Film ”Sepeda Presiden” garapan sutradara Garin Nugroho dan Hestu Saputra adalah kisah tentang harapan yang harus terus menyala tak peduli apa pun juga.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Anak-anak adalah simbol harapan dan masa depan. Pada mereka kita belajar bahwa meski harapan kerap tak seindah kenyataan, semangat untuk meraih masa depan harus tetap gigih diperjuangkan. Sepeda Presiden adalah kisah tentang petualangan dan harapan bocah-bocah Papua yang terus menyala tak peduli apa pun juga.
Adalah trio bocah asal Papua yang terdiri dari Uben (diperankan oleh Dede Ramandei), Saulus (diperankan oleh Arnol Aner Asmuruf), dan Edo (diperankan oleh Elias Fortunatus Padwa). Ketiganya, duduk di bangku sekolah dasar, bersahabat meski masing-masing memiliki impian yang berbeda tentang masa depan mereka kelak.
Uben bercita-cita menjadi penyanyi gereja mengikuti jejak mending ibunya. Sementara Edo bercita-cita menjadi pemain sepak bola nasional. Saulus yang pintar membuat mesin sagu, kincir angin, hingga sepeda layang-layang bercita-cita kelak kemampuannya bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Suatu hari, setelah perjalanan menuju sekolah yang menguras energi, karena harus mendorong perahu dan melewati hutan, ketiganya tertambat pada berita tentang Presiden yang membagi-bagikan sepeda pada anak-anak di sejumlah tempat di Tanah Air. Tergiur mendapatkan sepeda, ketiganya pun berangan-angan bertemu presiden.
Kisah mereka lalu bergulir. Uben, Edo, dan Saulus berusaha mewujudkan harapan mereka bertemu presiden.
Pertemuan mereka dengan Binar (diperankan oleh Ariel Tatum), seorang pemengaruh (influencer) asal Jakarta yang tengah menyepi di Papua, membuat harapan bertemu presiden tumbuh subur. Di sini, Binar, mewakili sosok putri yang lazim ada di film anak-anak.
Tentu, mewujudkan impian bertemu presiden tak semudah membalik telapak tangan. Namun, Uben, Saulus, dan Edo adalah anak-anak yang penuh semangat. Dengan kegembiraan khas anak-anak milik mereka, upaya mewujudkan harapan pun menjadi perjuangan dan petualangan penuh tawa, kadang juga mengharukan.
Banyak dialog khas anak-anak yang lucu, sangat menghibur. Terutama Saulus yang berakting natural dan sangat jenaka saat menghafal Pancasila. Penonton akan dibuat tertawa dengan gayanya yang kocak.
Bahkan, tak semata menyuguhkan petualangan dan perjuangan ketiga sekawan, penonton pun disodori banyak hal. Potret kehidupan masyarakat Papua yang lekat dengan alam dan budayanya pun tergambar kuat di sini.
Sepeda Presiden memang bukan film yang didesain untuk mengangkat problematika Papua secara politik. Ini adalah sisi lain Papua. Papua yang indah dan kaya, di mana di dalamnya ada impian dan harapan yang layak untuk diperjuangkan.
Keindahan dan kekayaan alam dan budaya Papua tecermin dalam banyak adegan. Saat film baru dimulai, misalnya, pemandangan alam Papua yang indah sudah terpampang di layar lebar. Banyak gambar laut, pantai dan hutan, diambil dari atas, menyuguhkan bentang alam Papua yang molek.
Begitupun dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua yang selalu riang dan penuh sukacita. Menyanyi, menari, dan penuh canda tawa menjadi adegan yang mewarnai hampir seluruh film.
Meski para pemeran rata-rata baru pertama kali tampil di layar lebar, akting mereka terlihat sangat alami. Menjadikan film berdurasi 87 menit yang berbalut komedi ini enak untuk dinikmati.
Romansa antara Binar dan Yacob (diperankan oleh Ian Williams) bolehlah dinikmati sebagai bumbu layaknya kisah putri dan sang pujaan hati. Yang jelas, Sepeda Presiden menyampaikan pesan dengan cara sederhana, tetapi menggugah.
