”The Matrix Resurrections”, Kembalinya Sang Terpilih
”The Matrix Resurrections” membuat para penggemar bernostalgia terhadap trilogi The Matrix. Kehadiran tokoh-tokoh asli di tiga film sebelumnya memantik antusiasme penonton.
Setelah hampir dua dekade, sekuel dari film trilogi The Matrix, yang terkenal dengan adegan ikonik bullet time-nya ini, kembali hadir. The Matrix Resurrections akan membawa penggemar bernostalgia. Film juga menjawab teka-teki keberadaan Neo dan Trinity yang berkorban di akhir perang antara manusia dan mesin kecerdasan buatan pada film ketiga.
Neo sebagai Thomas Anderson (Keanu Reeves) kembali ke kehidupan lamanya yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar komputer. Namun, kali ini, Anderson yang lebih tua bukan seorang peretas, melainkan perancang gim video terkenal peraih penghargaan.
Anderson, yang telah sukses, tengah merasa kosong dan depresi, serta merasa ada yang janggal dalam hidupnya. Sementara perusahaannya sedang mempersiapkan sekuel gim video The Matrix setelah berhasil dengan tiga gim video, Matrix 1, 2, dan 3.
Tak hanya depresi, Anderson juga sering merasa dejavu dan sulit membedakan antara kehidupan nyata dan kisah di dalam gimnya. Salah satunya saat bertemu Trinity (Carrie-Anne Moss) di sebuah kedai kopi. Itu bukanlah Trinity yang ada dalam pikirannya, melainkan Tiffany, ibu rumah tangga di pinggiran kota yang menjalani kehidupan dengan suami dan tiga anaknya serta menyukai motor sport.
Saat Anderson bingung dengan kehidupannya, psikiater (Neil Patrick Harris) terus mengingatkan agar ia berhenti berhalusinasi. Seperti biasa, resep pil biru dari psikiater akan membantu. Namun, pil biru tak lagi ampuh dan Anderson justru merasa semakin buruk dan beberapa kali tanpa sadar mencoba melompat dari atap gedung pencakar langit.
Di tengah kekacauan itu, Morpheus versi muda (Yahya Abdul-Mateen II) bersama sekelompok pasukan Kapten Bugs (Jessica Henwick) menjumpai Anderson. Diungkaplah jati diri Anderson sebagai Neo, kawan seperjuangan Morpheus di masa perang. Morpheus menawarkan dua pilihan, pil merah dan pil biru. Merah bakal menunjukkan realitas sesungguhnya, biru bertahan dengan kesemuan realitas virtual.
Setelah serangkaian adegan baku tembak antara pasukan Kapten Bugs dan pasukan bot penjaga dunia Matrix, Anderson yang ragu akhirnya memakan pil merah. Neo ”Sang Terpilih” terlahir kembali ke dunia nyata. Perlahan, ia menyadari siapa dirinya dan apa yang sedang terjadi. Sang kekasih, Trinity, yang ”tersesat” di realitas Matrix sembari tubuhnya menjadi baterai bagi para mesin, harus diselamatkan.
Neo dan kawan-kawan sekali lagi bertualang di dunia Matrix. Kebebasannya telah mengganggu keseimbangan program komputer itu dan berpotensi memantik peperangan antara manusia dan mesin. Langkah Neo bakal dihadang The Analyst, sistem keamanan Matrix, yang menjelma sebagai psikiater, serta Agen Smith (Jonathan Groff), sang musuh bebuyutan, yang kembali berinkarnasi.
Bagi penonton baru, jalan cerita film ini memang membingungkan. Salah satu penjaga bioskop saat screening The Matrix Resurrections di Jakarta, Selasa (21/12/2021), mengaku bingung kepada temannya. ”Ini arah filmnya ke mana, sih?” katanya seusai pemutaran film. Maka, penonton disarankan menyaksikan dulu trilogi film The Matrix (1999), The Matrix Reloaded (2003), dan The Matrix Revolutions (2003) agar tetap nyambung.
The Matrix Resurrections tayang di bioskop Indonesia dan HBO Max sejak Rabu (22/12/2021). Film besutan sutradara Lana Wachowski (dulu Larry Wachowski) ini kembali menghadirkan muka-muka lama, antara lain Keanu Reeves, Carrie-Anne Moss, dan Jada Pinkett Smith. Mereka berkolaborasi dengan pemain baru Jessica Henwick, Yahya Abdul-Mateen II, Neil Patrick Harris, Jonathan Groff, dan Priyanka Chopra.
Film keempat ini melanjutkan kisah pada trilogi The Matrix, yang sebelumnya disutradarai The Wachowskis: Lana dan Lilly Wachowski (dulu Andy). Sekuel mengambil latar waktupuluhan tahun setelah gencatan senjata antara manusia bebas (penduduk Zion) dan mesin kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang memelihara manusia sejak bayi sebagai sumber energi. Manusia bebas hidup damai dengan mesin, beberapa mesin bahkan menjadi kawan.
Kami memiliki beberapa adegan di mana Tiffany dan Thomas minum kopi—bagi kami, itu sangat emosional. Itu hampir seperti, bagaimana kita tidak menangis? (Keanu Reeves)
Bernostalgia
The Matrix Resurrections membuat para penggemar bernostalgia terhadap trilogi The Matrix. Kehadiran tokoh-tokoh asli di tiga film sebelumnya memantik antusiasme penonton. Sejumlah penonton di bioskop berseru ketika Neo, Trinity, dan Niobe (Jada Pinkett Smith) pertama kali muncul kembali di film bergenre fiksi ilmiah dan aksi laga ini.
