Pita Kaset yang Menolak Kusut
Popularitas kaset meroket di Indonesia ketika perusahaan rekaman bermunculan memindahkan rekaman dari piringan hitam ke kaset.
Kaset punya peran unik di Tanah Air. Sekitar 50 tahun lalu, kaset adalah pilihan ekonomis bagi penikmat musik yang tak sanggup membeli piringan hitam. Di era musik didengar secara streaming yang kualitasnya teramat bening, kaset masih mendesis, menghidupi orang-orang yang mencintainya.
Kaset adalah media yang mengancam supremasi piringan hitam. Meski kualitasnya tak sehebat piringan hitam, kaset lebih praktis. Dari pemberitaan Kompas, pada 1971, harga sekitar Rp 600 per kaset bisa memuat hingga 20 lagu dengan dimensi ringkas. Sementara piringan hitam harganya Rp 1.200 dengan daya tampung sekitar 12 lagu.
Kaset juga jauh lebih mudah didapat, apalagi album lagu Barat, yang harus diimpor atau beli di luar negeri. Tak heran, kaset jadi primadona baru sejak diproduksi massal pada 1964.
Popularitas kaset meroket di Indonesia ketika perusahaan rekaman bermunculan memindahkan rekaman dari piringan hitam ke kaset. Label ini belum kenal hak cipta. Dasar hukum perlindungan hak cipta baru lahir pada 27 Mei 1988 melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988 dan berlaku sejak 1 Juni tahun itu.
Jan Djuhana adalah produser bertangan dingin yang memulai karier dari label semacam ini. Di tahun 1970-an, ia dan sejumlah rekannya mendirikan Star Cemerlang. Usaha ini bergabung dengan label lain, Saturn, Top, dan Prambors Cassete, menjadi Team Records.
”Ada teman di Belanda mengirim piringan hitam baru. Saya pantau tangga lagu Billboard. Mana yang menanjak, buru-buru kami produksi kasetnya. Adu cepat dengan label lain,” kata Jan, Rabu (13/10/2021), di Jakarta. Team Records bisa memproduksi lebih dari 10 album per bulan.
Penjualan kaset Team Records punya pasar bagus di Jakarta, terlebih di Denpasar, Bali. ”Ada turis Australia memborong kaset kami berkardus-kardus. Di negaranya, toko-toko sudah memesan,” ujarnya.
Sebelum memproduksi album penyanyi dalam negeri seperti album awal KLa Project dan Dewa 19, Team Records mengedarkan album populer dari dunia Barat, semisal katalog lengkap Rolling Stones, The Beatles, hingga Iron Maiden. Label ini dan sebangsanya bisa dibilang berperan besar memasyarakatkan lagu ”orang gedongan” lewat kaset yang murah dan terjangkau meski caranya menyalin diam-diam.
”Ledakan” kaset menjadi-jadi pada dekade 1980-an. Berdasarkan buku Rock N Roll Industri Musik Indonesia karya Theodore KS, produksi kaset Indonesia dan Barat mencapai 80 juta keping per tahun.
Lokananta yang memproduksi kaset secara legal merasakan imbasnya. Pada tahun 1984, mereka menangguk laba Rp 98 juta dengan omzet 504.285 kaset (Kompas, 20/12/2014).
Perusahaan negara di Solo, Jateng, ini masih menggandakan kaset. Sejak didirikan pada 1956, Lokananta banyak memproduksi rekaman lagu nasional, langgam daerah, juga pop nostalgia. Berawal dari piringan hitam, Lokananta beralih ke kaset pada 1970-an. Pergantian kaset menjadi CD dan digital sempat menurunkan pamor Lokananta.
Antusiasme baru
Sekitar 10 tahun terakhir, Lokananta berdenyut kembali. Mereka menggandakan kaset band indie. Bagi band baru, kaset amat membantu. Mereka tak perlu mencetak ratusan kopi—minimum order CD biasanya 500 keping. Rata-rata mereka cukup memproduksi 50-300 keping demi melihat respons pasar. Dan, Lokananta mau mengerjakannya.
Antusiasme ini diramaikan label Jakarta La Munai Records. Sejak September 2021, label yang dijalankan Rendi Pratama dan empat temannya dari 2017 ini memulai Kaset Klub, bekerja sama dengan kolektif Les Siebon. Album teranyar Bangkutaman dan album mini perdana Puff Punch adalah keluaran pertama program tersebut.
Kaset Klub, kata Rendi, dijalankan untuk mengarsipkan karya fisik. Kaset dipilih karena paling terjangkau banyak golongan dan bisa dikerjakan di dalam negeri. Penggandaannya di Lokananta. Album fisik tetap diperlukan penggemar, juga pemusiknya.
”Enggak semua band (atau musisi) dapat untung kalau hanya mengandalkan streaming. Royaltinya kecil dan butuh banyak pihak kalau mau menonjol,” kata Rendi di toko rekamannya, La La Records, Jakarta.