Merayakan kegembiraan
Dalam jumpa pers seusai Gala Premier Sepeda Presiden di Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta, Senin (20/12/2021), Garin mengungkapkan, Sepeda Presiden adalah filmnya yang paling menyenangkan. Di dalamnya banyak adegan menyanyi, menari, dan peristiwa-peristiwa lucu.
Secara khusus, Sepeda Presiden menjadi penanda bagi 40 tahun Garin berkarya di dunia film. Garin ingin merayakan 40 tahun berkarya dengan kegembiraan. Sepeda Presiden diproduksi oleh Radepa Studio, dilatarbelakangi fenomena bagi-bagi sepeda yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang kemudian viral ke seluruh negeri.
”Merayakan 40 tahun itu enaknya kembali ke kanak-kanak. Ya menyanyi, menari, dan bertualang. Film ini menunjukkan sebenarnya yang paling penting dalam keluarga kita adalah kegembiraan, dalam keadaan apa pun. Semangat kegembiraan itu juga semangat pengetahuan. Seperti ketemu presiden, itu semangat untuk mendapatkan kegembiraan, keingintahuan, cita-cita, dan mendapat pengetahuan dalam perjalanan itu,” tutur Garin.
Di sisi lain, bagi Garin, Sepeda Presiden juga merupakan perayaan untuk budaya Papua yang memiliki dimensi akting yang kaya. Menurut Garin, yang pertama kali ke Papua tahun 1992, Papua kaya dengan talenta-talenta hebat.
Pada orang-orang Papua, ujarnya, tubuh dan alam adalah kesatuan, kaya dengan dimensi akting. Bila mereka mendapatkan kepercayaan, tubuh akting mereka akan tumbuh dengan sendirinya.
”Maka itu, pengadeganan kita bukan aksi dan reaksi. Tapi mereka diberi ruang agar bebas bermain sebagai tubuh dan alam. Mereka juga punya budaya menghafal yang kuat. Jadi kalau dikasih instruksi, tubuhnya langsung bereaksi sesuai instruksi. Kalau di luar Indonesia timur, akting itu kita desain,” imbuh Garin.
Apa yang diungkapkan Garin tersebut menjelaskan mengapa para pemeran yang asli Papua, meski banyak yang baru pertama kali berakting untuk layar lebar, bisa berakting dengan natural. Ini misalnya terlihat pada akting trio Dede, Arnol, dan Elias.
Kalaupun mereka terlihat agak kagok, itu hanya terjadi di adegan-adegan awal saja. Begitu pula dengan akting Joanita Chatari dan Ian Williams yang juga baru pertama kali tampil di layar lebar dan pendukung film lainnya yang asli Papua.
Hestu yang menjadi rekan duet Garin dalam menyutradarai Sepeda Presiden mengungkapkan, pengetahuan kultural Garin tentang Papua memang sangat berperan dalam penggarapan film yang pengambilan gambarnya dilakukan di Sorong dan Raja Ampat ini. Saat menggarap Sepeda Presiden, Hestu baru pertama kali ke Papua sehingga kurang memiliki pengetahuan kultural tentang Papua.
”Makanya saya selalu tanya setiap kali ambil adegan. Film ini memang tidak bisa kita set up seperti film-film lainnya yang biasa kita bikin. Mereka harus diberi ruang. Makanya dalam pemilihan shoot, ruang, benar-benar kita pilih agar bahasa tubuh mereka bergerak dan menjadi berwarna,” kata Hestu. Sepeda Presiden menjadi salah satu film Hestu yang melibatkan banyak pemain, sekaligus penggunaan lagu yang paling banyak.
Menurut Hestu, meski terkesan ringan, Sepeda Presiden menyampaikan pesan kuat. Sama halnya filosofi sepeda, Sepeda Presiden adalah simbol penyemangat agar Indonesia terus maju. ”Kita tidak boleh berhenti. Sekali kita berhenti (mengayuh) kita akan jatuh. Sepeda seperti itu. Jangan pernah berhenti (mengayuh) untuk maju. Itu pesannya,” ujar Hestu. Mari terus menyalakan semangat....