Penanaman 25.000 Pohon di Pulau Timor untuk Atasi Kekeringan
Penanaman 25.000 anakan pohon di Pulau Timor untuk mengatasi kekeringan ekstrem yang terjadi setiap tahun. Gerakan itu perlu diperluas ke semua kabupaten/kota.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah pihak bergerak untuk melakukan penanaman 25.000 anakan pohon di beberapa wilayah di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Langkah tersebut untuk mengatasi kekeringan ekstrem yang terjadi setiap tahun. Diharapkan, gerakan itu dapat dilakukan secara lebih masif di semua kabupaten/kota.
Penanaman pohon yang dimulai dari Bolok, Kabupaten Kupang, pada Selasa (22/2/2022) itu, dikemas dalam acara bertajuk Festival Timor Coklat Hijau. Selain Kabupaten Kupang, penanaman yang digagas oleh Komunitas Festival Etnik Kupang itu juga dilakukan di Kabupaten Malaka, Kota Kupang, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Kepala Seksi Evaluasi Daerah Aliran Sungai NTT Dlfus Tuames mengatakan, pihaknya menyediakan anakan pohon tersebut. Jenis anakan yang ditanam di antaranya mangga, mahoni, dan beringin.
Lokasi penanaman tersebar di permukiman penduduk, lingkungan sekolah, lahan tandus, mata air, pesisir pantai, dan sekitar aliran sungai.
Dalam satu tahun, mereka memproduksi 1,8 juta batang anakan dan dibagikan secara gratis.
”Dengan modal kartu tanda penduduk (KTP), warga bisa membawa pulang 25 anakan. Kalau jumlahnya lebih dari itu, silakan buat proposal,” ujarnya seraya berharap kabupaten/kota lain ikut dalam gerakan tersebut.
Ganef Wurgiyanto, Asisten II Sekretariat Daerah Provinsi NTT, mengapresiasi gerakan penanaman pohon. Ia menilai hal itu merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan. ”Pulau Timor ini terkenal dengan karangnya serta banyak daerah yang tandus dan kering,” ucapnya.
Ia mengatakan, setiap tahun, Pulau Timor dan wilayah NTT pada umumnya selalu mengalami kekeringan ekstrem. Hal itu lantaran hari tanpa hujan lebih dari 250. Cadangan air tanah berkurang drastis. Banyak sumur mengering sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih.
Pulau Timor ini terkenal dengan karangnya serta banyak daerah yang tandus dan kering. (Ganef Wurgiyanto)
Di sejumlah daerah, warga membeli air bersih dengan harga hingga Rp 1 juta per tangki berukuran 6.000 liter. Sementara warga yang tidak mampu terpaksa menggunakan air yang tidak layak konsumsi. Air dimaksud dari kali atau telaga yang warnanya kecoklatan. Bahkan, ada warga yang berebut air dengan ternak.
Akibatnya, banyak anak dan balita di NTT mengalami tengkes atau kondisi saat ukuran tinggi dan berat badan di bawah normal. Menurut data Dinas Kesehatan NTT, hingga Agustus 2021, anak dan balita dengan kondisi berat badan sangat kurang sebanyak 10.794 anak, kurang sebanyak 60.371 anak, dan di bawah normal sebanyak 71.165 anak.
Wakil Wali Kota Kupang Hermanus Man yang ikut dalam acara tersebut mengatakan, Kota Kupang memiliki lahan kritis seluas 20 persen dari total luas wilayah itu, yakni sekitar 180 kilometer persegi. Sejauh ini, kegiatan penghijauan sudah sering dilakukan, tetapi tidak efektif. Komunitas atau instansi yang melakukan penanaman tidak merawat tanaman mereka sehingga mati.
”Ke depan akan didorong supaya orang tidak lagi asal tanam. Seperti pejabat atau siapa saja yang namanya tertera pada papan nama pohon itu wajib menjaga pohon itu sampai tumbuh besar. Ini harus diekspose supaya ada kesadaran untuk menjaga. Tanam pohon jangan berakhir di seremonial saja,” ucapnya.
Ia juga berjanji akan membangun lubang resapan air di permukiman penduduk untuk menampung air tanah pada saat musim hujan. Hari hujan yang singkat harus dimanfaatkan dengan menampung air sebanyak mungkin dalam lubang resapan. Sejumlah komunitas di Kota Kupang sudah melakukan itu dalam gerakan ”tanam air”.
Menurut dia, gerakan tanam pohon dan tanam air dapat menambah debit air tanah di Kota Kupang. Selain masalah tengkes, kekurangan air juga ikut menyumbang kasus demam berdarah di daerah itu. Kota Kupang menjadi daerah di NTT dengan angka demam berdarah tertinggi kedua.
Hingga 13 Februari 2022, dari 1.155 kasus demam berdarah di NTT, jumlah kasus di Kota Kupang sebanyak 208. Kasus tertinggi ada di Kabupaten Manggarai Barat sebanyak 212.
”Kami imbau masyarakat bahwa untuk mencegah demam berdarah dengan cara selalu ganti air dan menguras bak mandi, sementara untuk beli air butuh duit hingga Rp 80.000 per tangki mobil ukuran 5.000 liter. Mereka terpaksa pakai air yang ada saja,” kata Hermanus yang juga seorang dokter itu.