Preman dalam Potret Negeri
Suka tidak suka, apa yang ditampilkan dalam film ”Preman” menggambarkan sebagian wajah negeri ini. Kita bisa berkaca dari film ini.
Mereka bercokol di setiap kantong masyarakat. Katanya melindungi, tapi yang terjadi mereka justru menebar ancaman dan ketakutan. Lebih kuat atau berkuasa memang memuaskan, terlebih di tengah kesenjangan dan kemiskinan yang berputar bak lingkaran setan.
Preman adalah partikelir; swasta, bukan tentara; sipil, sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya). Setidaknya itu yang muncul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ketika menelusuri kata ”preman”. Definisi ini pula yang muncul sebagai pembuka film Preman besutan sutradara Randolph Zaini. Namun, benarkah demikian? Bisa ya, bisa juga tidak. Yang pasti film ini bukan pleidoi bagi para preman.
Bukan hal yang mudah untuk mengurai jejaring preman, baik di Indonesia maupun di negara lain. Kadang kala, mereka hanya perpanjangan tangan dari orang yang berkuasa. Bisa tuan tanah, pengusaha, atau malah negara dan aparatnya. Bahkan yang kasatmata, jejaring ini seolah berlindung di bawah undang-undang dengan label organisasi masyarakat.
Dalam buku Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi milik Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki disebutkan, kekerasan non-negara di Indonesia terus terjadi bukan karena negara dengan sengaja melakukan pembiaran. Akan tetapi, karena kenyataan bahwa elite politik dan ekonomi mengandalkan kekerasan itu untuk mengonsolidasi kekuasaan dan kepentingan mereka sendiri.
Tidak mengejutkan jika istilah ”dipelihara” disematkan pada kelompok ini, mengingat dengan berbagai polah yang meresahkan, keberadaan mereka justru langgeng. Adapun pertanyaan yang kerap muncul, ”Kok mau sih jadi preman?” atau ”Kok bisa sih jadi preman?” Jawaban mudahnya, tentu karena uang, serta representasi semu tentang kekuatan dan kekuasaan.
Kemiskinan dan kesulitan memperoleh pekerjaan membuat para lelaki memilih jalur ini. Di sisi lain, tergabung dalam grup yang identik dengan kekerasan ini dianggapnya meningkatkan citra diri sebagai lelaki, yakni macho, disegani, bisa berkuasa setidaknya dalam lingkup sekitarnya. Maskulinitas toksik.
Dengan masuk ke kelompok itu, ia ingin mengukuhkan jati dirinya. Padahal, enggak begitu juga harusnya.
”Itu yang dilakukan tokoh Sandi. Ia ingin dianggap ada. Apalagi setelah kecelakaan yang menimpa dirinya, ia merasa tidak berharga dan dinilai tidak berdaya. Dengan masuk ke kelompok itu, ia ingin mengukuhkan jati dirinya. Padahal, enggak begitu juga harusnya,” ujar Khiva Iskak, pemeran Sandi, ketika dijumpai seusai pemutaran filmnya, di Jakarta, Jumat (3/12/2021).
Keberadaan preman sudah ada sejak masa kerajaan di Tanah Air. Namun, istilah preman baru muncul pada era kolonialisme. Preman merupakan serapan dari bahasa Belanda vrijman yang berarti ’orang bebas’. Walakin, lambat laun arti ini mengalami peyorasi merujuk pada tindak tanduk kesehariannya yang akrab dengan memalak, memeras, berkelahi, hingga mengusir orang karena tak bayar ”jatah”.
Dari masa ke masa, praktiknya serupa. Hanya ketika Orde Baru berkuasa, jasa preman ini terlembaga. Bahkan, sebagian memiliki pakaian untuk para anggotanya. Namun, sekali lagi, terlembaga atau tidak, preman ini diakui saat jasanya dibutuhkan atau bersedia mengikuti aturan yang berkuasa. Jika tidak, mereka juga kena libas. Bahkan, bisa ditumpas.
Peristiwa penembakan misterius atau dikenal dengan Petrus pada era 1980-an yang sejatinya merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat menjadi gambaran. Dengan dalih melindungi masyarakat, Orde Baru melakukan penembakan misterius terhadap orang bertato atau yang diduga gali atau gabungan anak liar. Musuh yang sengaja diciptakan sendiri, lalu dilawan sendiri layaknya pahlawan.
