Film Cinta Bete menekankan pentingnya membangun komunikasi yang baik di dalam keluarga. Pola asuh yang diterapkan orangtua akan berpengaruh pada sang anak.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
Tidak sepatutnya menggantungkan kebahagiaan hidup pada seseorang atau suatu hal. Namun, mengambil langkah sendiri juga punya konsekuensi. Jika hasilnya jauh dari ekspektasi, kita akan kecewa. Untung ada keikhlasan yang bisa mengatasi semuanya.
Cinta bisa membuat seseorang jadi sangat bahagia hingga berbuat nekat! Terlebih saat hubungan cinta tidak mendapat restu orangtua. Dalam situasi seperti itu, orang sering kali dihadapkan pada pilihan yang dilematis: apakah berusaha keras meyakinkan orangtua atau memilih lari? Seberapa jauh keputusan yang dipilih bisa memberi kebahagiaan bagi diri sendiri atau pada akhirnya malah menuai musibah?
Cinta, jalan yang dipilih seseorang, dan konsekuensinya itulah yang coba digali dalam film Cinta Bete yang dirilis pada 18 November 2021 di seluruh Indonesia. Film ini berkutat pada kisah cinta seorang perempuan bernama Bete yang tidak semulus jalan tol. Ada lubang, tikungan tajam, tanjakan, dan turunan di sepanjang jalan yang dilalui Bete, seperti tiadanya restu orangtua, perbedaan status sosial, dan kekerasan.
Ini sebuah alur cerita yang terkesan sangat biasa dan klise lantaran sudah terlalu sering diangkat di layar kaca atau layar lebar. Meski begitu, tema seperti ini tetap menyisakan ruang untuk terus digali dan ditempatkan pada konteks yang berbeda-beda. Selain itu, urusan cinta, toh, banyak lapisannya dan penyelesaiannya bisa beragam dan tak terduga. Ruang ini yang tampaknya coba dimanfaatkan oleh pembuat film Cinta Bete.
Cinta Bete dibuka dengan adegan persahabatan sepasang remaja, yakni Bete Kaebauk (Daniella Tumiwa) dan Emilio (Adam Farrel Xavier). Kedekatan keduanya menimbulkan dugaan bahwa mereka menjalin hubungan spesial. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Bete diam-diam memang memendam perasaan suka pada Emilio sejak lama lantaran laki-laki itu sering memperlakukan Bete dengan manis dan menaburkan kata-kata indah. Selain itu, Emilio pernah berjanji akan menjaga Bete. Namun, seiring waktu, cinta Bete dewasa (Hana P Malasan) bertepuk sebelah tangan karena Emilio dewasa (Marthino Lio) memilih jalan hidup sebagai pengantin Yesus atau seorang pastor. Bete pun patah hati.
Patah hati pada cinta pertama lumrah terjadi pada sejumlah orang. Mungkin sebagian orang bakal menyibukkan diri hanyut dalam aktivitas harian. Sebagian lagi akan mencari sosok baru dengan harapan bisa melupakan sosok yang lama. Dalam fase ini, seseorang rentan untuk terjebak dalam hubungan yang ”seadanya” akibat tergesa-gesa ingin keluar dari kekecewaan. Orang dengan mudah terlena pada janji manis dan percaya begitu cepat.
Ternyata Bete mengalaminya. Kekosongan hatinya segera diisi oleh kehadiran Elfredo (Yoga Pratama). Hidup Bete yang sempat meredup lantaran patah hati kembali menyala. Tetapi, itu tidak lama. Ketika Elfredo melamarnya, orangtua dan keluarga besar Bete justru menolaknya lantaran Elfredo tidak bisa membayar mahar (belis). Selain itu, pekerjaan Elfredo dianggap tidak menjanjikan.
Bete dan Elfredo melawan dan sepakat lari dari keluarga untuk menentukan jalan hidup mereka berdua. Dengan cara itu, mereka berharap bisa menggapai kebahagiaan. Tetapi, apa yang terjadi? Langkah ini justru menjadi awal dari serentetan konflik, kekecewaan, kehilangan, dan kegagalan yang datang bertubi-tubi dan mesti ditelan oleh Bete. Elfredo ternyata bukan sosok yang ia bayangkan.
Bete harus menerima kenyataan bahwa untuk bahagia tak cukup dengan cinta. Ternyata cinta bisa bikin bete dan depresi. Sudah begitu, ia masih mengalami kekerasan dari keluarga. Ketika Bete sedang hancur, Emilio datang menepati janji: menjaga Bete, tetapi bukan sebagai kekasih.
Kisah kasih tak sampai dalam Cinta Bete ditempatkan dengan latar belakang Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang indah. Namun, keindahan itu terasa kontras dengan kehidupan Bete yang merana. Pembuat film juga berusaha membingkai cerita dalam realitas kehidupan dan problema yang biasa dihadapi masyarakat Atambua.
Muspita Leni Lolang, produser dan penulis cerita Cinta Bete, menceritakan, film ini dibuat setelah melalui riset pada pertengahan 2018. Untuk menggali lebih jauh perihal budaya dan konflik yang terjadi di tengah masyarakat, ia berdiskusi dengan para pastor, tetua adat, dan masyarakat lokal. Pengambilan gambar membutuhkan waktu satu setengah bulan. Namun, penyelesaian film berlangsung sekitar satu setengah tahun karena terkendala pandemi Covid-19.
”Story dan penokohannya memang fiksi, tetapi konflik tentang perempuan dan kehidupannya itu universal. Di suatu daerah mana pun pasti akan menemukan hal-hal yang serupa,” ucap Leni.
Hasil akhirnya bisa kita saksikan dalam Cinta Bete yang disutradarai Roy Lolang. Dalam film ini, banyak lapisan konflik yang terhubung satu sama lain. Kehidupan Bete yang merana, misalnya, tidak hanya disebabkan oleh cinta tak sampai, tetapi juga terkait dengan kultur kekerasan, pembedaan manusia berdasarkan status sosial, dan ketidaksetaraan jender.
Dalam film ini, Bete merupakan representasi perempuan yang marjinal. Perempuan yang salah langkah dan berakhir menjadi korban kekerasan laki-laki dan budaya patriarki. Saat itu terjadi, ia tak berdaya untuk melawan. Dan, di film ini ia mesti dibimbing oleh laki-laki, yakni Emilio, untuk keluar dari serentetan kegagalan.
Roy Lolang mengatakan, film ini menekankan pentingnya membangun komunikasi yang baik di dalam keluarga. Pola asuh yang diterapkan orangtua akan berpengaruh pada sang anak. ”Pada akhirnya, Bete menjadi korban karena didikan ayahnya. Mendidik anak itu enggak bisa dengan otoriter, semuanya harus dikomunikasikan,” kata Roy.