Kaset Klub menerima demo lagu dari seluruh Indonesia. Ketika ditemui pada pekan ketiga September lalu, Rendi sudah punya 10 band/musisi yang bakal dirilis kasetnya dan terus bertambah. Musiknya beragam, mulai pop atau rock konvensional sampai world music experimental.
”Setiap rilisan dibikin publikasinya. Kalau mengandalkan streaming, belum tentu ada yang ngeh dengan karya mereka,” katanya. Sebagai perbandingan, Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat (RIAA) menghitung royalti satu album berisi 10 lagu setara 1.500 kali putar secara streaming, angka yang tak mudah dikejar bagi musisi/band ”antah berantah” minim promosi.
Bangkutaman termasuk satu dari sedikit band relatif tenar yang dirilis La Munai Records. Grup yang kini terdiri dari Wahyu ”Acum” Nugroho (vokal dan gitar), Madava Nanda (bas), dan Christo Putra (drum) ini akrab dengan kaset.
”Sejak belum kenal nada dering (RBT), sudah terbiasa dengan kaset. Album pertama dibikin kaset. Album mini awal juga begitu,” kata Acum. Band ini terbentuk pada 1999 di Yogyakarta dan mengeluarkan album perdana saat kaset sedang bersaing dengan CD.
Musik Bangkutaman ada di ranah pop alternatif. Dalam konteks streaming, penikmat kaset hari ini juga tergolong ”orang-orang alternatif”, tak mengikuti arus utama.
Baca juga : Bangkutaman, Peristiwa Hidup
Album terbaru berjudul Dinamika dicetak sebanyak 300 keping kaset, dengan harga Rp 75.000 per biji. Ketika berbincang melalui telepon, Minggu (10/10/2021), Acum bilang stoknya hampir habis. Lima tahun lalu, La Munai mencetak album mini Rileks sebanyak 300 keping yang ludes dalam sehari.
Acum yakin pasar kaset masih ada dan makin besar. ”(Pembelinya) masih ada meski orangnya itu-itu lagi. Kaset masih didengar, cuma diperlakukan sebagai kenang-kenangan atau produk rekaman, terserah pembeli,” katanya. Hingga Rabu (20/10/2021), album Dinamika absen dari etalase streaming seperti Spotify dan Apple Music.
Penikmat cara digital hanya bisa mendengarnya di situs Bandcamp atau membeli file digitalnya di The-StoreFront.club. Beberapa rilisan La Munai Records menerapkan cara serupa. Bandcamp dan The Store Front memberi royalti lebih besar dibandingkan dengan streaming umumnya, yaitu 80-90 persen dari harga jual untuk pemegang hak lagu.
Bahan daur ulang
Solois Sandrayati Fay juga baru merilis kaset album mini bertitel Nest berisi enam lagu. Pada 2020, album mini bernuansa akustik itu terpasang di layanan streaming—hanya lima lagu.
”Album fisik ibarat monumen. Bisa didengar sekaligus dipajang. Kalau digital, mau pajang apa,” kata Felix Dass, manajer Sandrayati. Penyanyi dan penulis lagu kelahiran Bali itu tinggal di Eslandia sehingga produksi kasetnya dikerjakan Felix di Jakarta.
Nest berbeda dengan kaset kebanyakan. Beberapa bahannya dari daur ulang, seperti cangkang pita, juga kotak kemasannya. Felix membeli cangkang bekas dari lokapasar daring. Sementara kotak kemasan adalah barang lama dari gudang rekanan Lokananta, tempat duplikasi kasetnya.
Pengiriman tak pakai bungkus plastik berongga. Ini mengurangi sampah plastik. Sementara pitanya pakai pita baru—bukan pita timpaan—demi menjaga kualitas suara.
Sandra dan manajemennya mencetak 70 kaset—telah terjual 50 biji hingga Sabtu (16/10/2021). Ongkos bikin satu kaset Rp 27.000 dijual seharga Rp 75.000. Potongan 30 persen dari harga jual diberikan untuk toko.
”Kami mendukung pengecer ini. Mereka bisa memengaruhi pembeli untuk mendengar album lain rekomendasi mereka. Itu jadi promosi band/musisi, kan,” kata Felix.
Pengecer berkumpul di Cassette Week berskala global pada 10-17 Oktober lalu. Di Indonesia, salah satu lokasinya di toko Heyfolks, Tangerang, Banten, diikuti 10 pengecer, pada 16-17 Oktober. Acara ini juga terjadi antara lain di Denpasar, Salatiga, Yogyakarta, dan Makassar.
Perhelatan ini, kata Acum, memicu semangat memproduksi album fisik. ”Memicu anak muda merilis kaset meski tak masif,” katanya.
Selama belum berhenti berputar, kaset tetap jadi alternatif. Musisi punya pilihan kanal, menambah pendapatan dari streaming. Pengganda seperti Lokananta tetap kebagian order. Bagi penggemar, ada barang baru dipajang di rak.