Dalam film yang tayang perdana di Seattle International Film Festival 2021 ini, Randolph memaparkan gambaran di atas dengan mulus sekaligus menegaskan tema perundungan yang sesungguhnya bisa terjadi di mana saja.
Ada satu yang sangat universal dalam premanisme, yaitu praktik bully. Ini dari zaman VOC, saat ada budak yang dimandori sesama budak, lalu karena merasa sebagai mandor, ia menindas.
”Ada satu yang sangat universal dalam premanisme, yaitu praktik bully. Ini dari zaman VOC, saat ada budak yang dimandori sesama budak, lalu karena merasa sebagai mandor, ia menindas. Sama-sama diperbudak lalu menindas sesamanya, tapi tidak sadar. Bully ini terjadi di keluarga, kantor, di banyak tempat. Preman ini menjadi gambaran umum,” ujar Randolph yang mengalami sendiri didatangi kelompok preman setempat saat sedang pengambilan gambar di salah satu lokasi di Bekasi, Jawa Barat.
Jalinan ceritanya pun dipenuhi simbol yang ditampilkan lewat tokoh, properti dan kostum, hingga dialog. Sandi yang merupakan tokoh utama dalam film ini digambarkan sebagai seorang tuli. Ia bergabung dengan kelompok massa bernama Perkasa.
”Karakter utamanya tuli. Ini sebagai bentuk gambaran isolasi diri terhadap lingkungan sekitar. Dalam hal ini, Sandi tidak cocok dengan apa yang dilakukan. Karakternya pun didefinisikan dengan tindakan dia, bukan dengan kata-kata. Di sisi lain, tuli ini juga menjadi yang termarjinalkan. Padahal, semua berhak dapat kesempatan yang sama. Ini menjadi ruang bagi kaum yang termarjinalkan,” tutur nomine sutradara terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2021 ini.
Berbicara kaum marjinal dalam film yang merebut dua Piala Citra pada FFI 2021 ini, kemunculan tokoh Ramon (Revaldo) menjawabnya. Ramon merupakan penata rambut terkenal. Perangai, sikap, dan tutur katanya digambarkan lembut, sopan, dan halus. Ia pun mendapat label ”banci” dari anggota Perkasa yang merasa lebih laki-laki.
Di sekitar kita, sosok seperti Ramon kerap kali dirundung, baik verbal maupun fisik. Hanya karena dianggap tak sesuai dengan konsep maskulin yang salah kaprah. Ramon pun terasa menjadi simbol perlawanan maskulinitas toksik.
Kembali pada Perkasa, kelompok yang akrab dengan kekerasan terhadap masyarakat ini dipimpin oleh tokoh Pak Guru (Kiki Narend). Sosoknya pun digambarkan selalu mengenakan seragam coklat seperti pejabat negara.
Tingkahnya santun di depan murid dan masyarakat. Akan tetapi, ia culas dan serakah. Sama dengan koruptor di negeri ini. Berpenampilan perlente seakan terhormat, tapi menginjak rakyat demi memuaskan nafsu memupuk harta dan membuktikan kuasa.
Adapula tokoh Komandan (Gilbert Pattiruhu) yang merupakan petinggi polisi yang menggunakan jasa preman untuk melancarkan kerjanya. Ada juga tokoh Haji (Egi Fedly) yang menyebut dirinya sebagai orang yang mendirikan kelompok massa untuk tujuan kemaslahatan masyarakat.
”Preman, di sini kelompok Perkasa, polisi, apa pun instansinya, hanya sebuah instansi yang sebenarnya punya kekuatan dan bisa disalahgunakan jika berada di tangan yang tidak betul,” kata Randolph.
Menariknya, tokoh yang berani dan memiliki nurani jernih digambarkan pada sosok bocah, yaitu Pandu (Muzakki Ramdhan), serta dua perempuan, yakni Mayang (Putri Ayudya) dan Cherry (Salvita Decorte).
Suka tidak suka, apa yang ditampilkan dalam layar lebar itu merupakan sebagian wajah negeri ini. Keadilan yang kotor, kalau mengutip kata Pak Guru. Namun bukan berarti harus ikut-ikut terjerumus agar dianggap ada.
Suara hati adalah kuncinya. Untuk mendengarnya, tak perlu juga telinga.