran yang direncanakan berikutnya oleh mahasiswa Program Studi Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta itu mungkin saja semata bagian dari ujian perkuliahan. Namun, mereka menyumbangkan wacana menarik dan memberi angin segar bagi industri seni.
Baca juga: Seni Berhasrat Merayakan NFT