Aksi Neo dan Trinity pada film ini membangkitkan kenangan apiknya kisah mereka di masa lampau. Reeves dan Moss memang lebih tua dan tidak selincah dulu, tetapi mereka tetap mampu menghidupkan kembali karakter Neo dan Trinity. Apalagi reuni Neo dan Trinity dibumbui pula dengan kisah asmara yang romantis.
”Kami memiliki beberapa adegan di mana Tiffany dan Thomas minum kopi—bagi kami, itu sangat emosional. Itu hampir seperti, bagaimana kita tidak menangis?” kata Keanu Reeves, berkomentar tentang reuninya dengan Carrie-Anne Moss di film The Matrix Resurrections, dalam siaran pers.
Muatan nostalgia semakin kental saat cuplikan-cuplikan tiga film terdahulu dimunculkan di dalam cerita. Beberapa adegan diduplikasi ulang, seperti adegan Morpheus menawarkan pil merah dan biru atau adegan polisi menggerebek Trinity versi lain di sebuah kamar apartemen.
Baca juga : Dari Pandemi, Korupsi, hingga ”Teka Teki Tika”
Selain itu, film juga tetap mempertahankan adegan ikonik film, seperti bullet time,adegan menghindari peluru dengan gerak lambat (slow motion) dan adegan Neo menghentikan atau membelokkan peluru. Aksi tembak-tembakan, perkelahian, kungfu, parkur, kebut-kebutan, hingga terbang layaknya Superman juga mengisi beberapa bagian film ini.
Kehadiran karakter-karakter baru membuat film lebih segar. Henwick memerankan dengan baik karakter Kapten Bugs, tentara ”nakal” dan beberapa kali melanggar perintah atasan. Begitu pula dengan Abdul-Mateen II, yang memerankan Morpheus muda dengan gaya yang lebih santai dan humoris dibanding Morpheus versi Laurence Fishburne.
Lawakan-lawakan kecil yang disisipkan membuat film terasa lebih ringan dibandingkan film terdahulu, yang cenderung serius. Misalnya, ketika para karakter memarodikan rencana Warner Bross, perusahaan induk studio tempat Neo bekerja, untuk membuat sekuel gim video The Matrix.
Atau ketika Morpheus mengomentari adegan kuno saat pertemuan pertama Morpheus-nya Fishburne dengan Neo di sebuah gedung tua dengan pakaian serba hitam dengan efek cahaya gelap dan kilatan petir. Di film baru, Neo bertemu Morpheus, yang mengenakan pakaian berwarna, di toilet kantor.
Detail-detail lainnya coba disesuaikan dengan perkembangan zaman. Salah satunya, para karakter tidak perlu lagi menyentuh gagang telepon untuk kembali ke dunia nyata dari dunia Matrix.
Sama seperti trilogi sebelumnya, Wachowski tetap mengusung tema tentang kebebasan. Manusia dihadapkan pada pilihan: hidup nyaman dalam realitas palsu dunia Matrix sembari energi terus diisap oleh para mesin atau hidup bebas menghadapi realitas yang sesungguhnya. Neo, pahlawan penduduk Zion, sekali lagi memilih bebas dengan menenggak pil merah.
Secara implisit, itu bisa dimaknai sebagai pengingat untuk para pekerja kantoran. Bagi yang merasa kosong dan bosan dengan rutinitas yang sama bertahun-tahun, kenapa tidak mencoba bertualang dan keluar dari zona itu? Lebih jauh, ini mengingatkan pula generasi sekarang yang seolah teperdaya oleh dunia virtual internet. Kenapa tidak bangun dan hadapi saja kenyataan ini?
Pesan lainnya hadir lewat karakter Kapten Bugs. Tidak apa-apa sedikit nakal dan melanggar aturan demi suatu tindakan yang diyakini benar. Bugs dipecat Jenderal Niobe karena nekat membebaskan sang idola, Neo, dari dunia Matrix.
Tidak berkembang
Terlepas itu semua, The Matrix Resurrections tak menawarkan hal besar. Wachowski memang bisa membuat kehadiran kembali Neo dan Trinity, yang tampak sudah mati pada The Matrix Revolutions, menjadi masuk akal. Namun, ceritanya dangkal dan tidak berkembang karena hanya berpusat pada dua sejoli itu.
Konflik yang dihadirkan di dalam cerita juga kurang menggigit meskipun program Matrix dirancang lebih kuat dan lebih aman dari gangguan. The Analyst sebagai antagonis utama, meskipun jauh lebih cerdas dan menyebalkan, tidak terasa seperti ancaman serius. Pun sangat sedikit pertaruhan dan pengorbanan dalam film ini.
Padahal, poin-poin itulah yang membuat trilogi The Matrix menjadi seru. Neo muda dan kawan-kawannya selalu dihadapkan pada masalah yang nyaris mustahil dipecahkan, tetapi secara ajaib bisa teratasi. Itulah yang mengukuhkan status Neo sebagai ”The One” atau ”Sang Terpilih”, yang membukakan pintu kedamaian bagi penduduk Zion. Trilogi awal juga penuh pertaruhan dan pengorbanan yang membuat perjuangan lebih bermakna.
Film sepanjang 148 menit ini lebih terasa sebagai film nostalgia saja, baik bagi pemain maupun penggemar. Sekuel berusaha memanfaatkan lagi sisa-sisa kesuksesan triloginya. Trilogi The Matrix melampaui zaman dan menawarkan gagasan baru untuk film aksi laga dan fiksi ilmiah. Itu menjadirujukan bagi film-film sejenis di kemudian hari.
Walakin, secara keseluruhan, film The Matrix Resurrection menghibur dan bisa mengobati kerinduan para penggemar. Jadi, bila Anda bosan dengan rutinitas harian, mau pilih pil biru atau merah?
Baca juga : Jaseng Mendamba Oscar