Kisah Narapidana Pembunuh Bayaran di Negeri Korup
Cerita dalam ”On the Job: The Missing 8” terinspirasi kejadian nyata kasus penghilangan orang secara paksa dan pembunuhan berlatar politik, Pembantaian Maguindanao, tahun 2009.
Menonton miniseri On the Job di HBO Go rasanya seperti mengikuti perjalanan kisah film dokumenter tentang betapa rusak, korup, serta morat-maritnya kondisi sebuah negeri.
Serial bernuansa gelap (noir) yang terdiri atas enam episode ini terinspirasi dari sejumlah kejadian nyata, yakni kisah yang terjadi di negeri asal pasangan sutradara dan penulis naskah Erik Matti dan Michiko Yamamoto, Filipina.
Miniseri ini adalah hasil garapan ulang Matti khusus untuk ditayangkan di HBO Asia Originals. Keenam episode tersebut diadaptasi dari dua film layar lebar Matti sebelumnya, On the Job (2013), dan sekuelnya, On the Job: The Missing 8 (2021). Film sekuel ini diputar dalam kompetisi Festival Film Venice ke-78 tahun 2021 dan mendapat apresiasi luar biasa berbentuk standing ovation penonton selama lima menit.
Setelah film itu dibeli, secara khusus HBO Max meminta Matti memformat ulang kedua sekuel menjadi format miniseri. Matti dan sang istri menggarap dan mengedit ulang materi versi film On the Job tahun 2013 ke dalam dua episode awal versi serial. Sejumlah bahan, yang awalnya tak lolos pengeditan di versi layar lebar lantaran dianggap membuat jalan cerita bertele-tele, dimasukkan kembali dan jadi memperkaya alur cerita kedua episode awal ini.
Dua episode awal tersebut berkisah tentang sepak terjang dua narapidana pembunuh bayaran, Tatang (Joel Torre) dan Daniel (Gerald Anderson). Juga cerita tentang perpolitikan kotor di seputar politisi serta birokrat lingkaran pemerintah pusat.
Tatang dan Daniel adalah dua narapidana di salah satu penjara di Manila. Bukan sekadar narapidana biasa, mereka secara rutin juga berperan sebagai pembunuh bayaran, yang dapat masuk-keluar penjara dengan mudah saat menjalankan aksinya akibat campur tangan para politisi busuk, birokrat, dan aparat keamanan korup.
Konon Matti mendapat ide membuat kisah ini setelah pernah mendengar cerita kehidupan penjara dari salah seorang kru filmnya, yang seorang mantan narapidana.
Metode memanfaatkan narapidana sebagai pembunuh bayaran seperti itu digambarkan juga terjadi di beberapa kota lain, salah satunya La Paz, yang juga menjadi inti cerita dari empat episode berikutnya.
Kisah di empat episode lanjutan ini bertempat di kota kecil yang korup, di mana seorang politisi dan juga kepala daerah berkuasa dan bisa menentukan segalanya. Cerita dalam On the Job: The Missing 8 terinspirasi kejadian nyata kasus penghilangan orang secara paksa dan pembunuhan berlatar politik, Pembantaian Maguindanao.
Pada peristiwa tahun 2009 itu, 58 orang diculik dan dibunuh. Sebagian korban adalah jurnalis yang melawan dengan mengkritisi kelaliman pemimpin daerah yang korup dan keji lewat pemberitaan mereka.
Pada cerita tersebut, tokoh utama terpusat pada seorang jurnalis yang juga penyiar radio lokal populer di kota kecil La Paz, Sisoy Salas (John Arcilla). Sisoy awalnya sangat dekat dan memuja sosok pemimpin daerah setempat, Wali Kota Pedring Eusebio (Dante Rivero), sebagai patronnya.
Belakangan, kekaguman itu berubah ketika orang-orang dekat yang ia kenal tiba-tiba menghilang. Mereka termasuk sang sahabat sesama pemimpin redaksi di surat kabar lokal, Arnel Pangan (Christopher de Leon), beserta anaknya, yang juga anak baptis Sisoy, berusia delapan tahun.
Berkat aktingnya yang gemilang dan meyakinkan, Arcilla diganjar penghargaan bergengsi Volpi Cup for Best Actor di Venice Film Festival 2021. Sejumlah artis film besar Hollywood, semacam Brad Pitt, Ben Affleck, Adam Driver, dan Joaquin Phoenix, pernah dianugerahi penghargaan yang sama.
Baca juga : Dalam Satu Bulan, Dua Film Indonesia Menang di Festival Film Internasional
Penghargaan kelas internasional juga sebelumya diperoleh salah seorang pemeran utama film On the Job (2013), Joel Torre, pemeran Tatang sang narapidana pembunuh bayaran. Torre menang dalam dua kategori di 17th Puchon International Fantastic Film Festival, Korea Selatan, sebagai aktor terbaik dan kategori Jury’s Choice Prize.
Media korup
Pada cerita berlatar kota kecil La Paz, Matti secara spesifik memang ingin bercerita seputar independensi jurnalisme dan media massa. Hal itu direpresentasikan lewat tokoh Sisoy, yang selain dikenal sebagai seorang penyiar radio populer, juga anggota redaksi surat kabar lokal yang dijalankan bersama sahabat karibnya.
Selain harus berhadapan dengan pemerintahan dan aparat yang korup, dalam kisah ini tokoh Sisoy dan surat kabar lokalnya juga harus berhadapan dengan berita bohong dan kabar hoaks. Informasi abal-abal yang dengan gampang menyebar lewat media sosial dan kerap kali memang di-setting keberadaannya.
Dalam wawancaranya dengan The Hollywood Reporter, Matti bercerita, problem yang digambarkan dalam film keduanya itu dapat dengan mudah ditemukan dalam dunia nyata. Di beberapa daerah pinggiran, terkadang sejumlah media massa lokal dengan sirkulasi kecil mengandalkan keberlangsungan hidup mereka dengan ”mencantol” ke penguasa setempat.
Mereka, seperti juga digambarkan dalam filmnya, akan melayani kepentingan siapa saja yang tengah berkuasa. Mereka tak ragu untuk melindungi patron dan penguasa tersebut, bahkan untuk tidak diberitakan walau mereka diketahui terkait dengan satu kejadian.
”Jadi, yang aneh adalah pada satu sisi Anda ingin menulis dan meliput apa yang memang seharusnya Anda liput dan beritakan. Namun, di sisi lain Anda juga dalam posisi sangat dekat dengan orang yang akan Anda beritakan tadi. Si jurnalis hanya ingin agar medianya bertahan, sementara si politisi berada dalam posisi ingin tetap melanggengkan kekuasaannya di tengah tekanan lawan politiknya,” ujar Matti.
Dalam proses pembuatan naskah dan persiapan filmnya ,Matti dan sang istri melakukan sejumlah riset mendalam, terutama terkait jurnalisme dan media massa. Mereka bahkan mempekerjakan periset khusus untuk mempelajari dan meneliti isu tersebut secara lebih mendalam.
Baca juga : Aksi Pasangan Penakluk Roh Jahat di Film ”The Conjuring: Devil Made Me Do It”