Upaya Belanda memutus semangat pergerakan kemerdekaan dengan mengasingkan para pejuang, seperti Sjahrir, Hatta, Iwa, dan Tjipto, ke pulau terpencil justru menjadi bumerang.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Pengasingan terbukti tak mampu membungkam api perjuangan meraih kemerdekaan. Akan tetapi, api cinta yang terpisah jarak akhirnya memerosokkan diri dalam kerinduan yang dalam. Soetan Sjahrir harus sakit berhari-hari karena berpisah dengan kekasih hati, Maria Dutchateau.
Bagi Sjahrir, pengasingan dirinya ke Digul (Papua) dan kemudian dipindahkan ke Banda Naira (Maluku) tahun 1936 semakin memupus harapannya untuk bertemu dengan istrinya, Maria. Pernikahan mereka di Medan, yang ditentang oleh pemerintah kolonial dan kemudian dihujat kaum sendiri, pemulangan paksa Maria kembali ke negeri Belanda.
Kenangan dan harapan berkumpul kembali dengan Maria dan anak-anak, pada sisi lain menjadi api bagi Sjahrir untuk terus bertahan, termasuk ketika melawan malaria. Saat pengasingan bersama Mohammad Hatta, dan kemudian bertemu dengan tahanan politik lainnya, Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Koesoemasoemantri, di Banda Naira, mereka terus berkomunikasi tentang strategi meraih kemerdekaan.
Jalinan kisah antara cinta Tanah Air dan cinta kasih kepada pasangan inilah yang menjadi pemantik berkembangnya pementasan lakon Mereka yang Menunggu di Banda Naira oleh Titimangsa Foundation. Pentas ini telah direkam pada 25 November 2021 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), kemudian ditayangkan di kanal Youtube Indonesia Kaya, 17 Desember 2021. ”Sampai enam bulan ke depan lakon ini masih bisa dilakukan secara berani,” ujar Direktur Program Bakti Budaya Djarum Yayasan Renitasari Adrian, yang mendukung pementasan ini, Kamis (13/1/2022) di Jakarta.
Lakon ini, menurut sutradara Wawan Sofwan, pertama-tama dialihwahanakan oleh Gunawan Maryanto (alm) dari novel Bung di Banda karya Sergius Sutanto ke bentuk naskah teater. Wawan kemudian kembali mengadaptasi naskah lakon dari Gunawan Maryanto ke bentuk pertunjukan seperti yang bisa disaksikan sekarang. ”Ini kan kemudian jadi pertunjukan daring, pendekatannya lebih seperti pada teater sinema,” kata Wawan.
Api pengasingan
Soetan Sjahrir (Reza Rahadian) bersama Hatta (Tata Ginting) saat merapat di Banda Naira disambut Des Alwi (Akiva Sardi) kecil. Keduanya langsung bertanya rumah Dokter Tjipto (Lukman Sardi), tetapi Des justru menyarankan menuju rumah Mister Iwa (Verdi Solaiman), yang lebih dekat dari pelabuhan. Kedua calon penghuni Pulau Banda Naira itu, rupanya hanya samar-samar mengenal Mister Iwa. Mereka hanya tahu Mister Iwa pernah belajar di Rusia dan kemudian dituduh komunis karena mendalami Marxisme.
Lakon dibagi dalam 27 adegan, mirip seperti pembagian scene dalam sebuah film. Hanya perpindahan adegan tidak seperti loncatan gambar dalam film. Wawan membiarkan gambar-gambar memperlihatkan para kru mengganti latar panggung dalam nuansa remang. ”Selain itu tidak ada penyuntingan gambar, semuanya utuh ditayangkan,” kata Wawan.
Beberapa salah ucap dialog yang dilakukan oleh para aktor, justru dibiarkan untuk memperlihatkan ambience panggung kepada penonton. ”Itu juga yang membedakannya dari film,” kata Wawan.
Upaya Belanda memutus semangat pergerakan kemerdekaan dengan mengasingkan para pejuang, seperti Sjahrir, Hatta, Iwa, dan Tjipto, ke pulau terpencil justru menjadi bumerang. Pembatasan yang dilakukan Belanda lewat penguasa lokal, Kloosterhuis (Willem Bevers), dengan melarang Sjahrir dan Hatta mendirikan sekolah, mendapatkan perlawanan.
Ketika terjadi perdebatan sengit antara ketiga orang inilah tampak perbedaan karakter antara Sjahrir dan Hatta. Sjahrir yang meledak-ledak dan ingin segera melabrak Kloosterhuis, diimbangi oleh karakter Hatta yang tenang dan penuh pertimbangan. Perbedaan karakter itu pulalah yang membuat Sjahrir memutuskan untuk berpisah rumah dari Hatta selama di Banda Naira. Konflik Sjahrir dan Hatta berhasil diredam oleh orang yang dituakan di Banda Naira, Dokter Tjipto.
Pada sisi lain, Sjahrir merasa dengan tinggal di rumah seorang diri, ia lebih leluasa mempersiapkan kedatangan Maria ke Banda Naira. Bahkan, optimisme kedatangan Maria melambung, ketika pasangan ini melangsungkan pernikahan jarak jauh: Banda Naira-Belanda. Optimisme itu juga, membuat Sjahrir menjadi lebih hidup. Api perjuangannya untuk membebaskan rakyat Hindia Belanda dari kebodohan dan penindasan semakin meledak-ledak.
Bahkan ketika Kloosterhuis meminta bantuannya untuk memobilisasi rakyat menanam umbi-umbian, menjelang kedatangan Jepang, Sjahrir menolak dengan tegas. Belanda sedang dalam keadaan terjepit, terutama setelah pengeboman pangkalan Amerika Serikat Pearl Harbour, pada 7 Desember 1941. Tak lama setelah itu, Dokter Tjipto disusul Mister Iwa dipindahkan ke Makassar. Pada akhirnya, Sjahrir dan Hatta juga dijemput dari Banda Naira dan diterbangkan dengan pesawat Amerika, Catalina menuju Batavia.
Bukan hanya kenangan tentang Maria (Julie Estelle) yang dimunculkan di panggung oleh Wawan, terutama saat-saat Sjahrir diserang rindu-dendam, tetapi juga api perjuangan yang kian membara. Hatta dan Sjahrir kemudian ”diasingkan” dalam satu rumah di Sukabumi untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Novel Bung di Banda, yang kemudian disambung dengan pementasan Mereka yang Menunggu di Banda Naira, telah memberi penegasan bahwa nama Sjahrir yang selama ini redup dari perbincangan revolusi kemerdekaan, adalah nama penting. Perannya dalam membangkitkan dan kemudian mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, tidak bisa dipinggirkan hanya karena berbeda pandangan. Cap kekiri-kirian, yang disematkan kepadanya, tidak mengecilkan perannya yang besar dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Ia juga manusia pada umumnya, memiliki sisi manusiawi, terutama ketika berhadapan dengan rasa rindu yang membuncah. Sayang, sampai Indonesia merdeka dan Sjahrir perdana menteri, Maria tak pernah kembali ke Indonesia.